Sebuah pintu berwarna perak, terkunci. Zefri menuruni gundukan tanah, namun tetap berhati-hati pada Momo yang baru saja selesai berguling dan menabrak dinding.
Sedikit terganggu dan khawatir, dia membuka pintu. Menarik gagangnya, mendorongnya, menggesernya. Tidak ada yang berhasil. Semua cara yang dia coba hanya memberikan satu jawaban; pintu itu dikunci.
Anak kecil sialan!
Kali ini, dia benar mengumpatkannya di hati. Sial, sial, sial! berulang kali dia merutuk selagi mencari akal selamat dari situasi mencekam nyawa.
Dua Pengidap berbaring di tanah, berdiri. Di atas sana, mulai berlari Pengidap ke arahnya. Detik-detik berlalu, sangat krusial sekali.
Hati Zefri mencemooh, otaknya dipenuhi segala cara agar selamat malam ini. Bau-bau darah, pekat mengecup indra penciumannya. Zefri meletak mata ke atas, ke tempat dimana bangunan persegi panjang ini memiliki atap yang juga persegi panjang. Seperti lantai, cocok untuk dia melompat ke atas sana dan menghindar dari Mereka yang mengejarnya.
Sipir itu mengambil langkah mundur, geraman tengah dalam masa-masa paling kuatnya saat ini. Lantang sekali terdengar sangat dekat.
Pengidap ada di depan Zefri saat dia mengambil langkah mundur, bersiap melompat. Zefri menarik napas dalam, dia takut, tubuhnya bergetar hebat saat ini. Geraman Pengidap di depannya juga, uhh, mengerikan. Tapi dia putuskan, untuk melompat.
Lompatannya melewati Pengidap, tangan Pengidap itu nyaris menarik kakinya. Zefri menancapkan tangannya pada sendi atap. Dia menarik tubuhnya dengan keras, berusaha agar segera naik, karena dia tahu Pengidap tadi tengah berlari ke arahnya. Pengidap itu nyaris menarik kakinya, Zefri menarik tubuhnya. Dia sudah naik.
Zefri menelentangkan tubuhnya, mengatur napasnya yang tak karuan.
Segala latihan Zefri di uji coba kemiliteran, ternyata tak sia-sia. Awalnya dia gagal pada tes masuk, dia merasakan apa yang dipelajarinya di tes kemiliteran tidak akan berguna saat menjadi seorang sipir yang akan berjaga layaknya satpam! Pekerjaan tak berguna. Tapi dia salah dan dia bersyukur karena menjalani tes berat itu. Malam ini, dia selamat karena hal-hal yang dia lakukan bertahun lamanya.
Zefri telah bersusah payah keluar dari penjara yang aman. Pergi ke rumah dan menjemput anak kecil sialan itu. Dia juga bertarung dengan para Pengidap! Mempertaruhkan nyawanya! Tapi apa? Anjing, memang. Itu sebabnya dia tak mau berurusan dengan anak kecil. Menyusahkan dan tak tahu terimakasih. Jika bukan karena Niesha adalah keponakannya, ahh ... Niesha bahkan memang bukan keponakannya.
Dia bangkit dari berbaring, masalah Niesha yang kurang ajar itu akan nanti dia selesaikan. Untuk saat ini, dia harus melihat-lihat keadaan.
Dibawah sana, banyak bangunan persegi panjang, sama seperti bangunan yang dia panjat saat ini. Tempat dimana para Narapidana dikurung, berjumlah lima atau enam. Dia kurang tahu selebihnya, karena tugasnya sebelum ini, tak lebih seperti seorang satpam.
Tatapannya teralih, ke jalanan berbahan batu ditata rapi. Pengidap bergerombol dalam satu tempat. Dua lusin lebih!
Di depan kerumunan itu, ada seorang pemuda. Berjaket abu-abu, memakai headset, saat ini tubuhnya menegang sempurna.
Dia berdiri, tak berkutik sedikipun saat menatap kerumunan Pengidap yang tengah mengerumuni sesuatu ..., atau seseorang.
Wajah yang putih, pemuda yang dibumbui sedikit bintik bekas jerawat, merah tersiram beberapa darah. Beberapa kali pemuda itu menggoyang-goyangkan pisau lipat di tangan. Zefri menduga, remaja itu sepertinya akan menangis.
Tapi dia salah.
Berselang satu-dua detik. Zafran kembali bergerak. Seperti ada ruh baik yang merasukinya, dia menggertak-gertakkan leher.
Remaja itu menggeleng-gelengkan kepala, melakukan hal yang sama ketika pemanasan. Lalu tangan dia regangkan, kaki, kepala lagi, selagi Pengidap bergerombol mengerumuni seseorang.
Kepala dia goyangkan, tak sengaja, kedua pasang mata dari balik kacamata, menatap Zefri yang terperangah tengah mengambil napas di atas atap.
Tatapan itu, Zefri tidak tahu menjelaskannya. Spekulasi yang Zefri miliki tadi, salah besar. Remaja itu, seratus delapan puluh persen, tidak akan menangis. Dia yakin sekali.
Remaja itu disana, berlagak tak normal, menatap Zefri seperti tanpa ada hal besar yang baru saja terjadi.
Bahkan, dia menikam beberapa kepala Pengidap yang bergerombol membelakanginya sebelum pergi.
Sekelebat saja, Zefri kehabisan kata yang tepat untuk menyimpulkan apa yang baru saja terjadi.
Sebuah pintu berwarna perak, terkunci. Zefri menuruni gundukan tanah, namun tetap berhati-hati pada Momo yang baru saja selesai berguling dan menabrak dinding.
Sedikit terganggu dan khawatir, dia membuka pintu. Menarik gagangnya, mendorongnya, menggesernya. Tidak ada yang berhasil. Semua cara yang dia coba hanya memberikan satu jawaban; pintu itu dikunci.
Anak kecil sialan!
Kali ini, dia benar mengumpatkannya di hati. Sial, sial, sial! berulang kali dia merutuk selagi mencari akal selamat dari situasi mencekam nyawa.
Dua Pengidap berbaring di tanah, berdiri. Di atas sana, mulai berlari Pengidap ke arahnya. Detik-detik berlalu, sangat krusial sekali.
Hati Zefri mencemooh, otaknya dipenuhi segala cara agar selamat malam ini. Bau-bau darah, pekat mengecup indra penciumannya. Zefri meletak mata ke atas, ke tempat dimana bangunan persegi panjang ini memiliki atap yang juga persegi panjang. Seperti lantai, cocok untuk dia melompat ke atas sana dan menghindar dari Mereka yang mengejarnya.
Sipir itu mengambil langkah mundur, geraman tengah dalam masa-masa paling kuatnya saat ini. Lantang sekali terdengar sangat dekat.
Pengidap ada di depan Zefri saat dia mengambil langkah mundur, bersiap melompat. Zefri menarik napas dalam, dia takut, tubuhnya bergetar hebat saat ini. Geraman Pengidap di depannya juga, uhh, mengerikan. Tapi dia putuskan, untuk melompat.
Lompatannya melewati Pengidap, tangan Pengidap itu nyaris menarik kakinya. Zefri menancapkan tangannya pada sendi atap. Dia menarik tubuhnya dengan keras, berusaha agar segera naik, karena dia tahu Pengidap tadi tengah berlari ke arahnya. Pengidap itu nyaris menarik kakinya, Zefri menarik tubuhnya. Dia sudah naik.
Zefri menelentangkan tubuhnya, mengatur napasnya yang tak karuan.
Segala latihan Zefri di uji coba kemiliteran, ternyata tak sia-sia. Awalnya dia gagal pada tes masuk, dia merasakan apa yang dipelajarinya di tes kemiliteran tidak akan berguna saat menjadi seorang sipir yang akan berjaga layaknya satpam! Pekerjaan tak berguna. Tapi dia salah dan dia bersyukur karena menjalani tes berat itu. Malam ini, dia selamat karena hal-hal yang dia lakukan bertahun lamanya.
Zefri telah bersusah payah keluar dari penjara yang aman. Pergi ke rumah dan menjemput anak kecil sialan itu. Dia juga bertarung dengan para Pengidap! Mempertaruhkan nyawanya! Tapi apa? Anjing, memang. Itu sebabnya dia tak mau berurusan dengan anak kecil. Menyusahkan dan tak tahu terimakasih. Jika bukan karena Niesha adalah keponakannya, ahh ... Niesha bahkan memang bukan keponakannya.
Dia bangkit dari berbaring, masalah Niesha yang kurang ajar itu akan nanti dia selesaikan. Untuk saat ini, dia harus melihat-lihat keadaan.
Dibawah sana, banyak bangunan persegi panjang, sama seperti bangunan yang dia panjat saat ini. Tempat dimana para Narapidana dikurung, berjumlah lima atau enam. Dia kurang tahu selebihnya, karena tugasnya sebelum ini, tak lebih seperti seorang satpam.
Tatapannya teralih, ke jalanan berbahan batu ditata rapi. Pengidap bergerombol dalam satu tempat. Dua lusin lebih!
Di depan kerumunan itu, ada seorang pemuda. Berjaket abu-abu, memakai headset, saat ini tubuhnya menegang sempurna.
Dia berdiri, tak berkutik sedikipun saat menatap kerumunan Pengidap yang tengah mengerumuni sesuatu ..., atau seseorang.
Wajah yang putih, pemuda yang dibumbui sedikit bintik bekas jerawat, merah tersiram beberapa darah. Beberapa kali pemuda itu menggoyang-goyangkan pisau lipat di tangan. Zefri menduga, remaja itu sepertinya akan menangis.
Tapi dia salah.
Berselang satu-dua detik. Zafran kembali bergerak. Seperti ada ruh baik yang merasukinya, dia menggertak-gertakkan leher.
Remaja itu menggeleng-gelengkan kepala, melakukan hal yang sama ketika pemanasan. Lalu tangan dia regangkan, kaki, kepala lagi, selagi Pengidap bergerombol mengerumuni seseorang.
Kepala dia goyangkan, tak sengaja, kedua pasang mata dari balik kacamata, menatap Zefri yang terperangah tengah mengambil napas di atas atap.
Tatapan itu, Zefri tidak tahu menjelaskannya. Spekulasi yang Zefri miliki tadi, salah besar. Remaja itu, seratus delapan puluh persen, tidak akan menangis. Dia yakin sekali.
Remaja itu disana, berlagak tak normal, menatap Zefri seperti tanpa ada hal besar yang baru saja terjadi.
Bahkan, dia menikam beberapa kepala Pengidap yang bergerombol membelakanginya sebelum pergi.
Sekelebat saja, Zefri kehabisan kata yang tepat untuk menyimpulkan apa yang baru saja terjadi.