Amarah yang sudah menggelegak dan kekesalan yang memuncak sepertinya sulit untuk dipadamkan begitu saja. Rombongan yang berangkat dari Gn. Meraksabaru sudah bertekat bulat perang mati-matian melawan prajurit Kalajengking. Tak sedikit pun rasa takut membayang di wajah mereka. Keris, pedang, tombak sampai senjata api sudah siap dihantamkan ke musuh.
Kesiap-siagaan itu semakin tinggi manakala iring-iringan puluhan kendaraan mereka semakin mendekati Talangpadang. Ada yang mempererat ikat pinggang, ada yang memasang ikat kepala dan macam-macam persiapan dilakukan.
Ketegangan tiba-tiba semakin tinggi ketika kendaraan paling depan yang di dalamnya ada Kholid Hamdan dihadang orang. Yang menghadang adalah seorang penduduk Talangpadang. Kholid Hamdan turun dari mobil dan hendak menghajar di penghadang. Untung si penghadang cepat memperkenalkan diri. Dia adalah Lakoni, putra Bicak Ning Madjid. Kholid tidak jadi memukul begitu tahu siapa yang menghadangnya.
Lakoni dapat tugas dari ibunya, Bicak Ning Madjid, untuk mencegat di Dusun Karangare. Tujuannya untuk mencegah pertumpahan darah dengan tentara. Informasi yang disampaikan Lakoni bahwa saat itu sedang berlangsung perundingan damai yang inisiator sekaligus mediatornya adalah Sang Srikandi zuriat Depati Kuris, Bicak Ning Madjid.
Atas perintah Bicak Ning juga semua pimpinan rombongan diminta turun dari mobil, lalu menyeberangi jembatan gantung Ayek Kembahang menuju rumah Datuk. Di sini mereka akan mendapat penjelasan.
Perintah itu dipatuhi oleh Kholid Hamdan, Pasirah Tobel, Mang Din, Mang Sahak dll. Mereka langsung berkumpul di "Umah Besak".
Dimana Pasirah Zaini?
Ketika semua orang sudah berkumpul di "Umah Besak" mereka terheran-heran karena Pasirah Zaini tidak ada. Muncul spekulasi yang hampir menimbulkan gerakan penyerbuan ke markas Kalajengking, yang jaraknya tak sampai duaratus meter dari "Umah Besak".
Untung saja pada saat genting orang-orang sdh ingin bergerak, Bicak Ning Madjid, datang dan langsung menghentikan semuanya.
"Hoi...hoi..tunggu kudai. Nak kemano kapo denganu? Nak munuh jemo apo nak mati?" Kata Bicak Ning sambil tangannya memberi isyarat mencegah. Seketika itu mereka mengurungkan niatnya.
Bicak Ning menjelaskan bahwa masalah Pasirah Zaini dengan Batalion Kalajengking sudah selesai. Sudah berdamai.
"Zaini mak ini dang dijamu komandan batalion. Dio nyadi tamu komandan. Kapo dengan tenang bae," ujar Bicak Ning yang disambut ucapan alhamdulillah dan tarikan napas lega. Bicak Ning kemudian memanggil Ely, putrinya, untuk menghidangkan makan.
Koq Bisa Damai?
Mungkin para pembaca bertanya-tanya koq bisa berdamai? Bagaimana ceritanya?
Perdamaian itu terjadi berkat jasa dan kearifan Bicak Ning dalam bertindak merespon peristiwa insiden Pasirah Zaini dengan prajurit Kalajengking.
Kabar tentang insiden itu dan kemudian Pasirah Zaini dijemput prajurit Kalajengking sudah sampai lebih awal ke telinga Bicak Ning. Beliau punya prinsif tidak ada masalah yang tak bisa diselesaikan. Menyelesaikan masalah tidak harus dengan kekerasan dan kekuatan otot.
Dia tahu persis posisinya sebagai bibi bagi Pasirah Zaini tak beda dengan ibu kandung, punya kewajiban melindungi dan menyelamatkan nyawa anaknya. Itulah yang dilakukannya sebagai orangtua.
Begitu tahu Pasirah Zaini sudah ada di markas Kalajengking, tanpa banyak bicara dan pikir panjang, Bicak Ning langsung mendatangi komandan batalion di markasnya. Namun, sebelum berangkat menemui komandan batalion Bicak Ning menenangkan dulu adiknya, Syamsuddin Madjid dan Sofyan Madjid, yang sudah ingin mengamuk.
"Kapo dengan tunggu kudai di sini. Pacak aku kudai nyo nengahinyo. Syam, Yan toroti katoku," kata Bicak Ning tegas sambil mengikatkan tali stagen.
Bicak Ning menemui komandan batalion. Komandan menyambutnya penuh hormat, bahkan cium tangan. Rupanya antara keduanya sudah saling kenal dan akrab. Sang komandan menyapa Bicak Ning dengan panggilan "embik" (ibu) sebagaimana anak-anak Bicak Ning memanggil dirinya.
Bicak Ning memanggil sang komandan dengan panggilan "nak".
"Nak Ibrahim, ini embik datang menemui kamu mau memperkenalkan ini, Pasirah Zaini, anak embik juga. Dia ini anak kakakku. Masalah kalian diselesaikan secara kekeluargasn saja. Embik tidak mau terjadi keributan. Kalau Nak Ibrahim masih menganggap embik ini sebagai ibu, tolong masalahnya dihentikan sampai di sini sana. Kita berdamai dan jadi keluarga besar," demikian Bicak Ning bicara kepada komandan batalion Kalajengking, Mayor (CZI). Ibrahim.
Sang komandan tidak punya pilihan sikap. Dia menuruti apa yang diminta Bicak Ning. Hal ini mengingat hubungan baik antara mereka. Sejak bertugas di Talangpadang menjadi komandan Yon Kalajengking, Mayor (Czi). Ibrahim sudah diangkat anak oleh Bicak Ning.
Hubungan angkan-angkanan itu dilakukan lantaran nama sang komandan sama dengan nama Pangeran Ibrahim, kakak kandung Depati Madjid.
Bicak Ning kemudian menjelaskan bahwa Pangeran Ibrahim adalah kakek dari Pasirah Zaini. Akhirnya masalah pun bisa diselesaikan dengan baik tanpa pertumpahan darah. Mayor (Czi). Ibrahim pun merasa senang bisa kenal dan bertemu dengan saudara-saudara angkatnya.
. TAMAT