"Jangan menangis Nad, paman tidak apa-apa,
kalaupun suatu saat paman harus mati, demi dirimu, Paman akan melakukannya dan akan terus melakukannya, karena paman mencintaimu Nad. Sangat mencintaimu." ucap ardham sambil menutup matanya menahan sakit karena tubuh Nadine menindih daerah dada dan perutnya yang masih terasa sakit.
Nadine mendongak, melihat mata Ardham yang terpejam serta wajahnya yang meringis menahan sakit.
"Paman kenapa? apa paman merasa sakit? di mana sakitnya paman?" tanya Nadine cemas dan panik meraba tubuh Ardham pada tiap bagian yang luka.
Ardham yang melihat kecemasan di wajah Nadine, hatinya terasa begitu dingin dan nyaman.
Perlahan tangan Ardham menahan salah satu tangan Nadine agar berhenti dari rasa cemas dan paniknya.
"Nad, apa yang kamu lakukan? Paman tidak Apa-apa, tadi hanya ada rasa sakit di dada dan perutku. Saat kamu menindihku." jawab Ardham jujur, membuat wajah Nadine bersemu merah menahan rasa malu.
Dengan menahan rasa malu Nadine sedikit menjauhkan dirinya dari tubuh Ardham.
"Emm...maafkan aku Paman, aku tidak lupa kalau dada Paman masih sakit." ucap Nadine denga suara pelan dan gugup.
Ardham tidak menanggapi permintaan maaf Nadine, malah menarik kembali tangan Nadine hingga tubuh Nadine terjerembab dalam dada bidang Ardham.
Wajah Nadine begitu sangat dekat dengan wajah Ardham.
"Aaauuuggghhhh." suara Ardham mengaduh pelan. Nadine ingin menjauh kembali, namun tangan kokoh ardham merengkuhnya dengan sangat kuat.
"Paman, lepaskan Nadine. Paman nanti akan kesakitan lagi." suara cemas Nadine semakin membuat nafas Ardham memburu.
"Tidak apa-apa Nad, diamlah dan tetaplah seperti ini sejenak. Biarkan Paman memelukmu Nad, biar hati Paman tenang." ucap Ardham dengan sorot mata yang sendu dan redup.
Nadine merasa detak jantungnya berhenti, nafasnya terasa menghilang berganti menghirup nafas Ardham yang mulai memburu.
"Paman." desah Nadine pelan, dengan memejamkan matanya menikmati rasa nyaman dalam pelukan Ardham.
"Nadine." rintih Ardham lirih memeluk Nadine dengan segenap jiwanya.
Selang beberapa menit kesunyian melanda di ruang kamar Ardham. Hanya deru nafas teratur Ardham dan Nadine yang terdengar. Keduanya sangat nyaman dalam pelukan satu sama lain.
"Nadine." panggil Ardham dengan suara lembut
"Ya paman." jawab Nadine pelan tanpa membuka matanya.
"Paman sangat mencintaimu Nad, sangat mencintaimu." ucap Ardham sangat lembut di telinga Nadine.
"Apakah kamu masih mencintai paman Nad? atau kamu masih belum bisa memaafkan paman?" suara Ardham terasa tercekat, menunggu jawaban Nadine dengan hati cemas.
"Nad, jawab pertanyaan paman? apakah kamu belum memaafkan paman?" Ardham menangkup wajah Nadine yang kedua matanya masih terpejam.
"Buka matamu Nad, lihat mata paman?"
seru Ardham dengan dada yang terasa sesak.
"Kenapa paman bertanya itu lagi? jika Nadine memang belum memaafkan paman, buat apa Nadine berada di sini? bersama paman, dalam pelukan paman?" jawab Nadine sambil membuka matanya membalas tatapan Ardham yang begitu sayu.
"Katakan sekarang Nad, katakan jika kamu telah memaafkan paman, dan masih mencintai paman." mohon Ardham dengan suara lirih.
"Nadine sudah memaafkan paman, dan Nadine juga masih mencintai paman." sahut Nadine dengan wajah tertunduk tak mampu menatap mata Ardham yang begitu redup dan sayu.
Ardham kembali menarik tubuh Nadine dalam dekapannya. Berkali-kali di kecupnya puncak kepala Nadine dengan hati yang sangat lega.
"Trima kasih Nad, trima kasih telah memaafkan Paman. Paman sangat mencintaimu Nad." serak suara Ardham dengan perasaan yang membuncah akan kebahagiaan.
"Nad, apakah bisa Paman meminta satu hal padamu?" ucap Ardham ragu-ragu.
"Hm, apa paman?" tanya Nadine dengan suara lembut.
"Bisakah, kamu mengatakannya lagi tanpa memanggilku paman Nad?" pinta Ardham lagi dengan tatapan penuh harap.
Nadine menatap Ardham dengan tak percaya.
"Bagaimana bisa paman?" tanya Nadine dengan suara gugup.
"Apa yang tidak bisa Nad? aku merasa terlihat sangat tua Nad, saat kamu memanggilku Paman, bisakah kamu melakukannya untukku Nad?" pinta Ardham penuh harap.
Nadine menghela nafas dengan berat.
"Baiklah paman, sekarang Nadine harus mengatakan apa lagi paman?" tanya Nadine akhirnya mengalah demi Ardham.
"Katakan kamu sangat mencintaiku tanpa memanggilku Paman Nad, panggil dengan namaku saja, bisakah?" ucap Ardham lagi.
Wajah Nadine bersemu merah, bibirnya terasa keluh untuk berucap.
Dengan sedikit gugup Nadine mencoba melakukan apa yang di inginkan Ardham.
"Aakkuu...mencintaimuu, Arr...dhamm." ucap Nadine dengan suara terbata-bata menahan malu yang sangat.
"Katakan sekali lagi sayang, katakan dengan jelas." hati Ardham berdesir hangat, saat Nadine menyebut namanya.
"Akuu mencintaimu Ardham, sangat mencintaimu." sekali lagi Nadine mengucapkannya dengan perasaan yang begitu lega.
Tak sadar airmata Nadine jatuh menetes. Dengan cepat Ardham menghapus airmata Nadine.
"Jangan lagi menangis sayang, aku sangat bahagia mendengarnya. Peluk aku erat Nad." suara Ardham terlihat parau dan terasa seksi dit telingaNadine.
Tanpa menunggu lama Nadine memeluk Ardham dengan sangat erat. Menangis bahagia dalam ceruk leher Ardham.
Ardham mengusap punggung Nadine seraya berulang kali mengecup puncak kepala rambut Nadine.
Harum wangi rambut Nadine memasuki ke sela rongga-rongga dada Ardham begitu tenang dan melelapkan.
"Nad, mulai sekarang...aku minta jangan panggil aku paman lagi. Apakah kamu bisa melakukannya Nad?" tatap lembut Ardham
"Dham, maafkan aku... untuk sementara aku tidak bisa melakukannya, aku merasa tidak enak dengan Tante Bella, Bibi Anna, dan Marvin. Biarkan saat kita berdua saja aku memanggil namamu ya?" Mohon Nadine.
"Apakah kamu merasa malu Nad? apakah karena aku sudah tua, hingga membuatmu malu memanggil namaku di depan mereka Nad?" tanya Ardham sedikit kecewa.
"Bukan begitu Dham, aku merasa tidak enak saja. Aku belum terbiasa memanggil namamu di depan mereka, aku mohon mengertilah." Mata Nadine mulai berkaca-kaca, tidak bisa memenuhi keinginan Ardham.
Ardham menghela nafas kecewa.
"Baiklah Nad, jika kamu tidak bisa melakukannya aku harus bilang apa lagi." ucap Ardham putus asa.
"Ardham jangan seperti ini, aku akan melakukan apapun asal jangan menyuruhku untuk memanggil namamu di hadapan mereka. Aku belum siap Dham." ucap Nadine sangat lembut melelehkan hati Ardham yang kecewa.
"Benar? kamu akan melakukan apapun yang aku minta?" Ardham meyakinkan dirinya.
Nadine melayangkan senyum indahnya seraya mengangguk kecil.
"Menurutmu apakah kita sekarang, sepasang kekasih?" tanya Ardham menatap kedua mata Nadine yang begitu bening.
"Aku tidak tahu Dham, yang aku tahu kita saling mencintai." jawab Nadine sedikit malu.
"Emm, apakah aku harus memintamu lebih dulu untuk menjadi kekasihku? agar kamu yakin kalau kita sudah menjadi sepasang kekasih?" ucap Ardham dengan wajah yang serius.
Wajah Nadine semakin semburat memerah, tertunduk menahan rasa malu.
Ardham meraih kedua tangan Nadine, di genggamnya dan di kecupnya dengan penuh perasaan.
"Nadine Aisyell, apakah kamu mau menjadi kekasihku? menjadi kekasih seorang laki-laki yang lebih tua darimu?" ucap Ardham menatap dalam kedua mata Nadine yang nampak berkaca-kaca.
"Aku menerimamu segenap hatiku Ardham Devanka, aku berjanji akan melayanimu dan menemanimu selama hidupku. Tanpa perduli siapapun dirimu." isak tangis Nadine pecah di sela-sela kebahagiaan yang membuncah.
"Aku mencintaimu Nad, sangat mencintaimu. Ingin selama hidupku bersamamu dan menjagamu." serak suara Ardham masuk meresap ke relung hati Nadine.
"Aku juga mencintaimu Ardham, sangat mencintaimu. Jangan pernah tinggalkan aku lagi." bisik Nadine tepat di telinga Ardham.
Ardham menatap sayu mata bening Nadine, wajah yang cantik, hidung yang mungil, serta bibir yang tipis tanpa suatu polesan.
Sungguh membuat aliran darah Ardham terasa menghangat. Jantungnya yang telah tenang kembali berdegup kencang.
Seiring matanya melihat bibir tipis Nadine yang sangat begitu dekat dengan bibirnya. Deru nafas Ardham mulai memburu, saat nafas Nadine masuk ke dalam hembusan nafasnya.
Dengan tangan yang berada di tengkuk Nadine, Ardham mendekat kan bibirnya ke bibir Nadine, begitu dekat dan semakin dekat, kedua bibir saling menyentuh.
Rasa hangat mengalir ke penjuru aliran darah Ardham.
Dengan keberanian penuh Ardham mulai melumat bibir bawah Nadine yang basah dan terasa kenyal. Lumatan-lumatan kecil Ardham di bibir Nadine semakin itens.
Nadine yang awal hanya diam menerima, mulai bereaksi membalas lumatan kecil Ardham dengan membuka mulutnya memberi acses pada Ardham agar lebih mudah memainkan gerak lidahnya.
Semakin lama, lumatan-lumatan kecil sedikit mulai brutal, saling membalas dan saling mengulum. Bibir Nadine serasa semanis madu yang menjadikan candu bagi Ardham.
"Hemmmm...hemmmm." deheman seseorang membuyarkan aktifitas Ardham dan Nadine.