Chereads / ZED VandeIl Version / Chapter 5 - 4. Danger

Chapter 5 - 4. Danger

Di bawah lampu-lampu tempel dinding penjara, sudah berdiri empat orang pria. Melewati pintu besi, kini dunia yang sedikit rumit terhampar di hadapan mereka.

Dinding-dinding lebih kecil dari dinding penjara berbaris mengitar menjadi lapisan luar. Tinggi dinding lebih tinggi dari tubuh orang dewasa. Lambaian ngeri muncul dari balik dinding batu merespon suara bisik empat orang.

"Aku bersyukur karena kalian temani," tutur Zefri pada tiga orang yang baru saja dia temui.

Seorang remaja dengan jaket kerudung menggeleng tidak. "Aku ingin kerumah, bukannya membantumu."

"Tetap saja kita harus bersama-sama." Sosok yang menunjukkan kartu nama tadi siang akhirnya bicara.

"Tidak mungkin bapak membiarkan kalian pergi di sore ini. Dimana harga diri bapak?"

Zefri mengangguk-angguk senang. Tujuannya saat ini hanya satu hal; menemui Niesha. Walaupun Zafran ingin pergi mengambil barang di rumahnya, tapi tetap saja, Zefri merasa terbantu.

Remaja itu lincah melompat ke atap dinding yang lebih tinggi darinya. Enam sosok manusia yang sudah pucat kulitnya menyentuh-nyentuh kaki Zafran amat berseleranya. Kesepuluh jari mencoba meremuk mendapatkan Zafran, namun hanya elusan lembut dari jari kasar yang Zafran terima.

"Apa yang kau lakukan?!" Zefri spontan membentak terkejut.

Dari balik saku jaket kerudung, keluar sebilah benda berukuran kecil. Zafran menggeser sesuatu di benda itu dan sisi tajam dari pisau bergerak menampakkan wujud. Dengan berpegangan pada sisi dinding yang lain, Zafran menikam dahi sosok pucat yang geram-geraman tengah mengelusnya dari bawah.

Aparat TNI yang tubuhnya tegap semampai, awalnya merasakan kepanikan menyapa dirinya. Akan tetapi,  tidak dia perlihatkan secara jelas. Saat jemari-jemari yang mengelus sepatu hitam Zafran menghilang, lagaknya berubah heran.

"Apa yang baru saja kau lakukan?"

Zafran menatapnya lewat sorotan amat malas. Masih dalam musik yang berdendang lewat headphonenya, dia merespon biasa, "Menikam kepalanya."

"Apa?!"

Sosok berpakaian putih hitam menghalangi langkah si aparat TNI yang hendak melakukan sesuatu. Jantungnya sedikit gugup, namun apa yang dia tahu harus dikabarkan pada mereka semua. Entah siapa yang memberi tahu Zafran tentang hal tersebut, yang pasti, ada orang yang sudah mampu menjaga diri di kekacauan yang melanda seantero negeri.

"Aku memang mendapat kabar dari pihak pemerintah." Lawan bicaranya menampakkan wajah menyelidik. "Ini memang sedikit lebih kasar. Namun entah mengapa pihak pemerintah menetapkan satu-satunya kelemahan dari mereka adalah kepala."

"Hah, baru kali ini pemerintah berpikir jernih," gumam Zafran menyimpan pisau lipat miliknya.

Pria yang tegap tubuhnya menarik leher tak percaya. Kedua bola mata tajam menyelidiki kebenaran, hingga-hingga Zefri dibuat kikuk di hadapannya.

"Darimana kau mengetahuinya? Bualanmu tidak selucu yang kau kira."

Zefri secara tak sadar menghembuskan napas bosan. "Jika bapak tidak percaya, hubungi jendral atau kopral bapak."

"Saya masih muda, bukan bapakmu." Dia terdiam sebentar sebelum melanjutkan. "Ada baiknya kau menggunakan otak untuk berpikir. Jika saya dapat terhubung dengan pimpinan, maka saya pasti tidak ada disini lagi karena sudah dipanggil untuk bertugas."

Sipir itu dibuat kesal oleh pria tegap dihadapannya. Tanpa sadar dia mengurut ubun-ubun tempat rambut pendeknya berjuntaian dan membiarkan sosok ini melangkah melewatinya.

Aparat yang berumur muda, menopang tubuh lewat tangan agar dapat memanjat. Dalam satu hentakan seirama pada kaki dan tangan, dirinya saat ini menatap luar tembok kedua penjara.

Zafran yang membereskan orang-orang ini sudah berlalu turun terlebih dahulu. Langkahnya santai di sekitar tepi jalan yang telah sunyi. Itu membuat aparat muda ini harus mengejarnya.

Bahu jaket abu-abu remaja itu ditarik, kedua wajah bergaris beda jauh saling hadap.

"Dengar." Pria dengan wajah tegas mengacungkan telunjuk. "Kita belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kau sudah membunuh orang-orang tak bersalah jika apa yang kau kira benar, ternyata salah. Sebelum ada kepastian, jangan sesekali kau lakukan hal tadi, jika kau tak ingin dapat masalah."

Zafran mengibaskan tubuh dan menggeser telunjuk yang ada di wajahnya. "Aku bukan suruhanmu." Lalu kembali dia melangkah, dengan kedua tangan berselebung di saku jaket.

Dua orang yang tertinggal kelihatannya berhasil melompati dinding yang sedikit jauh lebih tinggi dari postur tubuh mereka. Zefri dan bapak itu menggidik menatap mayat-mayat segar—yang baru saja dihabisi oleh Zafran—yang tak lebih berjumlah sepuluh. Pakaian mereka kelihatan berwarna kotor akan tanah dan darah.

Lamban kaki melangkah, sepi jalanan berangin. Tempat bermukim yang dibangun dari kayu semuanya tertutup mau jendela ataupun pintu. Di populasi yang lebih dari seribu, berdiri empat manusia tersisa. Entah kemana lebihnya, orang-orang itu tidak memeriksa maupun mencari tahu. Kembali, mereka melanjutkan perjalanan.

***

Terpampang di hadapan Zefri seorang diri, bangunan besar yang sekaligus tempat satu-satunya yang bisa ia beri sebutan 'rumah'. Gerbang tinggi berpoles besi hitam masih rapat layaknya pagi tadi. Hatinya dipukul palu mendengar decitan gerbang yang dia buat sendiri.

Kakinya menapak ke dalam halaman rumah. Bangunan bertingkat dua dengan dinding oranye kini tak jauh lagi dari gapaiannya. Entah kenapa, ada sesuatu yang mengganjal. Dirinya tidak tahu apa sebab-musababnya. Karena khawatir, dia mempercepat langkah.

Pintu yang terbuat dari kayu didorongnya sekuat tenaga. Cahaya dari sang surya, menerangi lantai mewah yang gelap tak bercahaya. Semakin lebar pintu terbuka, semakin nampaklah perkakas di dalamnya. Berdiri di lantai dua, siluet gadis kecil memeluk benda yang besar di dada.

"Niesha! Kau baik-baik saja?" Sosok yang dipanggil merespon dengan langkah.

Siluet tersebut menuruni tangga amat pelannya. Satu tangan dia biarkan memeluk dan yang lain memegang tiang penyangga agar tidak terjatuh.

Yang tadinya siluet gelap tak berwarna. Sekarang wujud itu nampak lengkap walau remang-remang terhembus oleh cahaya. Gadis kecil yang indah rambut maupun wajahnya tengah melangkah sedikit ketakutan.

"Niesha, sudah tidak apa-apa, ada abang disini."

Zefri berjalan mendekatkan diri. Lembut dia mengulurkan tangan untuk memeluk erat si gadis kecil. Usapan lembut dia berikan ke kepala. Khawatirnya entah kenapa tak hilang juga. Niesha sedikit terisak entah kenapa. Diluar sepi sudah tak berorang saat Zefri dan yang lain tiba.

Perasaan tidak enak yang dia rasakan tadi terungkap sudah. Apa yang mengganjal tadinya, bukanlah sesuatu yang terjadi pada diri Niesha. Itu adalah sesuatu yang harus dia derita seorang diri. Ucapan sepele dari anak kecil membuat hatinya merasakan perasaan hampa yang aneh. Tetap, dia tahu sifat asli perasaannya saat ini, itu menyakitkan.

"Kak Siti mana?"

Dia menarik tangan Niesha dan melangkah keluar bersama. Padahal dirinya yang bersusah payah mengorbankan waktu untuk menemui gadis ini dengan menawarkan diri melewati bahaya. Bukan kabar Zefri yang pertama ia tanya, Siti malahan. Dia menggoyang kepala agar hal yang konyol musnah dari sana. Satu hal yang harus dia lakukan adalah agar keponakannya tetap aman. Dia tetapkan pada hati agar merasa baikan, Setidaknya, demi Siti.

***

Sekejap mereka melangkah, rumah petak berbahan batu sudah berada dalam area jangkauan mata. Di depan rumah batu, ada dua orang pemilik rumah yang saling bicara. Bukan, nenek itu yang bicara sendiri.

Zafran mengangguk-angguk saat ditanyai atau diceramahi. Bagi Zafran sendiri, rasanya sudah muak jika setiap ada sesuatu harus diomeli. Diberi pencerahan oleh orang yang tidak tahu apa itu pencerahan. Zafran membiarkan nenek keriput itu bicara tak henti-hentinya.

Selagi Zafran berbincang—diomeli, satu dari kawanannya tadi datang menemui membawa seorang gadis muda. Tubuhnya pendek nan mungil, wajahnya bulat dan merah karena menangis. Zefri celingak-celinguk sekejap sebelum angkat bicara.

"Dua orang tadi kemana?"

Zafran mengangkat bahu yang disana sudah terkalung tas hitam dari kain. "Pergi menjadi pahlawan."

"Apa yang kau bicarakan?"

"Lihat saja disana." Zafran memberi telunjuk ke belakang Zefri.

Pria itu berbalik mencari tahu. Matanya awas menatap gang di balik dinding penjara dan juga bangunan oranye yang secara sah tempat tinggalnya. Diantara dua hal itu, ada beberapa rumah berbahan kayu dan papan tertata rapi. Tidak ada tanda-tanda seseorang pada jalanan yang sepi ini.

"Bicara yang jelas, Zafran." Zefri menagih kepastian. Arah telunjuk sudah dia tatap baik-baik dan berulang, namun tetap sisi lain tidak memiliki tanda keberadaan.

"Rumah kayu dengan cat hijau. Mereka bilang akan mencari yang masih sehat, dan mereka pergi hendak membantu. Sungguh tentara yang baik hati," sarkasnya.

Langit yang mulai menghitam membuat hati Zefri terganggu sesuatu. Dia berjongkok di hadapan Niesha dan tersenyum agar anak itu tenang.

"Niesha tunggu disini, ya. Dengan abang ini." Zafran menunjuk dengan kepala. "Abang ada urusan."

Zefri bangkit untuk berdiri. "Jaga Niesha sebentar. Kita harus kembali sebelum malam tiba dan tidak banyak waktu yang tersisa."

Remaja yang menjinjing tas hitam mengangguk mengiyakan sebelum membiarkan pria yang berseragam sipir enyah dari hadapannya. Pria itu masuk ke dalam rumah hijau dan membuat mata tak lagi tahu keberadaannya. Zafran menarik lengan anak itu dan mengajaknya pergi dari sini.

***

Rumah hijau yang Zefri masuki sungguh gelap tak bercahaya. Nampak remang-remang matahari tersisa tak akan cukup menerangi ruang yang ia masuki. Sisi jendela tertutup oleh tirai hingga tak bercahaya.

Pria itu melangkah tegap sambil memanggil-manggil di dalam ruang gelap.

"Pak! Ayo kembali ke penjara!"

Zefri terkekeh sebentar. Ini mengingatkannya tentang acara tv yang bertema rumah sakit jiwa. Haha. Dan dia disini sebagai sang penjaga rumah sakit jiwa, tengah melangkah dalam lebih dalam ke dalam kegelapan.

Tangannya meraba-raba, dia menemukan pintu di sisi kanan dan tetap membiarkannya tertutup. Rumah ini cukup luas—dia tahu itu—walau gelap gulita, dia dapat melihatnya.

Benda jatuh menimbulkan suara dari kegelapan. Zefri santai melangkah. "Pak, ayo kembali." Kali ini dia tak mengikutkan kata, 'penjara'. Itu terlalu konyol untuk di dengar telinga.

Semakin dia menajamkan pendengaran, semakin terdengar geraman dan langkah kaki. Dadanya berpacu cepat saat yang tadinya sebuah bisikan semakin jelas ke telinga. Dia menggenggam tangannya erat dan bersiap dengan situasi terburuk.

Melangkah dia kedepan, pelan dia mengatakan, "Pak?" namun tidak ada respon untuknya.

Maju dia lagi dan jelaslah sudah geraman. Grrr. Sosok yang menggeram menampakkan siluet di dalam kegelapan.

Sosok itu kurus namun tak terlalu pendek. Kepalanya miring dengan tangan yang terkena struk. Tubuh siluet itu menggeram dan menggetar. Bergerak dia selangkah dengan tubuh bergetar.

Si sipir terkena serangan jantung kecil. Kakinya panas diikuti kepala yang mengucurkan keringat dingin. Dia memutuskan untuk lari. Persetan dengan bapak tadi, mungkin dia sudah tergigit dan mati, seperti yang dikatakan oleh pak Robi.

"Graa!" Siluet menggeram, berserak kuat dengan tangan diangkat mencakar.

Jelas, Zefri berbalik kabur. Kedua kakinya melangkah cepat dan sekejap dia menabrak suatu benda hingga dia terpelanting ke lantai. Namun dirinya segera bangkit dengan panik dan kembali berlari ke arah cahaya remang matahari.

Sinar senja menyambutnya. Dia membuat bunyi keras saat menutup pintu besi. Niatnya akan membiarkan Pengidap dari kegelapan itu bertanding dengan waktu. Namun, Pengidap yang setahunya kaku bergerak, kini berlari menerjangnya.

"Aaaa!"

Siluet menabrakkan diri pada pintu besi. Sosok itu berteriak dengan berhasil membuat Zefri gagap ikut-ikutan berteriak. Napas Zefri terhenti saat itu juga dan geram melihat sosok yang menabrakkan diri.

"Sialan!" Pintu Zefri dorong hingga hampir mengenai wajah yang tertawa.

"Haha, kau ketakutan seperti bayi."

Sosok itu membuka pintu dan berjalan keluar. Pria yang pendek, hitam dan memiliki gaya sederhana milik orang desa tertawa terbahak-bahaknya.

"TNI tadi kemana?"

Zefri, yang wajahnya sudah putih kini kembali menimbulkan warna hidup, baru sadar bahwa hanya bapak ini seorang diri yang menampakkan diri.

"Hoho, dia masih di dalam entah mencari apa. Kau tahulah," ejeknya dan kembali tertawa.

Seorang yang tinggi dan tegap tubuhnya keluar dari kegelapan. Celananya yang hitam dengan sepatu boots khas angkatan membuat dirinya mencolok.

"Tidak ada seseorang." Dia membuka pintu dan bergabung dengan Zefri dan bapak yang satunya. "Ayo kembali."

Ketiga pria yang berbeda-beda usia, bergegas kembali. Senja sudah menjadi langit saat ini. Udara yang mengikuti langkah mereka berubah menjadi dingin. Tapi tidak, dengan Zefri. Hatinya panas saat mengetahui tempat ia meninggalkan Niesha, sepi tanpa seseorang. Hanya rumah petak berbahan batu.

Zefri khawatir. Sekelebat perasaan aneh muncul hingga dirinya merasa biasa saja dan lega. Konyol sekali, pikirnya. Dia buang rasa aneh tersebut. Dia sudah dewasa, tak sepatutnya mengingat ucapan remeh anak kecil.

"Kak siti mana?"

Refleks, dia menampar pipinya sendiri hingga membuat dua orang yang bersamanya terkejut.

"Kau kenapa?"

Zefri menggeleng dan tak menjawab. Perasaan aneh hilang digantikan perih di kedua pipi. Cepat dia masuk ke rumah batu dan keluar beberapa detik kemudian.

"Niesha dan yang lain tidak ada."

"Niesha?" Bapak kurus itu mengerutkan alis berpikir sejenak sebelum mengangguk memahami sesuatu.

"Saya duga mereka sudah kembali terlebih dahulu. Tidak perlu khawatir terhadap hal yang belum pasti terjadi. Itu membuang waktumu."

Ucapan yang keluar dari pria tegap yang notabenenya bukan seorang pemikir, terasa aneh didengar oleh Zefri. Tapi, dia menggangguk saja. Berusaha dia yakin bahwa sesuatu tak terjadi.

Ah, sial! pikirnya. Menyesal dia meninggalkan gadis kecil itu dengan seseorang yang aneh perangainya. Mati saja jika terjadi sesuatu pada Niesha.

Dengan hati khawatir, dia kembali ke penjara. Saat dia meloncati dinding penghalang, dirinya juga kepikiran dan geram. Dinding yang tinggi dia lewati dan masuk ke bagian dimana tanahnya terbuat dari batu bercorak ragam.

Pintu besi tempat dimana satu-satunya jalan masuk-keluar yang aman, saat ini terbuka. Tiga orang berdiri di depannya.

Zafran melirik sebentar, sebelum berjalan masuk bersama Niesha dengan neneknya.

Syukurlah.

Tiga yang lain mengikuti dari belakang. Penjara bagian kompleks khusus adalah tempat mereka berada saat ini. Pintu besi ditutup rapat oleh dua sipir selain Zefri.

Zefri menghampiri Niesha dengan perasaan lega. "Kau akan aman disini, Niesha."

"Kak Siti ada disini juga?"

Pria seragam hitam-putih menggeleng, dua hal yang ia tolak. Pikiran konyol dan keberadaan Siti di tempat ini.

"Tidak, Niesha. Yang pasti, Kak Siti aman-aman saja di tempat lain. Ayo, kita ke dalam."

Niesha ikut saja ketika tangannya ditarik. Sekilas dia melihat ke belakang, tempat dimana ada pagar yang memisahkan puluhan orang aneh dari dirinya, dan yang lain. Perasaan takut yang amat besar menyelimuti tubuhnya. Kaku, dia berjalan memejamkan mata.

Ricuh suara semakin bising di telinga. Sipir-sipir maupun warga biasa yang mengungsi merasakan keributan yang semakin menjadi-jadi tiap detiknya.

Keributan itu juga hinggap di telinga Zefri. Geraman, erangan, dan suara pagar yang digoyang-goyang hingga ada kemungkinan runtuh.

Zafran, neneknya, dua pria asing dan seluruh Sipir yang berada di tempat kejadian menoleh serempak. Leher mereka tercekat yang seharusnya basah karena telah menelan ludah.

Pagar yang lebar, saat ini tengah di daki oleh orang-orang yang menggila. Pagar yang dikiranya dapat menampung orang-orang yang kaku tubuhnya, ternyata salah. Memang tidak sepenuhnya salah. Yang tadi kaku, meronta dan menggeliat. Tidak mau berhenti berguncang di atas maupun di bawah pagar.

Pagar runtuh, debu beterbangan.

#Terimakasih atas waktu kalian. Terimakasih banyak. Terimakasih.

[Revised]