Di ruang kerja, Jian duduk di hadapan Ardham mendengarkan dengan seksama apa yang di ceritakan Ardham dari cerita awal sampai pada cerita akhir mengenai kejadian kecelakaan yang menimpa Ardham.
"Dan ini semua bukti yang kita punya untuk mengungkap kejahatan Robet." ucap Ardham menyerahkan semua dokument serta rekaman di atas mejanya.
"Apa Tuan Ardham tidak takut sama Tuan Robet? Tuan sudah tahu kan siapa Tuan Robet? apalagi dengan kedudukannya sekarang?" tanya Jian seraya mengambil surat Arsen dan membacanya dengan seksama.
"Jian, bisa kamu tidak memanggilku Tuan lagi? terserah kamu memanggilku apa. Paman, atau namaku saja! yang penting jangan Tuan lagi." jelas Ardham pada Jianying.
"Oke, Paman Ardham. Pertama apa yang harus aku lakukan selain mempelajari semua bukti dokument ini?"
"Kamu menguasai beladiri apa saja?"
"Hampir semua aku bisa menguasai paman, sejak kecil aku sudah berpetualang dari negara satu ke negara lain untuk mempelajari semua tekhnik bela diri."
"Baguslah, aku percaya kamu bisa aku andalkan. Oh ya Jian, menurutmu apakah kematian Tuan Yang benar- benar karena serangan jantung?"
"Tidak paman, dia di bunuh oleh seseorang. Aku yakin itu, karena aku tahu bagaimana anatomi manusia bekerja. Ayahku orangnya sangat sehat, tidak pernah mengeluh sakit. Aku lihat terakhir saat Ayah meninggal jantung Ayah sehat, tapi ada sesuatu zat yang tak terlihat telah menyumbat aliran darah Ayah. Zat itulah yang membuat Ayahku meninggal." jelas Jianying panjang lebar. Ardham menatap Jian cukup lama, berpikir apa kematian Tuan Yang terkait juga dengan masalah warisan Arsen.
"Di apartemen Ayahmu apakah kamu melihat sesuatu yang mencurigakan?"
"Mungkin kasat mata apartemen Ayah terlihat rapi, tapi ada satu yang menarik bagiku. Kode brangkas Ayah ada yang menggantinya." Ucap Jian dengan mata yang terlihat marah.
"Jian, mulai sekarang kamu harus hati-hati apalagi sekarang kamu berada di pihakku. Pasti Robet tidak tinggal diam." tatap Ardham mulai menguatirkan Jian juga, walau Jian menguasai banyak bela diri. Jianying mengangguk mengiyakan.
"Sekarang surat wasiat Tuan William kamu simpan di mana? kamu harus cepat atur agar Nadine bisa segera menandatanganinya. Setelah itu baru kita menemui Robet di rumahnya." lanjut Ardham.
"Kapan ada waktunya Nadine saja. Aku langsung bisa menyiapkan semua berkasnya." sahut Jian sambil menyalahkan rokoknya.
"Jian, aku besok ada ke Yayasan William Care bersama Abay. Aku minta kamu bisa temani Nadine ke kampusnya, di sana nanti ada Marvin teman dekatnya Nadine yang harus kamu jaga juga. Karena keluarga Marvin ada hubungannya sama keluarga Nadine." jelas Ardham.
"Kalau aku mendaftar menjadi mahasiswa di kampus Nadine bagaimana? dengan aku menjadi mahasiswa di sana aku bisa leluasa menjaga Nadine dan Marvin." tatap Jian meminta persetujuan Ardham.
"Ide bagus juga, hari ini kamu urus secepatnya pendaftaranmu. Tapi ingat jangan sampai identitasmu ketahuan." sahut Ardham tajam.
"Oke...pagi ini aku aku segera mendaftar ke sana. Bisakah aku pergi sekarang?" tanya Jian sambil menghisap rokok terakhirnya.
Ardham mengangguk. mengamati Jianying dari tempat duduknya.
Di kampus, Nadine duduk menatap Marvin yang lagi asyik main game di ponselnya.
"Marvin! lihat aku! kamu tidak membohongiku kan?"
Marvin menghentikan main gamenya, kemudian membalas tatapan Nadine yang terlihat sangat serius.
"Buat apa aku membohongimu Nad? kalau kamu tidak percaya dengan ceritaku, kamu bisa tanya Momy sekarang." ucap Marvin seraya memberikan ponselnya pada Nadine.
"Telepon saja Momy sekarang." lanjut Marvin sedikit kecewa karena Nadine tidak mempercayainya.
"Hem...aku percaya padamu Marv, cuma aku tidak habis pikir bagaimana aku bisa menerima semua ini? dari keluargamu aku menerima warisan semua milik papa, sedang dari Jianying aku juga masih menerima warisan dari kakek William. Aku tidak percaya dengan semua ini Marv? semua ini bagaikan sebuah mimpi bagiku." ucap Nadine menatap Marvin yang masih menatapnya.
"Dan apa kamu juga tahu Nad? kalau orang tua kita sebenarnya telah menjodohkan kita?" tanya Marvin dengan wajah serius.
"Benarkah itu?" tanya Nadine dengan wajah tak percayanya.
"Hm...benar, cuma permasalahannya kamu tidak mencintaiku, tapi sudah mencintai orang lain. Jadi, perjodohan itu tak ada gunanya lagi, walau itu pesan dari orang tuamu pada orang tuaku." pelan suara Marvin dengan raut wajah yang berubah kecewa.
"Maafkan aku ya Marv, mungkin kamu marah dan kecewa dengan keputusanku kemarin. Tapi itu memang yang aku rasakan, aku tidak tahu kenapa aku begitu sangat mencintainya? begitu sangat menyayanginya. Seperti ada ikatan batin yang sangat kuat antara hatiku dan hatinya." jelas Nadine pada Marvin yang menatapnya penuh kekecewaan, namun ada sebuah senyuman tulus di sana.
"Ya...ya aku mengerti dengan peraaanmu Nad, cuma jangan seperti itu? membuat hatiku jadi berdarah-darah lagi, sakitnya di sini Nad!" goda Marvin menahan senyum sambil menunjuk hatinya.
Nadine tertawa terkekeh melihat sikap Marvin yang selalu saja bisa menghiburnya.
"Marv, jujur aku sangat berterimakasih padamu. Karena kamu, aku bisa tertawa sekarang dan bisa menjadi diriku sendiri. kamu pertama orang yang bisa mebuatku tertawa." ucap Nadine dengan serius.
"Aku tahu itu Nad, itu sudah tugasku untuk selalu membuatmu tertawa dan bahagia, tapi itu sebenarnya bukan karena aku saja. kamu bisa berubah dingin, sedih, bahagia, itu semua karena paman Ardham, paman Ardham yang telah menguasai hatimu, yang bisa mengubah suasana hatimu." jelas Marvin dengan penuh kedewasaan.
Nadine tersenyum memerah, mendengar apa yang di katakan Marvin, yang memang benar adanya.
"Benar tidak apa yang aku katakan?" tanya Marvin dengan senyuman nakal.
"Ya...kamu benar, tapi aku tetap berterimakasih padamu Marv. kamu tetap yang terbaik." jawab Nadine dengan senyuman yang sangat tulus.
"Sama-sama Nad, aku juga berterimakasih padamu karena berkat kamu. Aku sekarang bisa mengerti akan cinta yang tulus, dan menghargai sebuah cinta."
Nadine mengangguk, kemudian melayangkan pandangannya ke arah kampus di depannya yang mulai ramai.
Pandangan mata Nadine menjadi terhenti dan terpaku saat matanya bertemu dengan mata milik seseorang yang laki-laki yang angkuh dan sombong. "JIANYING" sedang apa dia di sini?" batin Nadine, Jianying yang tahu Nadine sudah melihatnya, segera menghampiri Nadine dengan langkahnya yang sangat tenang.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Nadine langsung saat Jian sudah berada di hadapannya.
"Mengawasimu." jawab Jian singkat membalas tatapan Nadine yang melotot indah, kemudian melirik ke arah Marvin yang duduk di samping Nadine yang berdiri.
"Emm...kamu pasti Marvin?" tanya Jian pada Marvin.
Marvin berdiri penasaran karena Nadine mengenal laki-laki yang baru di lihatnya di kampus.
"Ya benar, apakah kamu teman Nadine?" tanya Marvin menatap Jian dan Nadine bergantian.
"Dia notaris Jianying, yang mengurusi surat wasiat Kakek William, Marv." Jawab Nadine sambil melirik Jian yang masih berdiri tenang.
"Aku dapat tugas dari Paman Ardham untuk menjaga kalian berdua, jadi aku minta kalian bisa bekerja sama denganku." ucap Jian dengan suara datar.
Marvin tertawa kesal, mendengar ucapan Jian yang terlihat sangat sombong.
"Hai Jian, bilang pada paman Ardham. Aku dan Nadine tidak perlu penjagaan, lagi pula aku bisa jaga Nadine." sahut Marvin dengan kesal.
"Sebaiknya mulai sekarang kalian harus hati-hati, di balik pintu gerbang ada tiga orang laki-laki yang sedang mengawasi kalian mereka adalah anggota Mafia. hidup kalian dalam bahaya." tatap Jian dengan mata biru elangnya.
Nadine dan Marvin melayangkan pandangannya ke arah pintu gerbang kampus, dan memang ada tiga orang berada di sana yang sesekali melihat ke arahnya.
Nadine dan Marvin saling berpandangan dengan tatapan ngeri.
"Jian, apa benar yang kamu katakan itu?" tanya Marvin memastikan lagi.
Jian hanya mengangguk, kemudian memakai kacamata hitamnya melihat tiga laki-laki yang masih berdiri di sana.
"Kalian masih ada pelajaran tidak?" tanya Jian pada Nadine dan Marvin, dengan pandangannya masih mengarah pada tiga laki-laki itu.
"Sudah tidak ada, kenapa?" tanya Marvin tidak mengerti maksud Jian.
"Kalian ikuti aku, masuk ke mobilku sekarang. Dan aku minta kalian jangan terlihat gugup." ucap jian kemudian berjalan mendahului Marvin dan Nadine.
Nadine yang merasa takut, memegang lengan Marvin dengan sangat kuat.
"Tenang Nad, ingat pesan Jian jangan terlihat gugup." bisik Marvin mencoba bersikap tenang.
Nadine dan Marvin masuk ke dalam mobil duluan, baru kemudian Jian masuk ke dalam mobil.
Terlihat Jian membuka laci mobil dan mengeluarkan sebuah pistol desert eagle yang terkenal dengan kemampuan daya tembaknya yang sangat mematikan.
Nadine yang melihatnya menelan ludah, sambil mengenggam erat lengan Marvin.
"Kalian jangan panik, kaca mobilku anti peluru. Tapi kalian harus hati-hati dan tetap mengikuti perkataanku." ucap Jian sambil memasang tali seatbeltnya.
Perlahan mobil Jian bergerak pelan keluar dari pintu gerbang. Dari kaca spion depan, Jian melihat ketiga laki-laki itu bergerak cepat memasuki mobil dan menyusul mobil Jian.
"Marv, jaga Nadine! mereka sudah mengikuti kita." ucap Jian mulai menancap gas dengan keras, menambah kecepatan mobilnya menjauh dari keramaian kota.