Sekujur tubuh, kepala, badan kaki, semuanya bergetar tak henti-henti. Bibir berucap menggigil. Bantal didekap erat dengan sepuluh jemari saling merangkul. Niesha mundur-mundur menatap pintu yang dia tutup agar terhindar dari Pengidap diluar sana. Anehnya, tidak ada terdengar sedikitpun geraman yang tadi dia takutkan. Membuat dia sedikit nyaman.
Keheningan yang dia dengar, perlahan memperlambat getaran di sepanjang tubuh. Si kecil menyesali atas apa yang terjadi. Kembali dia menengok ke pintu, berharap itu terbuka dengan kak Siti yang datang melindunginya.
Terasa dibalik pakaian kain miliknya, dinding batu yang dingin. Punggungnya diseret jatuh hingga terduduk pada lantai. Pintu yang tertutup, dia toleh berulang kali. Kepalanya bergoyang-goyang, ketakutan dia tidak tahu mau berbuat apa.
Isi kepala Niesha, penuh akan rasa yang dia tidak tahu itu apa. Lalu timbullah perasaan bahwa kak Siti akan tiba dari sana. Berulang, berganti-gantian rasa itu timbul dan hilang. Perasaan aneh dan berharap. Semua itu memenuhi kepala mungilnya. Mata telah menjatuhkan air. Renungan kebingungannya, terhenti. Suara berat membuat Niesha menoleh.
"Halo, adik kecil."
Dari balik bayangan sebuah ruang, timbul seonggok kepala serta wajah tirus layaknya orang penyakitan. Rambutnya yang gondrong, menjalar memenuhi telinga. Poni kasar dan berantakan miliknya, sampai ke sorot mata bersahabat yang ia berikan.
Di luar jeruji besi, si gadis menatap, menyeret pelan bokongnya, memilih menjauh.
"Aduh, jangan takut adik kecil .... Bapak tidak makan orang, kok."
Niesha menghentikan gerak. Dia tatap penuh pikir sosok di balik jeruji. Sekejap dia terdiam, tubuh masih bergetar, kini pelan.
"B-bapak ngapain di dalam sana?" Niesha gagap bertanya.
Wajah si pria berubah aneh. Bukan menyeramkan, melainkan tersenyum bahkan hampir saja keceplosan tertawa. Ditatapnya Niesha ramah, tersenyum lembut dan bersahabat sebisanya. Bisa dibilang, itu berhasil.
"Oh, tadi bapak sama teman main petak umpet. Tahulah, bapak sembunyi di bawah ranjang di belakang bapak ini, eh malah ketiduran," beritahunya. "tahu-tahu, teman bapak tidak sengaja mengunci tempat ini." Sosok di balik jeruji, redup menunduk. "Bapak terkunci, tidak bisa keluar.
"Oh, begitu ...." Niesha kembali menunduk dan merenung, 'perlahan mengacuhkan lawan bicaranya.
Pria gelap di kegelapan, memutar akal-akalan. Anak kecil yang baik hati, sungguh kesempatan yang tak pantas dilewatkan.
Pakaiannya berwarna oranye, sebagai tanda dia adalah orang istimewa. Ya, sangat istimewa yang bahkan, keirian, rasa dengki, cemburu orang luar, membuat dia membusuk menahun.
"Adik," gaya bicara yang berat, berganti lembut selembut yang dia bisa. "bapak minta tolong, boleh?"
Niesha mengangkat dagu, kembali menatap lawan bicara. Bulan penuh di atas langit, kilau menyirami sebagian wajah. Lemah dia berkata, tetap gagap masih terasa.
"B-boleh."
Sosok di balik jeruji, tersenyum.
"Untung teman bapak meninggalkan kunci disini. Untung saja." Sosok di balik jeruji menebas angin, kesal. "Kuncinya di atas kepala ..., Niesha? Boleh diambilkan, Adik?"
Dagu dan mata menghadap ke atas, ke dinding yang tengah disandarinya. Si gadis dapat melihat samar-samar karena cahaya tak sampai ke sana—kunci-kunci saling terikat pada kawat melingkar.
"Tinggi," gumamnya.
Tak ada respon dari sosok di balik jeruji.
Niesha meletakkan bantal ke lantai batu yang dingin, dan berdiri. Saat ini, renungan kekhawatiran telah musnah sementara dari benak. Tubuh yang bergetar, telah berhenti dan stabil. Satu fokusnya, mengambil sepaket kunci itu.
Jarak dari kepala dan kunci yang tergantung, boleh dikatakan jauh. Lamban dia mengangkat tangan, mencoba meraih. Tak sampai. Berjingklak mengambil, beberapa kali tetap dia kesulitan. Pada akhirnya, dia mencoba melompat, menampar-nampar udara dan berharap kelima jemari dapat meraih sepaket kunci yang tergantung di gantungan melengkung.
"Uhh."
Niesha berhenti dalam pekerjaannya sebentar. Dia menoleh pada sosok di balik jeruji. Sosok itu mengangkat tangan mencoba menyemangati.
"Ayo, Dik!"
Kembali Niesha bertindak. Kembali dia melompat, sekali dua kali, gagal. Tiga kali, dia berhasil menampar kunci yang tergantung hingga jatuh ke lantai batu.
"Wahh! Adik kecil hebat!"
Niesha membelakangi sosok di balik jeruji untuk memungut sepaket kunci di lantai. Tak ada yang tahu selain dia, bahwa dirinya tengah tersenyum merona.
"Ini." Kunci terulur ke dalam jeruji besi. Cepat dan semangat, sosok di balik jeruji merampasnya.
Sebentar sosok di balik jeruji mengulurkan tangan keluar, memasukkan berbagai macam kunci hingga pintu besi jeruji terbuka. Tanpa ada kata terimakasih, Niesha seperti dianggap tak pernah ada disana. Bergerak sosok itu ke sel-sel lain, menjauhi Niesha yang dalam diam melihatinya. Menunggu sebuah ucapan yang diajarkan kedua orang tuanya. Sebuah, 'terima kasih'.
Niesha menatap segala tindakan sosok yang dia bantu tadi. Sosok kurus, berkulit gelap terkena cahaya bulan, tengah memilih kunci-kunci di kawat melingkar. Dia colokkan dan coba, satu sel terbuka tak berapa lama.
Tiga manusia berhamburan keluar, satu diantaranya bertubuh gemuk, bersorak, "Darimana kuncinya, Badul?"
Badul hanya merespon dengan tunjukan kepala. Si gemuk menoleh sekejap, mendapati ada gadis perempuan. Tak menggubris, dia acuh mengintip kompleks penjara lewat kaca kotak-kotak.
Sosok gondrong bernama Badul, berpindah-pindah membuka jeruji besi. Perlahan-lahan, ruang yang hanya diterangi cahaya rembulan, menampakkan orang-orang yang tadinya tidak ada. Niesha berpikir, berapa banyak yang main petak umpet dan memilih bersembunyi hingga tertidur di balik ranjang? Niesha merasa aneh.
Diantara seluruh manusia yang berpakaian seragam—sebuah kemeja oranye dan celana panjang—ada disana pria dengan rambut pendek, wajah keriput tak sesuai dengan umurnya. Ivan kebingungan keluar dari sel. Badul acuh saja, kembali dia lanjutkan melepas kawan-kawan yang lain.
"Wah, gila! Ramai orang-orang yang terkunci di lapangan tadi."
"Tai, kedap suara! Jadinya teriakan nenek itu tak terdengar. Hahah!
"Iss, nenek-nenek kau suka. Najis!"
"Mati kita terkunci disini! Bagaimana ini?
"Apa yang mati? Kita bisa bebas dan lari! Kalau ada yang menghalangi, sikat sampai mati!
Pria gemuk angkat bicara, "Ya, asal aku tidak ditinggalkan ...."
Badul bertepuk tangan satu kali. Semua potong kepala manusia, memberi mata menghadap dirinya. Senyumannya merekah lebar, gigi kekuningan miliknya menampakkan wujud.
"Kita kabur! Apa lagi?"
Niesha mendekap ketakutan—bantal sudah dia pungut dan peluk. Kartun yang ditontonnya, menceritakan tentang beberapa orang berpakaian penuh warna kabur dari sebuah tempat bernama penjara. Walau pakaian warna, orang disana jahat-jahat dan menyeramkan. Si kecil sadar sekarang, dia baru membiarkan orang jahat tanpa pakaian warna-warni, kabur dari tempat bernama penjara.
***
Semalaman penuh, Niesha resmi menjadi anak satu-satunya yang bermalam bersama Narapidana. Diantara tahanan yang sedang terlelap—menunggu saat kabur dan pagi tiba—satu diantara, amat berniat menghampiri Niesha.
Sosok Napi dengan tubuh tinggi, memberi sapaan ramah.
"Hai, adik kecil ...."
Niesha menatap arah suara, pria berwajah pas-pasan, berkulit putih tersenyum padanya. Sebelum Niesha menjawab, satu tangan miliknya dirampas.
"Main sama abang, yaa."
Sosok tinggi itu terus menarik-narik, selagi Niesha menolak meronta-ronta. Niesha tidak tahu apa maksud tersembunyi dari perkataan pria ini barusan. Namun, rasa takut dalam diri membuat segalanya jelas, bahwa laki-laki ini harus dijauhi.
"Niesha tidak mau!" si kecil, berteriak keras.
Tak berhenti, sosok pria Napi ini menyentuh bibir Niesha. Diremasnya dengan tangan yang kasar hingga bibir mungil nan merah alami itu monyong terpaksa.
Niesha menggeleng-geleng, ketakutan saat si pria memonyongkan bibirnya mendekat. Dua insan punya rentang kekuatan berbeda jauh. Niesha nyaris tak bergerak, walau tubuh telah condong ke samping, berusaha agar dia dan bibirnya yang diremas lepas dari orang jahat ini.
Satu tangan, meremas memonyongkan terpaksa bibir Niesha, dekat jaraknya, hitungan sepersekian detik, bibir mungil itu akan lengket kepada bibir seorang dewasa.
Sosok pria itu didorong seseorang.
"Hei, Peri! Bocah mau kau apakan?"
Ivan yang mendorong Peri menjauh, mengambil tempat menghalangi Niesha yang mulai menangis, sebisa mungkin, Niesha tak bisa melihat wujud Peri. Ivan bahkan tidak ingin membantu tadinya. Seharusnya dia berdiam diri saja, toh dia bukan orang baik-baik juga. Namun perbuatan tak senonoh pada anak sekecil ini sungguh tak bisa dia terima bersenang hati. Tubuhnya bergerak sendiri, dan kali ini menantang Peri di tengah malam yang sepi.
"Kenapa? Kau kalau mau mau juga, ya ayo! Jangan sok jadi jagoan, eh ujung-ujungnya nyikat sendiri!" sindirnya. Maju selangkah, menantang Ivan yang telah membuatnya naik darah.
Kedua pria itu saling tatap. Bulir keringat bermunculan di keriput wajah Ivan. Wajahnya merah memanas dan rasanya, pada telinga, asap bersiap-siap menyembur keluar.
"Kau santai saja! Kami tau kau bejat jadi orang, tapi anak kecil seperti ini, tak cocok kau jadikan korban!"
"Terus apa?" Peri memukul dada Ivan dengan kuat. "Sok kali, habis kusikat kau nanti."
Dua pria dewasa, bertubuh tinggi tegap--otot pekerja keras timbul dari lengan kemeja—dipastikan akan baku hantam. Panas sudah membakar adrenalin, pada saat seperti ini, satu orang pasti mati atau sekadar dilarikan ke rumah sakit. Yang ujung-ujungnya, pasti berakhir di kamar mayat.
Seorang pria pendek, gaya amburadul melompat menengahi. "Apa-apaan kalian?!" Tanpa ada rasa takut—seperti jawara terminal—dua dada pria bertubuh tinggi lebih tinggi darinya, berani dia dorong. Tatapnya amat geram pada kedua orang itu.
"Kau minggir dulu, biar dikasi pelajaran si cari muka ini."
"Hah, tahulah kau, Peri seperti apa. Binatang bejat!"
Si pria hanya pendek sedada, jauh kurus dari pada mereka berdua. Terkekeh dia menahan marah, membungkam siapa saja.
"Sama-sama temanpun kalian begini? Udah kuat kamu? Ha?"
Ivan diam, dia menunggu respon dari Peri yang tengah ragu-ragu. Lima detik kemudian, Peri angkat bicara, kali ini, sebisa mungkin dia bicara baik-baik dulu.
"Bukan begitu, aku bukan sok kuat. Dia ini, sok-sokan menghalangi aku."
Dari kejauhan, di bangunan yang masih sama, masih di lorong yang panjang. Melangkah seorang pria gemuk, besar dengan lemak memenuhi leher, tangan, dan hampir seluruh anggota tubuhnya. Matanya merah, pria itu baru terbangun dari tidur, terganggu oleh kebisingan. Si gemuk sangat kesal, mengunyah lumat-lumat gigi sendiri.
"Sekali lagi ada suara bising, kalian bertiga habis kubantai." Si gemuk mengancam. Suaranya lemah karena masih mengantuk, tapi pesannya jelas sekali. Tiga orang itu, diam tak bersuara.
"Kau, Peri," tunjuk si gemuk. Peri menelan ludah, memberi tatapan panik yang dia coba sembunyikan sebaik mungkin. "anak kecil juga mau kau sikat? Heh! Cabut kau ke selmu! Coba saja kau dekati anak itu lagi, coba saja ...," ancamnya.
Pria tinggi bernama Peri, terpaksa menyetujui perintah si gemuk. Tak mau dia cari malaikat maut berwujud manusia. Bergetar sedikit, Peri kembali ke dalam sel. Sekilas melirik Ivan. Dendam.
Si gemuk masuk ke selnya setelah Peri. Si pria amburadul, kebingungan menelan ludah. Tidak masuk akal jika dia turut diancam. Dia tidak takut, hanya saja, yah, kita tidak boleh berkelahi, 'Kan? Dengan senyap atas nama kesopanan, dia meringkuk di salah satu sel yang ada.
Kini tinggallah Ivan dan Niesha seorang. Si gadis keras memeluk bantal, takut akan perkelahian dan kekerasan. Merasa iba, Ivan menegur agar membuat anak itu merasa bahwa semua akan baik-baik saja.
"Haha, abang-abang tadi bercanda semua ..., namamu siapa?"
Niesha tidak menjawab. Kepalanya hilang mendekam pada bantal lembut, membiarkan dirinya nyaman.
"Abang ada disana ya," kata Ivan menunjuk sisi lain di ujung lorong. Jauh, juga sepi karena yang lain tengah tidur di dalam sel masing-masing. Tanpa Ivan tahu, Niesha mengintip dari celah dekapan bantal, sedikit. "kalau ada apa-apa, panggil abang yaa."
Niesha tak menjawab, biarlah keheningan menyuruh Ivan pergi. Gadis kecil itu takut, sungguh takut. Dagunya sedikit perih dan nyeri karena diremas tadi. Liur ingus, sudah dia tahan dan erangan tangis, dia sembunyikan baik-baik. Tidak mau lagi dia bertemu dengan orang-orang jahat seseram itu.
Ivan disisi lain—jarak dari dua orang itu cukup panjang—tersenyum dan melambai seramah mungkin. Dia relakan tubuhnya santai, napas menyejukkan masuk dari hidung.
Sambil bersandar, Ivan awas, kasihan pada gadis kecil yang ia tidak tahu namanya. Kenangan bersama adik kandungnya sendiri, muncul tanpa dia sadari. Masih hidupkah? Dia bahkan tidak tahu. Kedua orang tuanya, ayah dan ibu. Tak pernah mampir, ataupun sekadar mengirim salam. Tak pernah dia terima sebuah keistimewaan itu. Semenjak dia jatuh, semuanya hilang sudah.
Kelopak mata miliknya terasa berat, halus dan sejuk. Tak dia tunggu lama, pandangannya gelap dan dia tertidur.
Pagi yang cerah, penuh akan kejutan, telah menunggu.
***
Matahari telah menyingsing tinggi, cahayanya terasa hangat walau Badul tengah berada di dalam bangunan putih, tempat sel tahanan dibangun. Pengidap-pengidap yang tadi malam liar merobohkan pagar, liar mengejar-ngejar Niesha, Zefri, Zafran dan selusin lainnya, kembali kaku sama seperti di pagi pertama 'mereka' hadir menampakkan diri.
Pria kurus, hitam, dan tak ada rapi-rapinya karena rambutnya gondrong, tengah mengintip dari jendela petak. Gundukan tanah yang tidak terlalu tinggi, di atasnya berkelayapan Pengidap-pengidap.
Walau semua kompleks penjara tak dapat disapu mata, namun semuanya sadar, ramai sekali di luar sana. Badul telah berpindah tempat, satu tangan sedia membuka pintu besi—yang telah dia buka lewat kunci yang diberikan Niesha tadi malam.
"Maju terus ke depan. Jangan ada yang lamban." Sungguh, Badul tak ada niat menyindir si gemuk yang tengah merungut kesal.
Niesha tak dapat berbuat banyak, hanya dapat pasrah saat jelas-jelas tahu bahwa puluhan orang jahat akan kabur dari penjara. Dirinya yang masih anak kecil, tentu merasakan ketakutan yang besar. Apalagi mengingat orang jahat yang kabur dari penjara, akan dihukum jika ketahuan—dia tahu dari kartun.
Saat puluhan orang berkumpul di lorong, bersekongkol untuk kabur, Niesha mengambil inisiatif untuk mengamankan diri di dalam sel berpagar besi hitam; sel milik Badul.
"Ayo, Badul!" serentak mereka berseru semangat.
Pintu besi terbuka, deru suara geraman—walau pelan dan serak—segera dapat terdengar oleh telinga. Sedikit silau dari langit sana, memabukkan pandangan mata. Badul melangkah di depan, seorang diri mendaki gundukan tanah, dan ngeri melihat sekitarnya.
Di atas batu-batu yang dijadikan jalan pijakan, banyak darah kering bekas insiden tadi malam. Sebagai sarapan untuk 'mereka' di pagi hari, Badul berhasil menarik seluruh perhatian.
Pengidap yang layu, kaku, dan rusak wajahnya menoleh dengan berat. Dagu tertunduk dengan mata berusaha terbuka. Mulut bergeram, seraya tangan dan kaki tegang-kaku menghampiri Badul.
Hanya dalam sedetik saja, Ivan, si gemuk dan puluhan Napi telah selesai mendaki. Di saat mereka telah berdiri, memandang hamparan kompleks beserta bangunan-bangunan yang ada. Badul telah kabur terlebih dulu, berkelit gesit mengandalkan tubuh kurus dan kecilnya. Satu tujuan; gerbang keluar.
Tangan-tangan berusaha meraih Badul, hitungan detik, kiri kanannya membentuk tembok Pengidap yang haram di dekati.
Pria gondrong itu mengecilkan tubuh selagi sedang berlari. Tubuh yang memang kurus, ternyata dapat diperkecil lagi sehingga mempermudah diri untuk berkelit gesit, menghindar berbelok, menerobos kerumunan dengan celah sempit dan bahaya besar.
Jauh sangat jauh dari Badul yang sedang berada di garis depan. Di belakang sana, si gemuk tengah kesulitan melewati tembok bercelah sempit, beresiko tinggi milik para Pengidap.
Tanpa aba-aba, hanya teriakan, "Sama-sama!" puluhan Napi yang akan kabur hari ini, sinkron saling membantu. Si gemuk merasa lebih terbantu karena ada di baris depan, geraknya lamban, namun tenaganya paling kuat. Belasan Pengidap, jatuh dalam sekali dorong.
Di kiri dan kanan juga seperti itu, bahu membahu, bergerak kompak dengan menghalau setiap barisan Pengidap yang datang mendekat. Sama-sama mendorong 'mereka' sampai terjatuh, sehingga terjadi peristiwa Domino. Keindahan di balik kesusahan, membuat Napi tertawa pelan walau tahu bahwa resiko yang dihadapi, masih sangatlah tinggi.
Di kemiliteran saja, yang dilatih disiplin hingga menahun, telah siap sedia patuh terhadap perintah. Setia terhadap teman dan negara, meskipun begitu, banyak yang jatuh dari rel perintah. Apalagi Narapidana mantan kriminal?
Seorang Napi, lengkap dengan pakaian oranye yang berada di barisan terbelakang, berhenti tiba-tiba dan menarik satu Pengidap yang seorang sipir masuk ke dalam kerumunan. Barisan sedikit panik, saat tahu di tengah-tengah kereta pulang kampung, tergeletak satu Pengidap berbahaya.
"Oh, mampus kau!"
Tidak ada yang menghentikan, Napi melompati sipir berseragam kotor—hitam putih berdarah-debu—menduduki perutnya dan mulai memukul.
Tertawa dia melayangkan tinju berat memecah wajah. Pengidap yang ronta agar dapat menggapai Napi, tidak dapat berbuat banyak karena kalah adu tenaga.
Berulang-ulang, wajah sipir yang pucat di bibir dan sekujur wajah, terkena luka-luka gores, robek mengeluarkan darah kering berbau busuk.
Sebuah tangan menyentuhnya dari atas. Dia yang tengah melampiaskan kekesalannya pada sipir yang senantiasa menyiksa, menghina dia diwaktu siang maupun malam jika berjumpa, justru bertambah marah. Kedua alis bersatu mengekspresikan kekesalan, mendongak menatap kesal siapapun yang berani menyentuhnya.
Tanpa ada jeda, langsung saja pukulan telak mematahkan hidung sosok yang berani, yang rupa-rupanya seorang Pengidap warga biasa.
Ivan dari kejauhan, mengulurkan tangan dan membuka mulut untuk memperingati bahwa Napi itu telah ketinggalan kereta. Namun, menelan ludah dan memutuskan diam, memilih bergerak lanjut bersama kereta, adalah pilihan terlogis saat ini.
Karena tiada ampuh lagi harapan, angan dan doa, jika dari segala arah, telah banyak mengepung hingga membuat dirinya tak dapat lagi dilihat dari luar. Pelajaran jelas yang dia pahami, jika tergigit, kau berakhir. Dia belajar cepat. Menggeleng dia pelan, seketika ingatan terhadap siapa yang baru saja berteriak penuh rasa sakit, lenyap dari benak begitu saja.
Gema teriakan dikeluarkan, memang tidak baik berbahagia atas kematian orang lain. Tapi hei, kiri kanan menipis jumlah Pengidapnya. Banyak berpindah memilih mangsa yang lebih jelas bersuara keras, sedikit sepi sehingga kereta dapat melaju lebih cepat.
Kehidupan luar penjara, kehidupan yang jauh berpuluh-puluh kali lebih indah daripada harus mendekam di sel-sel pengap penjara, atau lebih parahnya, mati membusuk tanpa ada siapapun yang akan mengingat nama kita.
Siapa yang tidak mau keluar dari sini terus berkeluarga? Semua mau, tentu! Hidup bahagia bersama kekasih, anak-anak berlarian di pagi maupun siang hari. Masa depan telah terbayang jelas walau di dalam benak sahaja. Tidak penting itu akan terjadi atau tidak, yang sudah jelas dan pasti, impian itu menyenangkan.
Khayalan tetaplah impian. Impian tetaplah angan-angan. Resiko yang tinggi, ternyata sedang menunjukkan kekuasaannya. JumlahNapi yang tadinya puluhan, boleh dikatakan terasa sekali berkurang banyak.
Masalahnya kecil, Napi mendorong Pengidap, gagal, panik, tak sengaja melompat-lompat ketakutan. Di sisi lain, Napi sedang mendorong Pengidap, berhasil, terdorong oleh Napi yang melompat panik, ditangkap Pengidap dan dimakan. Begitulah kira-kira, cincin kepanikan terpasang rapi sehingga belasan nyawa harus hilang percuma.
Diantara puluhan Napi yang melancarkan aksi kabur dari penjara, Badul adalah satu-satunya yang berhasil sampai seorang diri. Dia telah di lorong gelap, sementara Ivan dan puluhan lain sedang mengadu takdir dengan kematian.
Lorong sepi, diisi Badul seorang diri. Sedikit cahaya matahari pagi, masuk melewati sela-sela pagar lapis pertama yang terbuat dari kayu sederhana. Lorong gelap, sedikit bercahaya jadinya.
Pagar terbuka, sudah dalam angan. Menjadi orang pertama yang berhasil kabur dari penjara Tanjung Balai, dia orangnya. Badul tersenyum walau masih dalam angan dan impian, bebas dia sebentar lagi. Hidupnya akan seperti apa? Tentu tuak, narkoba dan wanita akan menyambutnya kembali, dengan senang hati.
Jantung Badul berhenti. Tubuhnya tak bergerak serasa jantung tercopot karena terkejut.
Letusan tembakan.
Letusan tembakan dua kali. Tiga kali.
Dua jenis keringat turut andil membasahi wajah Badul. Keringat lelah dan satu lagi, keringat kepanikan. Dalam kota ini, jika bukan mafia, maka aparat polisi lah, yang diluar sana tengah menembaki sesuatu. Senjata api barang yang langka dan mahal, yang hanya dapat ditemukan dari dua belah pihak tadi. Mau pihak apapun, tidak ada hal baik yang datang—atau akan datang setelah itu.
Gemerincing besi ribut di luar sana. Tertanda bahwa pagar lapisan terluar sedang dibuka. Kemudian berlanjut pagar kayu terbuka hingga membiarkan cahaya matahari menerangi lorong yang gelap. Badul diam saja, takut jika sebentar lagi kehilangan nyawa.
Satu pistol condong dihadapannya. Bukan, melainkan empat potong pistol serta pengguna yang tampak handal, saat ini memegang takdir serta masa depannya.
"Hei! Kau tidak berotak! Kabur kau?!" polisi berseragam lengkap, bertubuh buntal, gelap dan berwajah keras membentak.
Ivan tak cepat menyadari apa yang terjadi, Badul hanya bergoyang sedikit walau telah tertabrak Ivan yang menoleh-noleh, terkejut saat tahu apa dan siapa di depannya saat ini. Mata Ivan membesar, otomatis leher menelan ludah, lalu menoleh kembali ke kumpulan Napi dan Pengidap yang jumlahnya jauh lebih banyak dari mereka.
Badul, Ivan, dan Napi lain yang telah tahu siapa empat orang bersenjata pistol itu, hanya bisa pasrah.
Di ujung mata ada pistol jika ditekan saja pelatuknya, kau akan mati tanpa sempat berkedip. Di belakang mereka, ada Pengidap lapar yang akan mengunyahmu, hingga kau mati menyakitkan secara perlahan.
Pilihanmanapun, ujung-ujungnya mati. Seperti kata seseorang, Lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya.