Chereads / Ketika Indonesia Menaklukkan Dunia / Chapter 20 - The Wheel of Politics: Pengalaman di eSenayan

Chapter 20 - The Wheel of Politics: Pengalaman di eSenayan

Kita sedikit rehat dulu dari membahas hal-hal yang menegangkan. Sekarang kita bahas hal-hal konyol saja. Mengapa saya bilang konyol? Yah… Karena sumpah mimpi sumpah nenek melek, saya seumur hidup tak pernah mau yang namanya jadi anggota DPR. Tapi ternyata di eRepublik, selama saya main 6 bulan ini, sudah 3 bulan saya lewati jadi anggota rapat paripurna eSenayan.

Orang pikir jadi anggota DPR di RL itu enak. Lihat berapa banyak uang yang harus mereka keluarkan buat kampanye, berapa banyak suara yang harus mereka beli, dan akhirnya saat segelintir dari mereka pun terpilih. Saya juga baca banyak yang masuk RS jiwa karena kalah dalam pemilu. Terus setelah terpilih, kita melihat mereka tidur dan ngorok tidak nyenyak di kursi sidang. Wajar saja dengan setting yang membosankan dan pidato membosankan lalu kursi yang empuk, jadinya gitu deh. Siksaan berbalut fasilitas sungguh merupakan neraka bersalut bantal.

Orang pikir jadi anggota DPR di eRepublik juga enak. Pertama, kerahkan teman-teman kalian untuk mendukung kalian setiap tanggal 25, lalu saat kalian jadi anggota DPR kalian dapat lencana dan 5 gold plus tambahan kekuasaan untuk mengajukan berbagai RUU, lalu memberikan suara buat semua kebijakan negara kecuali masalah tekan tombol perang. Kekuasaan itu tampak sepele dan membingungkan bagi banyak pemula, terutama saya, yang baru saja jadi anggota DPR per tanggal 25 Februari 2009. Umur belum genap tiga minggu, sudah jadi wakil rakyat. Bisa apa saya selain korupsi? Demikian longgong saya.

Omong-omong soal orang yang jadi DPR karena iseng atau mengincar medali saja, banyak sekali kasut salah tekan atau bermain-main dengan tombol fungsi DPR tertentu, misalnya: memecat presiden atau mendonasikan harta negara ke akun organisasi milik pribadi.

Saya memutuskan untuk setidaknya tidak langsung resign dari jabatan DPR seperti beberapa rekan yang tidak bertanggung jawab yang saya sebut di paragraf di atas. Harap ingat bahwa resign anda sebagai DPR ini berarti jumlah anggota DPR-nya jadi berkurang selama 1 bulan itu! Tidak ada sistem pergantian pemain! Saya panggil kaum resigners ini DPR keji tapi jujur! Mereka keji dan tidak mau terlibat politik, tapi mereka jujur dalam hal mereka hanya incar medal saja.

Saya juga memutuskan untuk tidak sekadar diam saja di belakang layar, tidak mengikuti atau mau tahu dengan apa pun kebijaksanaan dan jalannya roda pemerintahan. Tapi apa ayal, semua RUU DPR saya jelas tidak paham. Coba lihat contoh-contoh RUUnya: DPR berhak mencetak uang, mendonasikan kas negara ke sebuah organisasi yang ditunjuk, menaikkan upah minimum negara, mengganti tarif pajak pendapatan, PPN, dan pajak eskpor. Di balik semua proposal perubahan ini ada debat terbuka mengenai ekonomi, inflasi, dan macam-macam membuat saya kliyengan. Wong saya orang pena, bukan orang ekonomi.

Lalu banyak hal lain yang berada di luar masalah ekonomi: Aliansi dengan negara lain, di mana kita akan menaruh bangunan Pertahanan dan RS, dengar pendapat dengan pemerintah mengenai rencana mereka, dan aneka macam agenda. Meski saya akui, jadi kongres adalah sumber pembelajaran yang oke punya.

Alhasil saya bengong saja saat masuk ke rapat anggota DPR pertama kali. Bengong saat mereka memutuskan agenda pertama adalah memilih Pak Ketua kongres, Waketu, dan Sekretaris. Lalu menjerit-jerit tanpa daya saat saya dijerumuskan paksa menjadi Sekretaris DPR. Saya kontan ditembakin pakai id ama pass kantor kongres, disuruh nyatat absen dan notulen rapat, serta mendampingi ketum kongres saat itu: mas bulubaok, dan waketumnya: Donagung.

Kongres sebelum zaman saya benar-benar rapih (pake 'h'). Mereka punya undang-undang tatacara sahnya sidang, dimulainya sidang, tatacara dengar pendapat, ada dengar pendapat dan LPJ dengan Presiden yang dimoderatori Ketua Kongres, dll. Saya sampai melilit mendengarnya, karena saya tegang dan benar-benar tidak tahu apa-apa. Sebagai informasi, kebanyakan anggota DPR pada zaman saya tidak aktif mengikuti rapat kongres. Dari 40 anggota kongres, angka kuorum sidang hanyalah 14 anggota kongres. Sangat sedikit kepeduliannya.

Jadilah sering kami ketar-ketir saat berupaya mengumpulkan anggota sidang acap kali mau rapat, dan kadang rapat bisa sampai berlarut-larut, apalagi ketika mereka memperdebatkan mengenai naikkan pajak atau turunkan pajak, cetak uang atau tidak, atau memberikan Australia region mereka kembali atau tidak. Kadang rapat sendiri kalau mulai jam 7 bisa sampai jam 12 malam, dan itu pun belum kelar.

Mau bagaimana? Kadang-kadang pun kita harus bisa menghargai adanya anggota kongres yang mau datang dan meluangkan waktu ikut rapat, mengingat ini hanyalah sebuah permainan; bukan betulan, tapi mereka benar-benar datang, duduk, berdialog, berdebat (baik rasional atau tidak), berorasi, dan tak pelak lagi terlibat secara emosional dalam pembuatan setiap keputusan. Sungguh ini adalah fenomena yang sangat unik.

Kagum juga saya melihat semangat anak-anak membahas RUU dengan demikian sengitnya. Coba anggota DPR betulan bisa seperti mereka. Di sela-sela rapat dan kekacauan interupsi, saya karena tolol dan kaga ngerti, kadang-kadang suka ngejahilin kang Bulubaok dan DonAgung. Saya beralih rupa menjadi Inez sang sekretaris, asyik menggoda mereka, menerbitkan artikel Kongres yang separuh resmi separuh Inez.

Yang paling berkesan adalah saat-saat sehabis sidang, saat membereskan kertas-kertas corat-coret porno, dan aneka sampah ruang sidang paripurna lainnya seperti kaleng bir, celurit (hah?!), pentungan sekali pake, indomie cup, atau piring siomay. Saat-saat pasca-sidang seperti itu, kang Aji atau Donagung melepas canda dengan rileks. Itulah saat-saat aku merasa dekat dengan mereka, juga merasakan simpati sebagai sesama wakil rakyat.

Jadi wakil rakyat di eRepublik perlu tanggung jawab dan pengorbanan besar. Tidak ada yang hormat sama anggota kongres, sebab banyak yang pikir kursi kongres bisa dibeli pakai suara banyak, bukan berasaskan kebijaksanaan ("mudah-mudahan" tidak seperti ini di RL). Lalu rakyat secara bawah sadar punya ekspektasi mengenai standar kinerja kongres: minimal kongres seharusnya tidak bikin blunder atau ketololan yang menyengsarakan rakyat. Jadi tekanannya berat. Kita harus selalu cermat, tidak asal telen informasi, tapi juga mengecek langsung dengan data lapangan, kita jangan berat sebelah, juga toleran dengan pendapat orang lain, dan sabar. Kadang perlu tiga kali rapat buat menggolkan suatu keputusan. Namun, jika keputusan kita terus dipending, kita akan dicemberutin rakyat.

Jika kita memutuskan sesuatu yang kontroversial, kita harus siap dilemparin bata merah dan kita harus siap pula membalas dengan pembelaan rasional. Kadang pemerintah juga berkonflik dengan DPRnya, terutama kala sebagian besar anggota DPR-nya muda-muda dan hijau (kayak saya), atau yang terpilih kebetulan partai yang bertentangan dengan haluan pemerintahan. Di situ pemerintahan niscaya macet. Tapi di situlah serunya permainan.

Namun kadang, kala jadi anggota DPR atau kabinet, kita bisa menemukan kisah lucu ini. Saat terjadi kesalahpahaman teknis dengan kehidupan RL.

Ada sebuah kisah legendaris yang diwariskan secara mulut ke mulut, turun temurun, untuk menggambarkan pengorbanan seorang anggota DPR eIndonesia. Suatu hari salah seorang anggota DPR kita, yang tidak diberkahi oleh internet di rumahnya, terdesak hebat. Hari itu dijadwalkan rapat malam-malam, sedangkan ia tidak bisa tidak harus online.

Jadi ia mendesak kakaknya, "Bang! Antarin saya donk ke warnet!" Pintanya demikian serius.

"Lha? Ada apaan?"

"Saya harus rapat! Serius nih!"

Woi keren amat adikku ini, pikir kakaknya.

"Rapat apaan?"

"Rapat kongres. Saya anggota DPR."

Abangnya hanya bisa terkesima, "Ha??"

Puntung rokoknya sampai jatoh...

Kita jadi dianggap orang gila di RL. Pecicilan masyarakat, padahal kita ini praktisi demokrasi kelas kakap. Kalo orasi kita belum tentu kalah ama tuh para caleg partai gak jelas. Pamflet kita di artikel pun renyah dan membumi, mudah dimengerti, gak seperti ceramah banyak kabag pegawai negeri yang harusnya dimasukin kaset ninabobo karena memiliki efek soporifik dan halusinogen.

Terkadang perasaan ganjil bin rendah hati menyeruak dalam relung hati semua pemain yang terjebak situasi serupa. Tetapi tetap saja kita mengarungi lautan keterasingan itu dan ikut dalam rapat resmi-gak-resmi yang meski kadang menjemukan dan penuh bala-umpat-caci-debat-kusir tapi juga tempat di mana kita merasa sedang menjadi nakhoda bagi arah bahtera bangsa kita. Meski tentu saja, kalo bicara soal benturan RL dengan eRep, kemarin di gathnas saya mendengar kisah yang meski aneh, tapi lebih keren lagi:

Seorang pemain senior sedang bicara dengan pemain erep lainnya via handphone. "Iya. Sudah. Kemarin saya sudah bilang sama Menhan. Sudah diurus semuanya."

Temannya di sampingnya (bukan pemain eRep) kontan langsung mendelik mendengar kata "Menhan".

Karena temannya yang sedang ngomong di HP itu terlibat banyak kontrak bisnis, ia tidak bisa menahan diri memuji. "Wow, hebat amat lu. Lu dapat orderan dari Menteri Pertahanan?"

"Menhan? Oh... Hehehehehehehe... (tersenyum gak enak)"

"Wanjeeenggggg! Saya aja mau nembus Kodam aja sulit! Dari mana elu kenal Menhan? Ajarin donk cara tembus koneksinya!" kata rekan itu berapi-api.

"Hehehe... (senyum makin gak enak....)"

Kalian boleh aja ketawa. Sebab yang namanya kalo udah ngerasain gilanya eRepublik, sudah tak bisa dikata deh. Kadang, kalau ketemu teman eRep di RL saat lagi bareng-bareng temen-temen lainnya, kita suka gak sadar ngomongin eIndonesia.

"Tau gak sih kemaren, ABeRI gak subsidi lagi loh warga sipil..." ucapku.

Temen eRepku langsung nyambut, "Ya iya! Mendingan kayak gitu! ABeRI biar buat anggota ABeRI gitu loh! Cuman rekrutmennya suka ribet! Banyak yang nanya saya gimana cara join ABeRI gitu..."

Temen-temen lainnya gak ada yang komentar. Cuman aku berani taruhan di kepala mereka terlintas pemikiran ini.

"Dua orang ini saya kenal deh seumur idup.... Tapi kok mereka tahu soal ABeRI luar dalam ya? Jangan-jangan bokapnya Jendral lagi? Boleh tuh jadi mantu…"

Kalo dia sampe ngomong gitu, aku bakal bilang.

"Neng… Ane nih yang eJendral. Bokap mah sipil. Gold ane dikit tapi IDR ane banyak, boleh lah buat ngidupin keluarga asal rotinya Q1 muluk."

Berani taruhan dia pasti menatap saya tajam-tajam, sebelum telpon Rumah Sakit Sumber Waras... atau Polres Ciledug.