Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

LIGHTSAVER and The World of The Guardians

🇮🇩neynarii
--
chs / week
--
NOT RATINGS
20.6k
Views
Synopsis
Keniezy Quelle memang tidak pernah bisa jauh dari masalah. Selain cendrung digoda, didatangi, dia sendiri juga menikmati posisi sebagai si pembuat masalah. Tapi yang satu ini, masalah yang melibatkan banyak warna perak ini, jelas merupakan masalah paling besar yang pernah ada. Tiba-tiba saja suatu hari Kenzy tidak bisa lagi menjadi sosok yang sama, tidak bisa lagi memanggil dirinya manusia, tidak bisa lagi berjalan-jalan tanpa bertanya-tanya mengenai arti dari mimpi-mimpi anehnya. Semua terjadi karena satu pria asing yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya. Yang kemudian juga ikut ambil andil dalam mengungkap jati diri Kenzy yang sebenarnya amat jauh dari hal-hal wajar mengenai urusan manusia fana. Takdirnya melibatkan bukan hanya sengketa antar musuh bebuyutan, perang strategi melawan makhluk kegelapan, ataupun penyelamatan rekan seperjuangan. Tapi juga tentang ikatan takdir yang intim dan pelik antara sepasang makhluk berbeda jenis, berbeda klan, dan berbeda peradaban.
VIEW MORE

Chapter 1 - Keniezy Quelle

Dia berlari menelusuri jalan setapak di antara pepohonan yang tampak tumbuh terlalu rapat. Seorang pemuda menggenggam tangannya dengan erat seolah tahu jika tangan itu dilepaskan, dia akan memilih untuk berhenti daripada harus terengah-engah berusaha menangkap sebanyak mungkin oksigen. Rasanya dia punya firasat buruk kemana mereka akan pergi, tapi tahu bahwa seharusnya itu tidak mungkin. Dia adalah seorang Kraulis, itu adalah alasan paling penting daripada yang lainnya.

Mereka berbelok ke kanan pada ujung jalan setapak, membuat Kenzy kali ini tidak lagi hanya menebak, melainkan yakin bahwa sang pemuda membawanya ke tempat yang sudah dia duga-duga. Dia berusaha menarik tangannya tapi si pemuda ternyata terlalu kuat, lebih kuat daripada yang diperkirakan, sehingga mereka masih terus saja berlari alih-alih berhenti.

Jalan setapak yang semula berada di antara pepohanan, kini mulai mengarah pada jalan setapak lain yang terselip di antara dua tebing tinggi, medannya pun mulai menjadi terlalu ekstrim bagi Kenzy karena jalan setapak yang membentang di hadapan mereka itu kini tampak menurun dan berliku tajam. Mereka menuruni jalan setapak, dengan sedikit kengerian pada wajah Kenzy, karena si pemuda tidak memperlambat laju lari mereka walaupun tampaknya bukan gagasan yang baik untuk menelusuri tempat itu tanpa berhati-hati. Benar saja, kaki Kenzy tergelincir sesaat sebelum mereka berhasil menginjakan kaki pada jalan setapak yang kembali datar. Tetapi tubuh Kenzy yang limbung untungnya tidak sampai mencium tanah lembab karena tangan lain si pemuda yang tadinya bebas, kini sudah melingkar di pinggang Kenzy untuk menahannya tetap berdiri.

"Lepaskan aku! Kenapa kau membawaku kesini!?" kata Kenzy dengan sengit. Dia memberontak dari pelukan si pemuda, tetapi tidak berhasil beranjak bahkan satu centi pun dari dada bidang yang menempel di balik punggungnya itu. "Menurutmu kenapa, huh?" desis si pemuda tepat di telinga kanan Kenzy sehingga dia bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat.

"Sebaiknya kau melepaskan aku sekarang atau aku..." kata-kata Kenzy terputus saat si pemuda membalik tubuhnya secara tiba-tiba, sehingga mereka kini saling berhadapan. Belum sempat Kenzy bereaksi, si pemuda sudah mendekatkan wajah padanya. Dia dapat melihat senyum miring khas si pemuda dan heran sediri mendapati kegugupan yang melandanya.

Wajah itu sudah berjarak kurang dari sepuluh centi lagi dari wajah Kenzy, dia harus benar-benar memutuskan apa yang harus dilakukannya sekarang juga. Apakah dia perlu memiringkan kepalanya ke kiri atau ke kanan. Atau sebaiknya dia mulai memejamkan mata.

Tapi Kenzy tidak pernah tahu apa yang akan dia lakukan karena sesuatu baru saja menghatam wajahnya dan berhasil membuatnya terbangun dari mimpi paling aneh itu. Aneh karena dia tidak punya alasan masuk akal kenapa dia bisa bermimpi tentang si pemuda atau bagaimana dia merasa tidak asing dengan istilah 'Kraulis' yang ia pakai untuk menggambarkan dirinya.

***

–KENZY

Sial. Dia lagi.

Tidak nyata. Pikirku seketika, mengulang dua kata yang sudah sangat familiar itu di kepalaku seolah kata-kata tersebut adalah mantra wajib bangun tidur.

"Waktunya bangun, Zyzy!"

Aku merasakan kehadiran Reese di samping tempat tidurku. Bisa kubayangkan mata ambernya menatapku kesal dengan kedua tangan berkacak pinggang. Aku tahu itu dia, karena tidak mungkin Ryuu yang melamparku dengan bantal hanya untuk sekedar membangunkanku.

Aku mendesah keras sembari berguling ke sisi lain tempat tidur. Mencoba mengingat kembali apa persisnya isi mimpiku. Beberapa detail penting sudah hilang begitu saja menguap keluar dari kepala, tapi aku tahu itu wajah pemuda yang sama yang selalu mendatangi mimpiku secara berkala selama tiga tahun ini.

Aku masih ingat saat pertama kali memimpikannya. Hanya karena pertemuan singkat saat ia tidak sengaja berada di dekatku ketika sebuah mobil memutuskan melaju keluar jalur dan berkemungkinan besar meremukkanku, lalu dia bersikap ksatria dengan menarikku. Aku bahkan tak sempat melihat wajahnya saat dia kemudian berbalik dan pergi tanpa berkata apa-apa, tidak menatapku sama sekali. Hanya rambut peraknya yang kemudian melekat dalam ingatanku. Begitu melekat hingga aku bermimpi tentangnya dan berlanjut sampai hari ini.

Tiba-tiba aku teringat, "Kenapa kau yang membangunkanku?" tanyaku.

Aku beranjak turun dari tempat tidur, melempar kembali bantal yang tadi dilempar Reese untuk membangunkanku, dengan satu tangan. Sayang gadis itu terlalu cekatan untuk ukuran lemparanku yang tidak akurat, jadi kini bantal itu aman dalam dekapannya.

Reese mendengus meremehkan, "Ryuu sudah berangkat sejak satu jam yang lalu, pemalas!" katanya sambil menjulurkan lidah dan kemudian berbalik meninggalkan kamar. Ugh. Rasanya ingin sekali kupukuli kepalanya itu. Menyebalkan.

Setengah kesal, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Aku perlu sesi berendam yang cukup sebelum memulai hariku yang tampaknya semakin lama semakin terasa tidak jelas. Kuhela nafas lega saat merasakan tubuhku sudah masuk sepenuhnya ke dalam bathup. Biasanya aku tidak menoleransi tindakan tidak bertanggung jawab seperti ini –berendam dengan air hangat sebelum berangkat sekolah– karena efeknya akan terasa ketika aku sudah berada di kelas nanti. Kantuk akan segera menyerang sesaat setelah profesor memulai pelajaran. Tapi untuk kali ini jelas aku membutuhkannya, mengingat aku harus menghadapi satu hari penuh tanpa melihat senyum Ryuu yang menenangkan.

Semua mimpi misterius yang kualami akhir-akhir ini benar-benar sangat membingungkan. Ada sesuatu yang aneh sedang terjadi pada diriku. Aku tahu itu. Bukan berarti aku sejenis cenayang yang memiliki indra keenam super tajam, hanya saja setiap kali mimpi itu datang, akan ada sesuatu yang terjadi esoknya.

Sebenarnya aku tipe orang yang senang berpikir mengenai hal-hal logis dan tidak percaya pada remeh-temeh seperti arti mimpi atau sejenisnya. Tapi intinya, itu hanya akan terjadi jika kau bertanya tiga tahun lalu. Persepsiku pada hal-hal berbau mistis dan takhayul entah kenapa secara ajaib menjadi semakin positif hari demi hari. Pada awalnya aku sempat meyakinkan diri bahwa ini hanya efek samping dari mimpi aneh yang terasa terlalu nyata, tapi kemudian pikiran mengenai kata 'efek samping' lama-kelamaan terlihat konyol.

Sebagian besar mimpi yang kualami tidak dapat bertahan dalam ingatanku lebih dari satu menit, tapi entah kenapa sesuatu yang berada jauh di otak kecilku berhasil meyakinkan kalau semua mimpi itu adalah pertanda. Hal nyata. Dan tidak jarang membuatku merinding sendiri setiap kali berusaha mengingatnya. Aku tahu seharusnya aku menemui psikiater atau apalah itu julukannya untuk mengatasi anak-anak remaja dengan penyakit imajinasi berlebihan, tapi bahkan untuk menceritakan pada Ryuu saja, aku tak mampu. Jadi disinilah aku, selama tiga tahun penuh bermimpi tentang seorang pemuda asing tanpa tahu apa artinya itu bagiku.

Pagi senin adalah hari yang paling membuatku sebal. Harus melakukan segala kegiatan monoton seperti sekolah bukanlah kegemaranku. Entah kenapa sekolah tidak pernah menjadi tempat yang menarik dimataku. Apalagi mengingat seragam hijau jelek yang harus kukenakan, rasanya aku tidak perlu alasan lain lagi.

Melangkah keluar dari kamar, kudapati Reese berdiri sambil berkacak pinggang seperti biasa. Ritual pergi ke sekolah bersama yang telah kami jalani selama bertahun-tahun tetap membuatku jengah, tapi aku tidak bisa melakukan apapun mengenai itu karena Ryuu sendiri yang menyuarakan gagasan ini.

Ryuu Hutcherson adalah kakak angkatku. Sudah 15 tahun ini aku tinggal bersamanya, bibi Lim, dan Reese. Keluarga Hutcherson mengadopsiku sejak umur satu tahun. Bibi Lim adalah sahabat mom, jadi ia merasa bertanggung jawab membesarkanku saat kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan. Aku tidak pernah mengenal kehidupan lain selain bersama keluarga Hutcherson jadi aku tidak bisa membandingkannya, tapi hidup bersama mereka sangat menyenangkan.

Bibi Lim, walaupun adalah wanita karir yang sangat sibuk tapi ia selalu baik padaku seolah aku putri kandungnya sendiri. Ryuu, putra tertua bibi Lim, malah lebih baik lagi. Aku lebih sering diurus olehnya. Walaupun umur kami hanya terpaut enam tahun, tapi dari dulu Ryuu selalu menjadi sosok yang sangat dewasa dan bertanggung jawab. Dia adalah orang yang paling aku sayangi.

Terakhir ada Reese, putri bibi Lim yang usianya hanya setahun diatasku. Aku sering terlibat dalam pertengkaran adu mulut dengannya. Aku selalu menganggapnya menyebalkan, mungkin karena sifat kami yang terlalu bertolak belakang. Seperti Ryuu, dia adalah orang yang bertanggung jawab, tapi dia jauh lebih tidak flexibel daripada kakaknya. Dalam dunianya semua harus sesuai aturan. Ugh. Tapi walaupun bagitu, hubugan kami tidak sampai tahap membenci. Entah kenapa kami selalu berakhir berbagi meja yang sama saat makan di kantin sekolah. Kami juga cukup sering terlibat pembicaraan serius sebagai teman curhat yang aneh. Bisa disimpulkan ia sudah seperti sahabatku yang lain. Sahabat yang seringnya jauh lebih menyebalkan daripada musuh.

"Cepat atau lambat kita harus meyakinkan Ryuu kalau aku sudah bisa berangkat sekolah sendiri bahkan seharusnya dari bertahun-tahun yang lalu!" gerutuku sambil melangkah di samping Reese. Dia hanya mengangkat bahu dengan lagak tak acuh, terus berjalan hingga beberapa langkah di depanku. Sudah kubilang, Reese itu menyebalkan.

Perjalanan ke sekolah tidak membutuhkan waktu lama meski kami tidak mengendarai bus kuning seperti para siswa lainnya. Seperti biasa, jalanan ramai dengan kendaraan bermotor dan pejalan kaki. Meskipun aku tidak menyukai sekolah, suasana pagi yang kisruh selalu dapat menutupi mood jelekku. Tidak tahu kenapa bisa begitu.

Kami berbelok di pertigaan, tidak berbagi percakapan apapun. Reese bukan morning person sepertiku, jelas aku harus berhati-hati untuk tidak mencari masalah dengannya. Jadi kami hanya saling tidak mempedulikan yang lain dan hanya berjalan bersisian. Setelah melewati satu belokan lainnya, gedung bercat krem kusam yang sema sekali tidak terlihat menarik, sudah berada tepat di depan mataku. Seperti yang mungkin sudah kalian tebak, aku termasuk jenis murid pembuat onar, jadi sebelum diperbolehkan melewati gerbang sekolah, aku harus melewati beberapa pemeriksaan, sedangkan Reese hanya butuh menganggukkan kepala sedikit pada para penjaga lalu menghilang dalam kerumunan siswa tanpa berbicara apapun padaku.

Barrinton High School bukan sekolah yang akan mengundang banyak lirikan dari para orang tua. Tidak ada presetasi yang begitu membanggakan hingga dapat menjadikan sekolah ini terkenal, tapi tak ada peristiwa yang begitu gawat juga hingga dapat mengundang wartawan. Hanya satu dari banyak sekolah biasa di pelosok Inggris.

Aku memasuki kelas dengan langkah yang berubah gontai dan duduk di samping sahabatku, Florent Harvey tanpa menyapanya. Dia terkekeh pelan sambil menyikutku, tahu dengan pasti apa yang membuatku terlihat begitu kesal. Pelajaran pertama dihari senin kebetulan sekali adalah aljabar. Tidak tahu juga siapa yang sudah begitu berjasa dalam menyusun mata pelajaranku, yang jelas kalau bertemu, rasanya aku ingin menumpahkan segala kekesalanku padanya. Bagaimana mungkin pelajaran paling menyebalkan disandingkan dengan hari yang paling tidak ingin kujalani. Hebat!

"Oh selamat pagi Keniezy Quelle! Wajahmu yang cantik bisa terlihat tua kalau kau berekspresi menyeramkan seperti itu." Floe memainkan kedua alisnya dengan gaya menggoda, tak urung membuatku tersenyum kecil.

"Yeah selamat pagi juga untukmu," kataku membalas ucapannya, berlagak tidak ingat dengan komentar terakhir yang ia ucapkan.

"Jangan khawatir, kau hanya akan terjebak di kelas ini sampai jam kedua selesai." Mendengar ucapan Floe, otomatis kepalaku berpaling kearahnya. Aku tidak ingat kalau hari ini akan ada rapat guru atau semacamnya.

"Maksudmu?"

"Rapat dewan siswa! Ayolah, kau tidak mungkin benar-benar lupa 'kan!"

Oh well kabar baiknya, aku tidak perlu mengikuti kelas aljabar yang memakan hingga empat jam mata pelajaran. Kabar buruknya, aku harus duduk diam mendengarkan pidato, debat, keluh-kesah, dan sebagainya hingga tiga jam kedepan! Astaga, aku tidak tahu bagaimana seharusnya aku menyikapi kabar ini.

"Harusnya kau tidak mengingatkanku!" rengekku akhirnya, teringat kalau tentu saja hari ini aku akan mendapati kesialan beruntun. Mimpi brengsek itu! Ya ampun.

Kelas aljabar berlangsung mengerikan seperti yang sudah kuduga. Mr Rockwood yang memang gemar sekali memanggil namaku, hari ini berhasil membuatku berdiri diam di depan papan tulis, tidak tahu harus menuliskan apa untuk jawaban dari jejeran angka-angka rumit yang tertera disana. Sebenarnya bukan tidak mampu, hanya saja aku terlalu malas untuk menganalisis angka-angka itu dan memutar otakku. Pagi yang cerah berarti pagi libur untuk otakku yang lebih suka malas-malasan dan berjemur ala turis musim panas di Hawaii.

Setelah tiga menit berlalu tanpa satupun goresan yang kuhasilkan di papan, akhirnya Mr Rockwood yang baik memintaku berdiri di sudut kelas, katanya guna dapat menikmati semua popularitas yang kuinginkan. Jadi tanpa protes aku berjalan ke sudut yang memang sudah menjadi seperti singasana pribadiku.

Selama berdiri di depan kelas, kudapati Floe berkali-kali menatapku dengan kedua alis terangkat yang dengan mudah kuabaikan. Tentu saja aku tahu kenapa ia keheranan begitu.

Mr Rockwood melanjutkan pelajaran tanpa mendapat perhatian lebih dariku. Daripada memperhatikan bujang lapuk itu, aku memilih untuk memperhatikan sesuatu yang lebih dapat memanjakan mataku. Jendela kelas yang mengarah keluar, tepat ke taman yang jarang terjamah siswa karena letaknya yang perlu jalan memutar untuk dihampiri sudah beberapa kali menarik perhatianku. Walaupun terkenal sebagai pribadi yang heboh dan suka bergaul dengan semua orang, nyatanya aku cendrung lebih menikmati waktu-waktu dimana aku bisa sendiri, menyelami kepalaku yang terkadang punya terlalu banyak kejutan bahkan untuk diriku sendiri. Apalagi kalau aku sudah mengalami mimpi misteriusku, biasanya imajinasiku bisa terbang kemana-mana seolah punya sayap yang lebar untuk bisa melancarkan aksinya. Pada saat-saat seperti itu, tempat yang tenang dan tersembunyi dari orang-orang adalah pilihan yang tepat. Jadi, heran juga kenapa kakiku tidak pernah membawaku ke taman yang kini sedang dibanjiri cahaya matahari itu.

Salah satu pohon –yang paling besar dan rimbun– di taman terisolir tersebut menarik perhatianku lebih daripada yang lain. Ada sesuatu yang aneh dengan pohon itu, seolah seseorang sedang bersembunyi diantara daun-daunnya yang rimbun dan sedang mengawasiku. God, apa selain menjadi semacam wanita gipsi yang memiliki penglihatan mimpi, aku juga sekarang mendadak jadi martir paranoid? Kupejamkan mataku erat sembari mendesah dalam hati. Lama-lama rasanya aku seperti tidak mengenal diriku sendiri.

Setengah jam kemudian bel berbunyi nyaring, menyelamatkan kedua kakiku dari kemungkinan mati rasa, atau lebih parah –lumpuh. Karena mimpi yang kualami semalam dengan adegan –yang samar-samar kukenali sebagai– lari dan semuanya, kekuatan kakiku sepertinya agak berkurang pagi ini. Biasanya berdiri setengah jam lebih bukan masalah bagi kakiku yang terlatih, tapi entah kenapa sekarang malah seperti memberontak memarahiku karena sudah terlalu banyak membuat kekacauan yang berimbas padanya.

Dengan gidikan bahu pelan, mengusir semua pikiran absurd mengenai kedua kaki yang sudah jadi asset berharga dalam pengukuhan diri sebagai siswi terhiperaktif, aku berjalan ke bangkuku untuk membereskan satu buku cetak yang masih terbuka di atas meja. Jangan tanya kemana buku catatan Aljabar-ku, karena aku lupa kapan aku pernah melihatnya, mungkin di kolong tempat tidur? Tertendang kakiku saat berjalan. Atau di bawah tumpukan buku novelku yang sudah kumuseumkan? Atau tertinggal di loker yang mungkin sudah ditumbuhi tanaman menjalar saking lamanya tidak kubuka? Entahlah. Dan apa juga peduliku?

Ruang pertemuan untuk rapat dewan siswa hari ini, merupakan ruangan yang paling tidak kusukai, yang kalau bisa tidak akan kumasuki. Tidak ada satupun jendela yang bisa menerangi ruangan dengan sinar matahari dari luar, hanya dinding kaku bercat kuning muda yang membuat nyaliku langsung menciut. Segala imajinasi yang ada pasti akan mati jika berada di ruangan tertutup ini lebih dari satu jam, dimana artinya aku akan mengalami kebuntuan pikiran selama rapat berlangsung, percayalah tidak ada yang lebih menakutkan dari itu. Orang-orang itu pasti sinting mengadakan rapat di ruangan seperti ini! Memangnya mereka bisa berpikir jernih dan mendapatkan ide-ide kreatif yang jenius? Sudah pasti tidak.

Aku mendengus. Dari sudut mata kulihat Floe menoleh kearahku dengan kedua alis terangkat, sesaat tampaknya akan berkomentar, tapi akhirnya memilih diam sambil memasang kerutan dalam di dahinya yang lebar. Kenapa dia?

"Apa aku sudah bilang kalau hari ini kau bahkan lebih membosankan dari kemarin?!"

Sebuah bisikan dari sisi kananku langsung membuyarkan konsentrasi–menyiksa–ku mendengarkan pidato Will. "Jangan khawatir, kau baru menanyakannya sekitar dua belas kali sejauh yang bisa kuhitung, Floe," Balasku berbsisik dengan nada manis yang dibuat-buat. Sahabatku ini bisa jadi sangat cerewet disaat-saat tertentu, padahal pada hari-hari biasa sudah terkenal terlalu banyak bicara.

Floe mendengus, tangannya menyikut pinggangku pelan. Oh aku lupa kalau dia sangat membenci sikap sarkasmeku seolah dia tidak pernah bersikap begitu. "Kau tahu maksudku Ken," katanya dengan nada final.

Tentu saja aku tahu apa yang dimaksud Floe. Aku biasanya tidak semanis ini dalam bersikap. Mengerjakan PR, mencatat pelajaran –well, meski di samping isi materi pada buku cetak aljabarku, yang penting namanya masih mencatat–, mendengarkan penjelasan Mr Rockwood –walaupun akhirnya dihukum (tapi hey! Aku tidak protes kali ini)–, bahkan menghadiri rapat dewan siswa. Tidak. Aku bukan tipe gadis kutu buku seperti itu. Aku lebih pada gadis 16 tahun yang terlalu ingin tahu dan hiperaktif. Jadi aku paham betul maksud sindiran Floe.

"Minggu besok Ryuu ulang tahun, so...." aku mengangkat bahu.

Ryuu akan berusia 23 tahun minggu depan. Jadi aku memutuskan untuk bersikap baik selama seminggu ini, mengingat Ryuu sangat tidak suka aku membuat masalah di sekolah. Lagi pula aku sudah merancanakan surprise party untuknya, jadi aku tidak akan mengurangi kesenganan dengan laporan tingkah lakuku yang buruk di sekolah.

"Kau selalu terlihat berbeda kalau sudah bicara soal Ryuu," celetuk Floe dengan pandangan curiga yang sudah sering kudapat darinya. Aku tahu kemana arah pembicaraan ini, dan sejujurnya aku sudah capek mendengar topik yang sama berulang kali dibahas tanpa ada perubahan berarti pada endingnya.

"Ayolah Floe, kreatif sedikit! Aku tidak menyukai Ryuu lebih dari seorang kakak." kini ganti aku yang menyikut pinggang Floe. Heran sendiri kenapa sahabatku ini bersikeras berpendapat bahwa aku menyukai Ryuu dalam artian romansa.

Floe menyikutku lagi, "Habisnya kau selalu menjadi jinak kalau sudah menyangkut soal Ryuu."

"Hei, apa maksudnya itu?!"

Floe terkekeh mendengar suara protesku yang rupanya terlalu keras hingga menyebabkan seisi ruangan rapat seketika terdiam. Sial.

"Ada yang salah dengan pendapat Mr. Dashner, Ms. Quelle?" tanya Will, selaku pemimpin rapat. Aku segera menggeleng dan menggumam maaf. Sang ketua dewan siswa sekolah itu menatapku beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk melepasku dan melanjutkan rapat.

Aku menghela nafas pelan. Aku tahu sesaat tadi pastilah Will sempat berpikir untuk mengadukan sikapku pada pembina dewan, tapi untungnya tidak jadi. Ini adalah pertama kalinya aku menghadiri rapat dewan. Biasanya aku tidak terlalu peduli pada hal-hal seperti ini, tapi Mrs. White mengancam akan mengirimkan surat peringatan ke rumah jika aku kembali mangkir. Maka di sinilah aku, bersikap seperti gadis–meminjam istilah Floe–membosankan.

"Aku serius, jangan mengajakku bicara lagi sampai rapat ini selesai. Aku butuh bersikap baik seminggu ini."

Floe mengangkat sedikit sambil mengangkat kedua tangannya seperti kriminal yang sedang menyerah. Aku langsung membalas cengirannya dengan tinju pelan yang kudaratkan di pundaknya.

Tidak ada yang istimiwa dari rapat dewan. Hanya berisi beberapa perdebatan untuk tema festival dan beberapa perdebatan lain mengenai anggaran dana. Benar-benar bukan termasuk hal-hal yang aku sukai untuk dilakukan. Apalagi tidak ada satupun dari ide mereka yang tampak cukup menjanjikan. Sudah kuduga, rapat yang mengharapkan adanya masukan ide kreatif tidak seharusnya dilakukan di kotak tertutup bertemperatur dingin tidak normal. Logika saja, mana ada pintu menuju otak yang akan terbuka jika sudah keburu dikurung dan dibekukan. Huh.

Kalau bukan karena sebuah kesialan pada hari lain setelah aku bermimpi tentang pemuda perak itu, aku tidak akan terjebak dalam jajaran dewan siswa dan mengikuti rapat tidak bermutu seperti ini.

"Baiklah, sekian dulu rapat kita kali ini. Harap semua sesi mengadakan rapat internal sebelum kita mengadakan rapat akbar minggu depan." Will si ketua dewan menutup rapat sambil tersenyum kecil. Aku tidak tahu apakah hanya perasaanku saja, tapi sepertinya dia sempat melirik sekilas padaku. Astaga, dia pasti tahu aku tidak berniat hadir dalam rapat internal.

Aku berdeham pelan, memasukkan buku catatan kecil dan pulpen kembali ke dalam tas. Floe masih membaca ulang catatannya, mungkin meninjau lagi apa yang harus ia lakukan untuk memulai rapat internal selaku salah satu ketua sesi.

"Earth to Floe! Jika kau tidak memperhatikan, ada yang kelaparan di sini," sindirku menyikut pelan pinggang Floe yang langsung menatapku dengan kedua alis mata terangkat tinggi. Segera kupasang ekspresi lugu untuk membungkam protesnya.

"Oke oke," katanya menyerah.

Kantin sekolah seramai biasanya. Aku dan Floe berjalan dengan langkah ringan sambil tertawa menuju meja yang selalu kami duduki. Di sana sudah ada Reese dengan wajah serius terarah pada buku di tangannya. Kacamata gadis itu melorot beberapa centi, tanda bahwa ia sudah cukup lama dalam posisi seperti itu.

"Kalau kau belum sadar juga, ini adalah kantin bukan perpustakaan, ma'am."

Reese mengangkat kepalanya dan matanya yang sedari tadi terarah pada buku, kini menatapku tajam. Yeah, aku tahu dia paling benci jika waktu membacanya diganggu. Tapi yang benar saja, aku tidak mau makan sementara seorang kutu buku menyebalkan duduk bagai patung di hadapanku.

"Jangan mulai lagi Zyzy. Aku sudah selesai makan dari tadi, jadi aku punya banyak waktu luang menunggu kalian. Dan harus kuakui aku terkesan melihat kau bertahan tanpa kabur di tengah-tengah rapat." Mendengar perkataan Reese, Floe langsung tertawa kecil. Dia memajukan tubuhnya ke depan dengan satu tangan terangkat kemudian ber-highfive ria dengan Reese. Mengabaikan tatapan kesalku.

"Berhentilah menggodaku," desisku pelan.

Jika aku tidak begitu akur dengan Reese, maka lain halnya dengan Floe. Sahabatku itu menganut paham yang sama dengan kakak angkatku. Dia mencintai sekolah dan segala peraturannya. Walau tidak se-ekstrim Reese untuk masalah tanggung jawab, tapi sikapnya yang jauh lebih–meminjam istilah Floe lagi–jinak daripada aku, maka mereka menjadi sangat dekat satu sama lain, seolah aku masih membutuhkan alasan tambahan untuk menyebut Reese sahabatku. Ck.

Aku duduk di salah satu kursi dan kemudian mengalihkan pandangan pada makanan-makanan yang berjejer di depan beberapa konter, mengabaikan Floe dan Reese yang segera terlibat pembicaraan seru mengenai buku. Kuangkat tangan untuk memanggil salah satu pelayan dari konter paling ujung yang memang memiliki sistem pelayan. Seorang gadis yang terlihat beberapa tahun lebih muda dariku, berjalan tergesa ke meja kami.

"Pesanan seperti biasa, Kenzy?" tanyanya dengan senyum lebar.

Aku balas tersenyun, "Mungkin sedikit berbeda hari ini Lily. Aku ingin coba lasagna dan roast potatoes," kataku pada Lily yang memang konternya sudah jadi langgananku. Dia mengangguk dan kemudian mencatat pesananku saat aku seleasai menyebutkan, "Orange sponge," untuk minumanku.

Aku beralih menatap dua orang yang masih sibuk berbincang di hadapanku. Heran juga kenapa aku bisa berteman baik dengan Floe padahal sifatnya mirip dengan Reese.

"Kau pesan apa, Floe?" tanyaku. Floe tampak berpikir sebentar sebelum akhirnya memilih pesanan yang sama denganku. Lily segera berjalan kembali menuju konter untuk menyiapkan pesanan kami.

"Oh iya Zyzy, kita tidak bisa pulang bersama nanti. Aku ada janji dengan teman sekelasku." aku menatap Reese sesaat. Cukup mengejutkan mendengar Reese tidak akan pulang bersama denganku. Bukannya bersikap sentimental, tapi kami biasanya memang pulang bersama setiap hari.

Reese sangat jarang membiarkanku berjalan pulang lebih dulu walaupun itu berarti aku harus menunggu kegiatan clubnya selesai, karena Ryuu dengan tegas melarangnya. Dia pernah kena marah habis-habisan saat sekalinya ia menyuruhku pulang tanpa dirinya, dan waktu itu kesialan kebetulan menimpaku. Hari itu adalah hari aku hampir tertabrak jika saja tidak ada pemuda berambut perak yang menyelamatkanku.

"Oke," tanggapku akhirnya. Ini kesempatanku untuk bisa berkeliling kota sebentar sebelum pulang. Tentu saja aku tidak akan menyiakan kesempatan langka ini. Sudah kukatakan aku bukan gadis manis penurut, terlalu banyak rasa penasaran dalam diriku yang tidak puas hanya dikunci tanpa sempat melihat seperti apa dunia luar.

Reese sepertinya menyadari perubahan suasana hatiku yang mendadak terlalu bersemangat dan menggebu-gebu karena dia kemudian berkata, atau lebih tepatnya memperingatkan, "Langsung pulang Zyzy."

Yeah. Seperti aku akan menurutinya saja.

Aku mengangkat bahu sekilas, tidak mengiyakan ataupun membantah ucapan Reese. Dia memandangku curiga tapi kemudian teralihkan saat Lily kembali dengan membawa dua orange sponge.

Aku beruntung. Bel masuk berbunyi tepat setelah Floe menyelesaikan suapan terakhirnya. Kami bergegas memasuki kelas, bergitu juga Reese yang kelasnya terletak di gedung bagian timur.