"Tidddaaaakkkkkk!!!" Nadine berteriak histeris dan berlari masuk ke dalam ruang operasi.
"Pamaannn Ardhammmmm!!" Teriak Nadine berurai airmata, mencoba menerobos masuk dari halangan beberapa para medis.
Airmata Nadine sudah tak berbendung lagi, ratapan tangisannya tak bisa meluluhkan hati para medis untuk melepaskan cekalannya.
"Aku mohon lepaskan aku...aku ingin melihatnya. Tolong lepaskan aku." ratapan tangis Nadine menghancurkan hati Marvin yang ikut mendengar berdiri di samping pintu.
"Biarkan dia melihatnya sus, lepaskan tangan Nadine." Anna mengiba dan memohon pada para medis agar mau melepaskan Nadine.
"Tapi Bu, masih banyak kabel yang masih terpasang pada pasien. Kami kuatir akan bisa merusak peralatan kami, jika Nadine tak bisa tenang dan masih histeris seperti ini." kata salah satu dari mereka.
Tubuh Nadine merosot ke bawah, dan bersimpuh pada dokter dan beberapa perawat yang masih memegangnya.
"Dokter aku mohon..biarkan aku melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Aku harus melihatnya dok, pamanku tidak mungkin meninggalkan aku, dia sangat mencintaiku dok, aku mohon." suara Nadine tersendat-sendat di sela isak tangisnya.
Anna dan Bella yang mendengar kata-kata Nadine saling memandang, apakah Ardham sudah mengungkapkan perasaannya pada Nadine." pikir Anna dan Bella.
Bella mendekati Nadine, dan meraih tangan Nadine agar berdiri dari bersimpuhnya. Sambil memegang pundak Nadine, Bella menatap ke arah dokter yang menatap Nadine dengan Iba.
"Dokter, saya minta tolong biarkan Nadine bisa melihat pamannya untuk yang terakhir kali. Saya yang menjamin Nadine tidak akan melakukan apapun yang dapat merusak peralatan dokter." pinta Bella dengan sangat berwibawa, membuat dokter dan perawat lainnya segan.
"Baiklah Bu, Nadine saya beri waktu hanya lima belas menit, setelah itu biarkan kami bekerja untuk melepaskan semua alat yang ada pada pasien." jelas dokter yang akhirnya mengalah untuk melepas tangan Nadine.
"Nadine kamu harus tenang ya, temuilah pamanmu sekarang..mungkin dengan kehadiranmu semua keajaiban bisa terjadi." sahut Bella dengan tenang.
Marvin yang melihat Mommy nya seakan berpihak pada Ardham, menjadi sangat kecewa, apalagi memberi kesempatan pada Nadine agar bisa menemui Ardham, walau Ardham sudah di nyatakan meninggal.
"Mom, apa yang Mommy lakukan? aku adalah anakmu Mom?" ucap Marvin sangat kecewa dan terluka.
"Diamlah Marv! belajarlah untuk lebih dewasa dan tidak bersikap egois, nanti Mommy akan menceritakan semuannya padamu. Sekarang basuhlah mukamu, biar tidak kusut lagi dan biar pikiranmu bisa jernih." ucap Bella dengan sangat tegas pada Marvin.
Dengan hati terluka dan kecewa Marvin pergi begitu saja tanpa mengindahkan Bella.
Anna yang masih termangu di tempatnya, mendekati Bella, yang masih menatap kepergian putra semata wayangnya.
"Bell, apakah menurutmu...Ardham sudah mengungkapkan perasaannya pada Nadine?" tanya Anna.
"Aku rasa sudah An, kalau mendengar perkataan Nadine tadi. Tapi aku tidak tahu, apakah Ardham sudah menceritakan pada Nadine soal pernikahan kalian yang tidak pernah ada itu." jawab Bella menatap Anna yang menjadi sangat terkejut akan perkataannya.
"Apakah kamu tahu dari Ardham Bell?" Anna merasa malu dengan Bella.
"Aku mengetahuinya dari orang kepercayaanku, dan Ardham sendiri sudah mengakuinya." jelas Bella.
"Ayo An, kita duduk di situ. Banyak yang harus kita bahas soal Nadine dan Ardham, juga soal putraku Marvin."
Anna mengangguk setuju.
"Tapi bagaimana dengan Nadine dan Ardham di dalam, apa kita lihat Nadine dulu?" tanya Anna sedikit cemas. Takut jika Nadine akan marah atau kecewa padanya, jika memang ardham sudah menceritakan semuanya pada Nadine.
"Dokter sudah menyatakan Ardham meninggal, dan sekarang Nadine menemaninya. Aku berharap ada keajaiban nantinya, kita bisa menunggunya sambil membahas masalah ini." sahut Bella.
Di ruang operasi, Nadine melangkah masuk dengan sangat pelan. Langkah kakinya terasa begitu berat untuk Nadine gerakkan. Tangis Nadine terdengar lirih, dalam hatinya yang menangis pilu sangat dalam.
Berkali-kali tangan Nadine memgusap airmatanya, agar tidak keluar lagi. Hatinya ingin tegar saat melihat Ardham. Namun airmata yang keluar tak jua bisa berhenti, airmata itu keluar dengan sendirinya, semakin meleleh dan semakin deras.
Jarak semakin dekat, langkah kaki Nadine serasa makin goyah, hatinya tak sanggup melihat keadaan Ardham yang terbujur dengan tubuh sudah tertutup kain putih.
"Paman." panggil Nadine dengan suara merintih lirih.
Dengan gemetar dan tangan yang lemas, Nadine membuka kain putih yang menutup wajah Ardham serta tubuh Ardham semuanya.
Airmata Nadine semakin jatuh berderai, saat melihat wajah Ardham yang pucat memutih, sangat terlihat tampan dan sangat bersih. Mata dan bibir Ardham terkatup rapat. Nadine tak sanggup melihatnya selain terduduk lemas di kursi di samping Ardham, sambil melihat kabel-kabel selang yang menancap pada titik titik tertentu di dada Ardham. Nadine terisak pilu, melihat semua itu. Apalagi saat melihat alat monitor elektrokardiogram yang berada dekat dengan Ardham, hanya menunjukan tanda bergaris panjang.
"Paman." panggil Nadine menangis pilu, hatinya begitu sangat bersedih dan dadanya terasa sesak dengan kenyataan yang telah di lihatnya.
Dengan tangan gemetar Nadine meraih tangan Ardham yang terkulai. Di genggamnya dan di tempelkannya di salah satu pipinya dengan airmata yang masih berlinang.
Kulit tangan Ardham masih hangat terasa menyentuh kulit pipi Nadine.
"Paman, apakah paman benar-benar telah meninggalkan Nadine? apakah paman tega meninggalkan Nadine sendirian? Kenapa paman selalu membuat hati Nadine bersedih,
kenapa paman?" ratap Nadine, sambil mengusap lembut punggung tangan Ardham.
"Baru saja Nadine bahagia, karena paman juga mencintai Nadine, tapi kenapa sekarang paman meninggalkan Nadine? jawab aku paman?"
Airmata Nadine mengalir deras membasahi punggung tangan Ardham.
"Nadine minta maaf paman, semua ini terjadi karena salah Nadine. jika saja Nadine tidak lari, dan mau mendengarkan penjelasan paman...pasti paman masih hidup, dan masih bersama Nadine sekarang." Isak suara Nadine.
"Paman, bangunlah paman..jangan tinggalkan Nadine sendirian. Nadine sangat membutuhkan paman, Nadine sangat mencintaimu paman." suara Nadine makin meratap bangun dari duduknya dan berjongkok menghadap wajah Ardham yang terpejam. ditepuk-tepuknya pelan kedua pipi Ardham berharap Ardham akan terbangun.
"Paman bangunlah, Nadine mohon...jangan tinggalkan Nadine dalam kesedihan lagi paman. Nadine tak ingin kehilangan paman. Pamannnnnnnnn bangunlaahhhhh, aku mencintaimuuu pamannn...aku mencintaimu." tangis Nadine mulai histeris tepat di telinga Ardham.
Di ciumnya seluruh wajah pamannya seakan-akan tak ingin lepas dari kulit wajah Ardham. Airmata Nadine mengalir deras membasahi wajah dan leher Ardham.
Kepala Nadine lemas merosot ke dada Ardham, masih terisak pilu di atas dada putih Ardham yang telanjang.
Rasa putus asa mendera di hati Nadine, berharap Ardham akan terbangun saat mendengar suaranya.
Namun harapan tinggal harapan, Ardham tak bergeming di tempatnya.
Kepala Nadine masih terkulai lemas di dada Ardham, tatapan mata Nadine mulai kosong dan hampa, tangan Nadine mengenggam erat tangan Ardham.
"Jika paman pergi, maka aku pun akan pergi paman. Biarkan aku ikut paman, aku akan mati di sini bersama paman, kita tak akan terpisahkan lagi paman." guman Nadine pelan, mulai menahan nafasnya agar berhenti dan dia akan mati.
Nadine semakin menyusupkan kepalanya di ceruk leher Ardham dengan gemggaman tangan yang semakin erat.
Nafas Nadine mulai tersengal-sengal. Nadine ingin mengakhiri hidupnya dengan menahan nafasnya. Wajah Nadine terlihat memerah dengan mata yang terpejam rapat. Urat di lehernya nampak mulai menegang. Genggaman erat tangan Nadine pun, semakin kencang.
Selang beberapa detik...
Mata Nadine berlahan terbuka, saat telinganya mendengar bunyi detak suara monitor elektrokardiogram bergerak normal naik turun.