Kedatangan tiga batalion TNI yang dikerahkan membangun tiga ruas jalan di Propinsi Sumatera Selatan, disambut suka-cita rakyat.
Berpuluh tahun sepeninggal penjajah Belanda jalan-jalan ke arah Lintang Empatlawang tak terurus, masih jalan tanah, yang jadi kubangan jika musim hujan.
Terbayang sudah jalan-jalan tersebut berubah keras berbatu, kemudian beraspal. Hasil-hasil bumi seperti kopi, cengkeh, beras dan buah-buahan semakin mudah dan murah untuk diangkut ke kota.
Adanya proyek pembangunan tiga ruas jalan tersebut (Palembang-Tanjungraya, Bengkulu-Tanjungraya, dan Jambi-Tanjungraya) tak lepas dari peran putera daerah, seperti Mayor (Purn) Nurdin Pandji, yang melobi teman seperjuangannya Mayjen (Pur) Asnawi Mangkualam, yang menjadi Gubernur Sumsel, dan Jenderal TNI Makmun Murod yang menjabat kepala staf Angkatan Darat.
Hasil perjuangan mereka itu sampai saat ini bisa dinikmati masyarakat Empatlawang berupa tiga ruas jalan mulus yang menghubungkan tiga propinsi. Putera-putri Empatlawang bisa melanjutkan sekolah dengan mudah memilih kota domisilinya.
Ganas, Beringas
Profile prajurit TNI pada masa itu terkenal ganas dan beringas apalagi saat mereka bekerja. Intoleran dan sering sewenang-wenang. Sikap ini sedikit menodai harapan masyarakat. Tak sedikit warga masyarakat jadi korban penganiayaan oleh anggota batalion TNI yang membangun jalan tersebut.
Masyarakat menjalani hidup sehari-hari serasa di jaman penjajah. Tertekan dan tiap hari dibayangi rasa takut. Kendaraan dinas militer yang hilir mudik menguasai jalan sesuka hati. Yang tertabrak mati keluarganya tak berani menuntut, salah-salah malah ditangkap dan digebuki.
Tiap bulan ada saja insiden seperti itu terjadi. Di satu sisi masyarakat gembira bakal mendapat akses transportasi yang mulus. Tapi, di sisi lain dicekam rasa takut. Masyarakat bingung tak tahu mau bersikap seperti apa. Berbuat baik salah, tidak berbuat baik juga salah.
Pernah suatu ketika seseorang petani yang perduli dengan para prajurit yang bekerja, dia membawakan setandan pisang matang. Bukannya berterimakasih prajurit yang diberi pisang malah tersinggung. Petani baik hati tadi justru disuruh menghabiskan sendiri pisang setandan itu, jika menolak dia diancam akan dipukuli.
Itulah sekilas gambaran situasi pada masa itu, dimana tiga batalion zeni TNI bertugas membangun tiga ruas jalan di Sumatera Selatan.
Insiden di Pasar Pendopo
Kisah tentang tindak sewenang-wenang oknum anggota TNI sudah menyebar luas di seantero Bumi Empatlawang. Marah, dendam, kesal, benci dll bercampur menjadi satu. Masyarakat seakan menunggu satu pemantik saja untuk beraksi. Mereka kerap jadi korban. Keluarga yang mati, luka parah, cacat ditabrak kendaraan tentara hanya bisa gigit jari. Tidak berani berbuat apa-apa. Takut berhadapan dengan moncong senapan M-16 dan sepatu lars.
Pada hari Kamis tahun 1973 (tanggal dan bulan lupa), terjadilah insiden di Pasar Pendopo.
Seorang anggota batalion zeni Kalajengking yang bermarkas di Talangpadang, memesan segelas es parut. Dua temannya juga ikut memesan. Dalam sekejap tiga gelas es langsung habis.
Ketiga oknum TNI itu tidak mengenakan seragam alias mengenakan pakaian sipil. Usai minum es ketiganya melenggang pergi, tanpa permisi apalagi berterimakasih.
Penjual es tentu saja tidak terima. Dia mengejar tiga oknum tadi seraya menagih uang es. Salah satu oknum tersinggung, lalu menampar wajah penjual es. Keributan pun terjadi. Beberapa orang siap mengeroyok tiga orang tadi. Merasa terancam mereka buka kartu bahwa mereka anggota Kalajengking. Warga pun mundur. Takut.