Penjara yang menyimpan manusia-manusia kriminal sekarang ini sempurna sudah. Di balik pagar, hanya dibatasi kawat-kawat kurus mereka yang sudah menjadi tidak waras berkeliaran.
Tangan mereka mengombang-ambingkan pagar tetapi tidak ada tanda bahwa itu akan ambruk atau rusak sedikitpun. Tubuh mereka kaku, tenaga mereka sudah terkekang. Itu kontras dengan warna kulit yang sudah tak normal lagi.
Zefri bertanya-tanya dalam perasaan bersalah. Ketakutan membuat tubuhnya bergeletar hebat sulit untuk berhenti. Orang yang disukainya, seorang pendongeng lucu menghembuskan napas terakhir di hadapannya. Dia tabah akan itu, sudah jalan hidup memang sedemikan. Tetapi, walau ditanyakan sekalipun Zefri pasti menjawab Robi telah tiada. Dan sekarang Robi bangkit berdiri selagi dia sedih berduka? Zefri kehilangan banyak tenaga.
Diantara mereka yang berada di tengah lapangan, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Pengidap penyakit aneh tersebut berkerumun di depan pagar, memukul dan menggoyang, berharap bahwa pagar akan runtuh saat itu juga.
Zefri dan yang lain berharap sebaliknya. Ketakutan menerkam mereka saat mendapati wajah-wajah yang dikenal menampakkan diri dengan wujud pucat tak berdarah. Hendak mereka berlari ke pagar dan memeluk sosok tersebut, tapi mereka tidak bodoh. Mereka ketakutan penuh kebingunan. Tidak ada yang bergerak sesaat.
Tubuh Zefri dan Ivan membelakangi pagar yang menjadi batas untuk pergi ke lapangan. Bunyi klontang terdengar. Suara pintu besi terbuka. Zefri hanya mengetahui bahwa pintu selain pagar berada dimana kantin berada.
Mereka jantungan sekejap. Tidak tidak. Mereka panik setengah mati. Ivan terpanting sesaat berlari. Pintu terakhir menuju kompleks harus ditahan agar tidak terbuka. Dia melangkah menghadap pintu. Nyalinya langsung ciut. Kedua tangan yang hendak menahan pintu lemas tak bertulang. Seorang pria gemuk mendorong pintu dari dalam sana.
"Sampah sialan! Apa ini?" Pria gemuk penuh akan peluh. Ivan yang berada disana segera menyeret tubuh, satu tujuannya, menjauh dari sosok menyeramkan ini.
Di belakang pria itu, ada seorang gadis yang baru saja selesai menutup pintu. Gadis jelita, sedikit remaja hampir dewasa berdiri kaku. Dari matanya nampak jelas kesedihan. Dia tidak bicara sepatahkatapun dan mempersilahkan si kepala sipir melanjutkan urusannya.
"Zefri! Zefri!" Pak kepala berteriak memanggil. Jika sang kepala sudah memanggil, Zefri tidak bisa berharap banyak.
Zefri keringat dingin menghadapnya. Dia yang sudah lemas dengan rasa bersalah semakin lemas akan takut disalahkan. Dia takut. Sungguh. Tak berani, dia menundukkan kepala.
"I-iya?"
"Kau sama seperti sampah ini!" Kepala sipir menunjuk kening Zefri lalu menyapu bersih Napi yang berada di belakangnya dengan telunjuk. Wajahnya merah padam, terbakar amarah. "Sudah kukatakan jangan bergabung dengan mereka! Sekarang lihat! Kau mau membiarkan aku mati disana, ha!"
Aura mencekam menguap pedas. Dibelakang Zefri tentu ada Napi yang sedang menahan kesal. Tangan mereka digenggam erat, tak perlu dilihat dia sudah tahu jelas. Namun, setelah beberapa lama akan hinaan yang terus-terusan dilontarkan kepada sampah-sampah. Tidak ada yang bergerak selain Kepala. Tidak ada yang berani.
"Kau akan mendapatkan balasannya!" Kepala memukul angin, lelah akan semuanya dan memutuskan untuk pergi meninggalkan Zefri. Meninggalkan Zefri yang hatinya hancur sudah. Rasa bersalah membuat dirinya lemas, dan kini dia lebih lemas lagi. Entah kenapa, entah darimana, ada harap yang dipanjatkannya untuk tuhan membuat Kepala tetap berada disana, bersama 'mereka'.
Semuanya bubar di perintah oleh Kepala. Sipir-sipir yang tersisa memerintah beberapa Napi untuk kembali ke dalam bangunan masing-masing. Masih dalam kebingungan, Ivan dan Napi memasuki bangunan berbentuk petak bercatkan putih tempat dimana sel mereka berada. Pintu dikunci dan kompleks hanya meninggalkan belasan orang.
Entah berapa waktu yang terlewat, Zefri tidak tahu pasti. Hal yang diketahuinya adalah bahwa dia duduk di sudut kiri penjara, merenung dan merasakan kesal dan juga kesedihan. Dia bertanya-tanya, entah pada siapa. Apa yang membuat hal ini terjadi semua? Sudah cukup! kehidupan di penjara sudah cukup sulit bagi para Napi bahkan sebelum semua ini terjadi. Takutnya, mereka hanya akan dijadikan umpan hidup yang tak berharga.
Sesuatu bergetar di saku celananya. Dia meluruskan kaki agar tangan dapat masuk dan merogoh kedalam. Dia mengambil sebuah ponsel jadul, duduk kembali seperti semula dan membaca dengan cermat sebuah pesan.
Kau tidak apa-apa, Zef?
Sipir itu hendak menetes air matanya, ada yang peduli. Dengan antusias dia mengetik beberapa pesan untuk membalas pertanyaan yang dilontarkan oleh saudarinya, sekaligus sosok yang ia cintai, Siti.
Entahlah, aku memang baik-baik saja. Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Dia menekan tombol dan mengirim pesan. Dia teringat sesuatu dan mengirim pesan kembali. Kau baik-baik saja, 'kan?
Tentu, di rumah sakit penjagaannya sangat baik. Yang utama usahakan tetap berada di dalam ruang tertutup. Kau sedang berada dimana?
Tempat kerja, balasnya singkat.
Bagus! Pesan dari pemerintah sudah jelas. Dimana-mana memang terjadi hal seperti ini. Kau harus hati-hati dan kuharap Niesha berada di tempat aman.
Zefri mendongak memandangi kerumunan orang di pagar. Tangan mereka menepuk-nepuk sehingga membuat pagarnya bergoyang. Disana ramai. Bagaimana bisa seorang anak kecil tetap aman? Tapi dia tidak punya pilihan. Dia harus tetap yakin.
Pemerintah tahu? Apa bantuan akan datang. Dan apa kau bisa menghubungi rumah? Aku ingin tahu Niesha berada dimana.
Pasti dia berada di rumah. Zefri bernapas lega, setidaknya ada orang yang berpikiran sama dengan dirinya.
"Kekasihmu?"
Zefri terkejut mendengar perkataan itu. Dia memang berharap bahwa itu benar, tetapi nyatanya mustahil terjadi. Dia mendongak dan mendapati sosok kurus, kecil dan berkulit tidak terlalu gelap berdiri di hadapannya.
"Hanya saudari," jawabnya singkat dan kembali fokus ke pesan yang berada di layar.
Kembali pesan dari Siti muncul dilayarnya. Aku tahu ini gila dan aku juga tidak setuju, Zef. Tapi menurut laporan memang benar bahwa kepala mereka adalah satu-satunya titik lemah. Setidaknya, cobalah untuk selamat dengan cara seperti itu. Nanti lagi, aku ada tugas.
Zefri secara tak sadarkan diri mengangguk paham. Setelah dia membaca kalimat terakhir, dia mengetik pesan untuk membalas sekaligus berharap ini dapat membuat Siti lebih tenang.
Aku akan baik-baik saja dan menjemput Niesha bersamaku.
Zefri menggenggam erat ponselnya. Tatapan bapak ini tidak berpindah sedikitpun. Itu membuatnya merasa tidak nyaman. Dia tidak suka diperhatikan. Dia mendongak dan bertatap muka.
"Pemerintah sudah tahu, kita hanya harus menunggu." Untuk memuaskan hasrat si bapak, dia harus berkata seperti itu.
"Apa! Jadi diluar juga?" Zefri mengangguk menjawab. "Aduh, keluargaku berada di desa. Gawat!" umpat si bapak.
Dia memutuskan berdiri di sebelah pintu besi. Meregang-regangkan tubuh. Tidak ada lagi kata lemas, dia merasa kekuatannya telah terkumpul kembali. Kerumunan disana berjumlah sama, atau tidak? Dia tidak menghitung. Tubuh yang lentur, telah kaku di lapangan sana. Mulut mereka terbuka-tertutup, hendak mengunyah apa saja.
Bunyi besi berdentang. Zefri melirik ke sebelahnya, menatap pintu besi yang digunakan untuk lajur darurat atau sejenis bagi para sipir penjara. Dia menunggu untuk lebih pasti.
Dia melangkah agar lebih dekat. Bapak kecil tadi juga kelihatannya celingak-celinguk mencari asal suara seperti orang bodoh. Zefri secara penasaran menggenggam tangan dan mengetuk pintu tiga kali. Tak. Tak. Tak.
"TNI di sini! Harap dibuka!"
Zefri mundur beberapa langkah karena terkejut. Secepat inikah bantuan tiba? Oh, dia bahagia sekali. Dia membalas hanya dengan mengetuk pintu beberapa kali. Cepat dia berlari ke kantor Kepala untuk memberi seonggok kabar bahagia. Oh, kantor Kepala? Sial, dia mendatangi masalah.
Sipir-sipir mengelak dari jalannya. Dia membidik sebuah bangunan bertingkat dua. Ada satu tangga outdoor yang menjurus langsung kepada lantai atas. Di lantai dua hanya memiliki bangunan seperti pondok, sedikit besar dan memiliki pintu tembus pandang dan beberapa jendela di berbagai sisi.
Dia naik keatas dan berhenti di depan pintu. Masih terngiang jelas perkataan menusuk dari Kepala. Dia mengepal, masih diselimuti kesal. Sosok yang memiliki ruang sedang duduk di meja kerjanya. Dia mendongak, saling tatap dengan Zefri dan melambai mempersilahkan masuk.
"Ada apa lagi?!" Anto bertanya, dengan membentak.
"Anu, pak. Bantuan tiba." Murni berasal dari bentakan Anto, Zefri melunak sepenuhnya. Hilang sudah kesalnya dan kepalannya. Dia hanya bisa bersikap sopan santun bak prajurit raja.
Mata Anto membelalak sempurna. Bulat bagai perutnya yang merekah dari balik kemeja. Saat ini pakaiannya sudah rapi dan berkilauan. Orang ini pasti memiliki seragam ganti sehingga dapat terlihat rapi. Sial, andai Zefri punya.
"Apa?! Tapi pihak kepolisian mengatakan segera. Dan secepat ini?!" Anto tersenyum semangat. "Minggir-minggir."
Zefri hanya bisa mengikuti gerak lambat Anto. Tubuh pria itu terlalu sulit berjalan dan langkahnya juga tidak enak dilihat. Dalam beberapa detik, dia sudah berada di depan kerumunan yang menunggui pintu besi.
Beberapa sipir yang masih tersisa sadar akan kehadirannya. Yang tidak sadar akan disadarkan oleh rekan yang sudah melihat Anto. Belasan manusia memberi jalan. Begitulah Anto, sang kasta tertinggi.
Dia merogoh ikat pinggangnya dan menarik satu set kunci dari sana. Dia memilah-milah sekejap, mencari tahu kunci mana yang cocok. Saat sudah menemukannya, kunci dicolokkan ke gembok dan pintu sudah siap dibuka.
Gembok diangkat. Besi pengunci digeser dan gagang ditarik terbuka. Cahaya matahari yang masuk dari atas penjara juga menerpa dari pintu yang terbuka. Nampak terasa aura bahwa senyuman Anto memudar perlahan.
Sesosok mengulurkan tangan dan memperpampangkan kartu namanya. Disana tertera, TNI. Anto mengganti pandangan dan menatap ketus si pemegang kartu.
Sesosok pria tegap tinggi, rahang di wajah terlukis jelas menatap Anto dengan percaya diri. Anto merasa tidak nyaman. Dia membuka mulut dan berusaha menunjukkan siapa bosnya.
"Dimana bantuannya?!"
Pria dengan celana hitam loreng merengut menatap Anto. "Siapa yang bilang bala bantuan?"
Anto menoleh pada Zefri. Tatapannya tajam sehingga Zefri sadar bahwa dia akan terlibat dalam masalah, lagi. Anto tidak dapat berbuat banyak dan mempersilahkan tiga orang memasuki pintu yang menembus dinding tebal nan tinggi.
Pria berahang keras memimpin dan tak sekalipun menatap sipir yang mengerumuninya. Di belakangnya ada satu remaja. Berjaket kerudung abu-abu sedang mendengarkan musik dari headset. Sama seperti TNI, dia tidak memandang sedikitpun ke arah kerumunan.
Barulah yang terakhir sebelum pintu dikunci muncul seorang pria lemah. Bungkuk dan ketakutan setengah mati. Berulang kali kepalanya menoleh menatap sekitar. Lalu entah kenapa dia tersenyum dan tertawa.
Bertambahlah tiga orang di dalam penjara ini. Zefri menatap seorang TNI tersebut, tersenyum ramah dan dibalas senyum. Lalu lewat lagi remaja yang dikenalnya. Zafran yang bahkan tidak menganggap bahwa Zefri ada disana.
Yang terakhir sosok kurus berkepala plontos. Yang tadinya panik sekarang tersenyum entah kenapa. Dia melewati Zefri dan bulu kuduk bangkit seketika.
#O-Kay.
[Revised]