Dengan hati yang sakit dan terluka, Marvin menarik keras tubuh Nadine dalam dekapannya. Marvin menangis terisak dalam ceruk leher Nadine. Berlahan Nadine membuka matanya, masih dengan keterkejutannya melihat Marvin menangis dengan memeluk dirinya dengan sangat erat.
"Apa yang kamu lakukan Marv." ucap Nadine masih dengan keterkejutannya.
"Bukankah kamu marah padaku Marv? kenapa kamu malah menangis?" tanya Nadine tak mengerti.
"Aku marah padamu Nad, sangat marah. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa dengan marahku ini." rintih Marvin
"Tidak bisa kah kau memberikan waktu sedikit saja, agar aku bisa membuktikan kalau aku juga mencintaimu?"
"Apa yang akan kau buktikan Marv? di mataku kamu adalah laki-laki yang baik, sangat tampan, dan pintar. Kamu sudah sangat sempurna di mataku." ucap Nadine, menangkup wajah Marvin yang memerah.
"Lalu kenapa kamu tidak memilihku Nad?kenapa kamu lebih memilih paman Ardham yang pantas menjadi orang tuamu? dan kamu juga sudah tahu kalau paman suami Bi Anna." ucap Marvin tak mengerti dalam pikiran Nadine.
"Paman belum pernah menikah Marv. Tidak ada pernikahan antara Paman dan Bibi Anna. Paman telah membohongi kita selama ini." sahut Nadine lirih.
"Kalau paman tega membohongimu, kenapa kamu masih memilihnya Nad? kenapa Nad?" teriak Marvin melihat Nadine yang lemah, yang masih mencintai Ardham walaupun telah di bohongi selama ini.
"Marv...jika aku bertanya padamu. Kenapa kamu tidak marah kepadaku? padahal aku sudah mempermainkan perasaanmu? kenapa Marv?" tanya Nadine balik pada Marvin.
Marvin terhenyak, memalingkan wajahnya menatap ke arah lain. Tentu saja Marvin tidak bisa marah pada Nadine karena rasa cintanya yang begitu besar pada Nadine.
"Kamu sudah mengerti kan Marv? kenapa aku tidak bisa marah pada paman Ardham?" jelas Nadine mencoba memberi pengertian pada Marvin.
"Aku telah kalah Nad, aku kalah di banding paman Ardham." ucap Marvin terduduk lesu.
"Kamu tidak kalah Marv. Kamu laki-laki yang hebat di mataku, yang mempunyai hati seluas samudra. Aku bersyukur mengenalmu Marv." ucap Nadine mengusap kedua pipi Marvin.
"Tersenyumlah Marv, aku lebih senang melihatmu saat tersenyum...terlihat sangat tampan." goda Nadine sambil senyum terkulum
"Benarkah itu?" Marvin memicingkan matanya menatap Nadine tak percaya.
"Tentu. Apa perlu kita tanya pada tante Bella dan Bibi Anna?" sahut Nadine dengan menahan tawa.
Bibir Marvin cemberut dengan wajah tertekuk.
"Sama saja bohong Nad." gerutu Marvin mengacak rambut Nadine.
Nadine terkekeh.
"Kita kembali yuk Marv? dari tadi Tante Bella mencarimu, takut putranya yang paling tampan bunuh diri." goda Nadine lagi membuat Marvin semakin kesal, kemudian memeluk pundak Nadine dan memitingnya gemas.
"Coba sekali lagi menggodaku, aku nikahi kamu saat ini juga." gurau Marvin.
Nadine makin terkekeh dalam pelukan Marvin. Berdua mereka berjalan dengan saling memeluk pundak.
Nadine bernafas lega, melihat Marvin sudah tidak ada lagi marah atau kecewa padanya atau pada Ardham.
Di depan ruang operasi nampak sepi, tidak ada Bella atau Anna yang terlihat menunggu. Hati Nadine mulai gelisah, Ada salah satu perawat yang baru saja keluar dari pintu operasi.
"Suster, mau tanya...pasien yang bernama Tuan Ardham apakah masih ada di dalam?" tanya Nadine dengan hati yang berdebar-debar.
"Ohhh...Tuan Ardham, barusan saja pasien di bawa ke kamar VIP Melati karena kondisi nya sudah stabil." jawab perawat itu kemudian berlalu meninggalkan Nadine dan Marvin. Nadine menarik nafas lega.
Marvin memegang pundak Nadine erat.
"Sekarang kamu bisa tenang, ayo kita cari kamar Melati." ajak Marvin menggandeng tangan Nadine yang dingin.
Setelah berjalan menyusuri lorong rumah sakit dan naik di tingkat berikutnya, akhirnya Nadine dan Marvin sampai juga di depan kamar VIP Melati.
Wajah Nadine terlihat sedikit gugup dan pucat. Tidak ada keberanian untuk masuk ke kamar Ardham.
Marvin yang mengetahui hal itu menjitak kening Nadine dengan pelan.
"Ayo masuk, kalau tidak mau...ayo kita pulang saja." ucap Marvin melepas genggamannya.
Nadine meneguk salivanya, menghela nafas panjang menenangkan hatinya yang mulai berdegup kencang.
Marvin mengetuk pintu pelan,dan membukanya berlahan. Nadine mengikuti di belakang Marvin.
Bella yang Mengetahui Marvin datang langsung memeluk putranya, dan menggandeng tangan Marvin keluar kamar.
Anna menghampiri Nadine yang masih berdiri terpaku.
"Duduklah di sini sama Bibi Anna Nad. Ardham masih belum sadar, mungkin beberapa menit lagi akan sadar." ucap Anna seraya menuntun Nadine duduk di kursi sofa. Nadine hanya bisa diam dengan bibir yang keluh dan hati yang sudah tak karuan.
"Apakah kamu sudah makan Nad?" tanya Anna menatap wajah Nadine yang terlihat lelah, dengan pakaian yang masih sama saat membawa Ardham ke rumah sakit. Ada bekas darah yang sudah mengering walau sudah terlihat samar karena sudah di bersihkan oleh Nadine.
"Nadine belum lapar Bibi Anna." jawab Nadine pelan dan sedikit gugup.
"Apakah sekarang kamu bisa menceritakan apa yang telah terjadi?" tanya Anna pelan.
Nadine menatap Anna ragu. Apa dia harus menceritakan semuanya, bagaimana dengan perasan Anna nanti.
"Kamu tidak perlu takut Nad, Apakah kamu sudah tahu kalau Bibi Anna tidak menikah dengan Ardham?" tanya Anna memastikan pemikirannya.
Nadine hanya mengangguk kecil, dengan beribu pertanyaan yang masih menggantung. Kenapa Ardham harus menyembunyikan perasaannya selama bertahun-tahun.
"Bibi Anna...apa Bibi Anna tahu kalau Paman mencintaiku? maafkan aku kalau mungkin Bibi Anna tersinggung atas pertanyaanku." ucap Nadine dengan wajah tertunduk.
Anna tersenyum mengusap wajah Nadine penuh kelembutan.
"Sudah sangat lama Ardham mencintaimu Nad, sebelum kamu menyatakan cintamu untuk pertama kalinya.sampai sekarang Ardham masih mencintaimu." sahut Anna dengan mata menerawang dan hati yang sedikit terluka.
"Lalu kenapa paman menolakku Bibi Anna?dua kali sudah paman menolak perasaanku? saat aku jujur mengatakan perasan Nadine pada Paman." keluh Nadine dengan perasaannya yang kembali terluka.
Anna menghela nafas panjang dan menatap Nadine dengan sangat serius.
"Nadine, percayalah pada Ardham. Dia sangat mencintaimu, dia rela melakukan apapun asal kamu bahagia." jawab Anna dengan tidak menceritakan yang sebenarnya.
"Nadine belum bisa percaya Bibi Anna. Jika paman ingin Nadine bahagia, pasti paman tidak akan menyakiti hati Nadine dengan melakukan kebohongan selama bertahun-tahun." ucap Nadine mulai terisak.
"Apakah kamu marah sama Ardham? apa kamu membencinya Nadine?" tanya Anna.
"Aku tidak tahu Bibi Anna, hanya saja aku ingin tahu kenapa paman melakukan kebohongan ini semua? dan paman tidak memberitahuku. Dan itu membuat aku marah dan lari, hingga terjadilah kecelakaan itu. Paman menyelamatkan Nadine dari sebuah mobil yang hampir menabrak Nadine." jelas Nadine dengan isakan lirih.
Anna mendekati Nadine dan memeluk tubuh Nadine. Di belainya rambut kepala Nadine dengan penuh kasih.
"Sudah Nad, jangan menangis lagi. Sekarang yang terpenting Ardham sudah melewati masa kritisnya. Dan dia bertahan hidup karenamu." ucap Anna membesarkan hati Nadine.
"Ya Bibi Anna, aku bersyukur paman selamat dan masih hidup untukku. Aku tidak ingin kehilangan paman Bibi Anna?" rintih Nadine.
"Ya..Ya, aku tahu... sekarang temanilah Ardham. Aku akan pulang sebentar membawa baju Ardham sekalian baju kamu." ucap Bibi Anna seraya memeluk dan mengecup kening Nadine. Kemudian berjalan keluar membuka pintu dan menutupnya kembali.
Nadine masih duduk di kursi sofa, dengan pikiran yang masih kacau.
Hatinya gelisah apa yang harus di lakukannya saat Ardham sadar.
Hubungannya dengan Ardham masih menggantung, karena awal kejadian yang manis berakhir dengan tragedi kecelakaannya Ardham yang telah menyelamatkannya. Dengan sedikit ragu Nadine berjalan mendekati Ardham yang terbaring lemah di atas ranjangnya. Berada di samping Ardham hati Nadine menjadi panas dingin, dadanya terasa sesak untuk bernafas. Ingin sekali Nadine memeluk dan menangis di atas dada Ardham.
Namun hati Nadine menahannya. Ardham adalah pamannya, dan belum menjadi kekasihnya. Nadine akan merasa malu jika Ardham tersadar saat dia memeluknya.
Sudah hampir setengah jam Nadine masih duduk diam di samping Ardham tanpa bergerak sedikitpun.
Hingga saat ada pergerakan pada jari-jari Ardham. Nadine mengamati jemari Ardham yang berlahan bergerak dan terangkat seakan mau menggapai sesuatu.
Dengan cemas Nadine menangkap tangan lemas Ardham yang hampir terkulai, tangan Ardham kini dalam genggaman tangannya. Ada perasaan yang begitu hangat yang mengalir di aliran darahnya. perasaan hangat yang mendorong hati Nadine untuk memeluk tubuh Ardham.
"Nadine." panggil Ardham sangat lemah, namun bagaikan sengatan listrik bagi Nadine yang mampu menggetarkan hatinya hingga nadine terhenyak dari duduknya.
"Paman." suara Nadine bergetar seiring dadanya yang berdebar-debar.
Perlahan mata Ardham terbuka menatap Nadine dengan sorot mata yang begitu sendu dan redup.
"Kemarilah Nad." suara lirih Ardham yang serak membuat hati Nadine terjatuh sejatuh-jatuhnya.
Sungguh suara Ardham tlah menyiksa hati Nadine. Nadine mendekatkan dirinya semakin dekat dengan Ardham.
Mata Ardham yang sendu dan redup telah melelehkan pertahanan Nadine. Tanpa mengucapkan apapun Nadine menumpahkan airmata rindu dan ketakutannya di atas dada bidang Ardham.
"Paman, maafkan Nadine...karena Nadine paman jadi seperti ini. Maafkan Nadine, Paman." suara tangis Nadine meracau di telinga Ardham.
Jemari lembut Ardham mengusap punggung Nadine yang menangis terisak-isak di atas dadanya.
"Jangan menangis Nad, paman tidak apa-apa.
Kalaupun suatu saat paman harus mati, demi dirimu, paman akan melakukannya dan akan terus melakukannya. Karena paman mencintaimu Nad, sangat mencintaimu." ucap Ardham sambil menutup matanya menahan sakit karena tubuh Nadine menindih daerah dada dan perutnya yang masih terasa sakit.