Chereads / ZED VandeIl Version / Chapter 4 - 3. Momo

Chapter 4 - 3. Momo

Bangunan putih megah yang dijadikan sebagai tempat orang sakit membaringkan diri tengah sibuk saat ini. Perawat-perawat berlalu lalang sambil membawa tabung oksigen maupun benda kedokteran lainnya. Para dokter siap sedia di ruangan, mengecek penyakit dan berpindah ke tempat lain secara bertahap.

Satu laporan dari pemerintah membuat seisi rumah sakit dalam keadaan siaga. Satu tim berisikan belasan orang di kirimkan oleh kepolisian. Banyak sekali diluar berjaga-jaga dan menyapu daerah sekitar. Penduduk yang jikanya dapat diselamatkan akan mereka bawa untuk diungsikan di dalam bangunan rumah sakit.

Semua pasien yang ada telah diperiksa secara ketat. Dokter berlalu-lalang masuk keluar ruangan. Gejala-gejala yang dikabarkan oleh pemerintah segera mereka cari di tiap-tiap pasien. Sesekali terdengar letusan pistol polisi yang tengah berjaga di gerbang depan.

"Bagaimana keadaan saat ini? Berapa banyak yang terinfeksi dari pihak pasien?" Sesosok pria dengan kekuasaan duduk gagah di meja kerja yang dulunya milik salah satu dari empat dokter di hadapannya. Pria itu besar badannya, tinggi perawakannya dan tajam tatapannya.

"Semuanya aman," jawab salah satu dokter.

Abeng mengangguk-angguk sekejap, menyapu empat orang dokter yang ada dihadapannya. Diantara mereka semua, ada satu gadis termuda. Rambutnya dikuncir kuda, rahangnya tirus dan gadis ini menarik.

"Baik," kata Abeng. "langkah selanjutnya adalah mendiagnosa seluruh staf rumah sakit. Baik itu perawat, staf kantin, maupun dokter itu sendiri. Tanpa pengecualian, pihak polisi juga akan diperiksa."

Pernyataan itu membuat keempat dokter tercengang. Dokter pria, berada di ambang kebingungannya melangkah maju. Tangannya bergerak memprotes melebar.

"Tidak mungkin kita terinfeksi? Kita bahkan tidak sakit sama sekali."

Abeng tak mengalihkan pandangan. Aura penguasa menyorot dari dalam-dalam mata saat dia bicara. "Kau pikir, darimana penyakit ini muncul? Dari orang yang sudah sekarat, ha?"

Si dokter mengerut kening, mundur dan membiarkan kedua tangannya menapak di pinggang. "Kemungkinan besar memang seperti itu, pak. Kecil kemungkinan bahwa kami ini terjangkit."

"Kecil maupun tidak." Abeng yang laksananya Aipda berkulit gelap karena matahari menepuk meja. Bunyinya pelan namun padat. "Segera laksanakan jika kalian tidak ingin keluar dari rumah sakit ini. Perintah dari atas sudah jelas. Ada pertanyaan lagi?"

Dokter yang protes menggeleng lalu berbalik pergi. Perlahan, satu persatu dari mereka turun dari lantai dua dan berpisah untuk memeriksa staf-staf rumah sakit dibawah perintah mereka.

Seorang gadis berkuncir kuda memanggil seorang perawat. Perawat itu tidak terlalu tinggi, bermata besar dan bertubuh kurus. Kulitnya putih dan gadis ini santai dalam bicara walaupun sedikit kikuk. Mereka berbincang sekejap, memberi tahu apa yang harus dilakukan di siang hari ini.

"Eh? Apa salah kita? Ini hanya buang-buang waktu."

"Kakak tahu," katanya. Suara yang merdu dan halus. "mau bagaimana lagi. Ada prosedur yang harus dijalankan. Kau paham?" Si perawat bermata besar mengangguk. "Sekarang panggil beberapa perawat di bagian spesialisasi kakak."

Dia mengangguk. Mata gadis itu memang besar dan bulat. Tapi hei, dia manis. Saat Siti berbalik membuka pintu ruang UGD, perawat yang bernama Alda memanggilnya dan dia menoleh.

"Dimana berkumpulnya?"

Siti mengetuk pintu UGD. "Di sini." Lalu dia melangkah masuk dan membiarkan Alda mengumpulkan beberapa perawat.

Alat-alat yang diperlukan sudah tertata rapi di atas meja. Termometer, senter, dan beberapa alat lain. Dia menghela napas dan menghilap peluh di kening. Ini adalah kejadian yang menyedihkan.

Dia merenung, perasaannya gelisah. Entah dimana orang tuanya saat ini, dia tidak tahu. Apa mereka aman seperti dirinya atau tidak? Dia mengulum bibir. Kekhawatirannya terhadap kedua orang tuanya yang telah dewasa tidak setinggi kekhawatirannya terhadap seseorang.

Siti berdecak khawatir. Kedua orangtuanya sudah dewasa, mampu berpikir maju dan melindungi diri. Tapi keponakakannya tidak. Gadis kecil itu masih berumur delapan tahun atau sembilan tahun. Umur yang kecil untuk bertahan seorang diri.

Dia merogoh saku dan membaca pesan di ponsel androidnya. Zefri. Pesan terakhir Zefri membuat hatinya tenang dan lega lalu seketika itu digantikan dengan kegundahan.

Aku akan baik-baik saja dan menjemput Niesha bersamaku.

Niesha memiliki orang yang dapat diandalkan untuk menjaganya. Siti yakin sekali bahwa Zefri akan baik-baik saja. Tapi tetap, jika Zefri pergi untuk mencari tahu keberadaan Niesha, itu berarti saudaranya harus berada di luar dinding penjara. Di jalanan sana, dikelilingi oleh yang sakit, yang saat ini tengah ditembaki polisi-polisi yang berjaga. Dia membuang rasa itu jauh-jauh. Gagal. Hatinya masih gelisah.

Ketukan terdengar dari pintu dua. Beberapa orang masuk dari sana dipimpin oleh Alda. Siti mempersilahkan mereka untuk duduk, memberikan pemeriksaan terhadap Alda terlebih dahulu. Tidak ada tanda-tanda bibir pucat atau mata kekosongan. Dia menghela napas kelegaan dan mempersilahkan perawat lain untuk maju.

Dia menyalakan senter, menyorotkannya pada kedua bola mata perawat gendut. Memeriksa.

***

"Bapak tidak apa-apa." Siti menyimpan senter kecilnya kembali ke saku. Pria yang di depannya tampak mengerlip-mengerlip cepat saat matanya masih samar terkena cahaya.

"Keadaannya sejauh ini baik." Abeng menepuk bahu Siti. "Kerja bagus."

"Tim jaga melapor pada Kepala. Ganti." Dari sebuah ponsel militer kuno keluar suara. Abeng segera memungut dan menekan tombol bicara.

"Kepala disini, ada apa?"

"Keadaan aman terkendali. Kami akan kembali ke rumah sakit dengan membawa beberapa penduduk. Nampaknya malam ini rumah sakit bakalan ramai. Ganti."

Abeng melirik keluar jendela. Memang matahari sebentar lagi tidak andil memberikan kehangatan. Jalanan mulai gelap.

"Bagus. Segera bawa para penduduk."

"Baik. Tim jaga selesai."

Setelah itu, Abeng meletakkan ponsel militer ke atas meja. Dia menatap Siti dan tersenyum. Siti yang masih muda, membalas senyuman orang tua itu. Dia berbalik pergi.

"Kepala! Kepala! Ganti!"

Langkah Siti terhenti. Dia membuka telinga lebar-lebar, memberikan mata pada Abeng yang memegang ponsel dengan panik.

"Apa yang terjadi disana?!"

Deru peluru jatuh dan teriakan panik melanda di sisi lain. Rentetan tembakan menemani Abeng sebelum laporan seseorang yang amat-amat panik terdengar.

"Pengidap bertindak beringas. Tubuh mereka tidak kaku lagi. Mereka berlari dan para penduduk gugur berjatuhan. Tim jaga meminta-tembak dia bodoh!"

Abeng menoleh pada polisi di belakangnya. "Davi, bawa beberapa polisi dan turun kebelakang rumah sakit. Cari tahu dan bantu skuad ini."

Polisi gendut, wajah berlemak menelan ludah menjawab, "B-baik." Dia menggerakkan kepala pada rekan yang ada di ruang itu juga agar ikut padanya.

Davi dan rekan berjalan cepat ke satu-satunya pintu yang ada di ruangan itu. Seraya Abeng memaki, pintu tunggal terbuka memperlihatkan sesosok manusia.

"Bertahan! Bantuan akan tiba!"

Abeng menunggu. Tidak ada jawaban. Tidak sadarkan diri bahwa saat ini ada seorang polisi muda berkeringat menarik napas panik.

"Pengidap terlihat di dalam rumah sakit."

"Apa?!" Siti, Davi, polisi satunya dan Abeng membelalak serentak. Abeng berlari marah.

"Apa yang kau katakan?!" tubuh pria itu diguncang-guncang. "Bagaimana bisa Tim jaga yang berada di gerbang depan dan belakang di tembus? Bagaimana keadaannya?"

"M-maaf." Polisi muda bergoyang-goyang dari goncangan Abeng. Abeng sadar akan hal itu dan berhenti menggoyang. Kedua tangannya masih tetap menekan kedua bahu dengan keras yang membuat polisi itu melirih kengerian.

"Pengidap tidak masuk, pak. Mereka memang ada di dalam."

Abeng melirik Siti, perempuan itu gugup dan secara cepat memberanikan diri. "Darimana asalnya?"

"Ruang mayat," beritahunya.

***

Siti menuruni tangga. Dadanya sesak akan khawatir terhadap apa yang tengah terjadi saat ini. Bagaimana bisa ada pasien yang lepas dari pemeriksaan? Dia tahu, dia harus mencari dokter lain dan menyerangnya dengan rentetan pertanyaan.

"Alda!" Siti segera menangkap Alda yang muncul dari lorong jauh dari tempat Siti berpijak. "Apa yang terjadi?"

Gadis itu menarik napas sekejap. Dia melirik kebelakang lalu menatap beberapa polisi yang turun dari lantai dua.

"Begitulah, Pengidap muncul dan berbuat kekacauan."

"Bagaimana itu bisa terjadi?!" Abeng muncul,tekanannya luar biasa.

Alda menelan ludah. Dia sekali lagi terus melirik ke belakang. Saat sesuatu sudah muncul dari persimpangan lorong yang jauh disana. Dia mengangkat tangan Siti.

"Kabur terlebih dahulu."

Siti menatap gerombolan Pengidap dari lorong sana. Kali ini dia tidak melihat Pengidap yang kaku tubuhnya seperti mereka yang ada di depan pagar. Ini tidak seperti yang dia bayangkan. Pengidap itu berlari, memang masih terjatuh-jatuh dan menabrak apa saja. Tapi ngeri mengakar pada Siti. Pengidap itu telanjang bulat.

Abeng dan ketiga polisi mengikuti langkah Alda. Terus mereka berlari ke arah sebaliknya. Nampak Alda disana membuka pintu UGD dan menerobos masuk amat liarnya.

Davi mengekor terlebih dahulu, disusul Abeng dan dua orang polisi lainnya. Siti yang terakhir.

Siti berhenti di depan pintu, dia melihat tiga orang polisi melangkah bingung melihat tingkah atasannya barusan.

"Kenapa kalian berlari?"

"Ayo masuk!" Siti melambaikan tangan. Hatinya tidak mau tenang.

Ketiga polisi menggidik tidak paham. Barulah saat beberapa Pengidap mulai terlihat di depan mata, mereka sadar sepenuhnya.

"Minggir, Nona!" Mereka mencabut pistol.

Tidak mau terkena tembakan, Siti melompat masuk. Dia membiarkan pintu terbuka jika-jika saja polisi yang diluar sana memutuskan masuk. Erangan terdengar. Davi berlari membanting kedua pintu.

Siti menatap Davi penuh kesal. Jantungnya berdegup cepat saat melihat tindakan Davi menutup pintu. Hatinya tenang dan dia paham seketika saat teriakan serak menggema dari sisi lain.

Tindakan yang dilakukan Davi adalah sewajar-wajarnya tindakan menyelamatkan diri. Dengan tertutupnya pintu bertirai hijau, para Pengidap diluar sana hanya dapat sesekali menggedor-gedor saja.

Abeng, pimpinan tim polisi yang bertugas menjaga rumah sakit melangkah mendekati pintu. Dia melewati Siti dan Davi. Pria itu menenteng pistol di kanan.

"Apa yang mau kau lakukan?" tanya Alda.

"Memberi obat pada yang sakit, tentu saja." Abeng menaruh ujung pistol di kaca. Erangan-erangan kecil terdengar disisi lain. Suara teriakan kesakitan yang tadinya sangat menggila sekali, telah lenyap sepenuhnya. Abeng menaruh telunjuk pada pelatuk, bersiap menembak.

"Jangan!" Siti menampar tangan Abeng. Pengidap di balik pintu semakin liar menggedor-gedor. Perhatian dari luar dan dalam ruangan berfokus pada Siti saat ini.

"Kau?" Pistol yang berada di tangan Abeng tidak terlepas. Hanya sedikit goyah dan bergetar. Dia seorang polisi terlatih. Walau tua, tetap dia masih berjaya.

"Kita akan membiarkan Pengidap masuk jika bapak melubangi kaca jendela pintu ini. Lihatlah sekeliling, kita terkurung dan jika mereka menerobos masuk ke dalam." Siti menelan ludah hanya membayangkannya saja. "Kita pasti habis berantakan.

Pria hitam, garang dan gagah melototi Siti cukup lama. Dia menggeleng dan menyimpan pistol kembali ke sarung. Berjalan duduk ke suatu kasur dengan asal dan menatap Siti.

"Ada dua hal. Satu, apa kita akan duduk diam saja, bu Dokter?"

Siti mengangguk agak ragu. "Itu hanya pilihan kita yang tersisa. Kita harus menunggu. Entah apa yang menyebabkan mereka ini tiba-tiba saja bertindak beringas." Siti mengakhiri perkataannya dengan menatap celah dimana cahaya masuk. Langit sudah hitam di angkasa.

"Dan kedua." Siti menengok kembali, khawatir akan menjawab sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh Abeng itu sendiri. "Apa kau tidak punya panggilan ilmiah untuk yang sakit seperti mereka? Kau kan dokter."

"Eh?" Siti kebingungan. Otaknya kembali berfungsi. "Bagaimana ya ... Hmm." Kedua bola matanya terangkat ke langit-langit, berfikir. Bohlam pecah. Dia mendapat ide.

"Mereka itu kan, pucat. Karena mereka pucat, apa kita panggil saja Chlomo?"

Abeng menggeleng tak setuju. "Terlalu sulit. Yang lain!"

"Hei, bagaimana dengan Momo? Lebih simpel dan mudah, bukan?" Davi memberi pendapatnya.

Alda terlihat di sudut pandang Siti tengah menahan tawa. Entah apa yang gadis bermata besar itu pikirkan. Tapi, Siti tidak komplain, tak mau dia membuat lebih banyak perdebatan.

"Oke, Momo," sahkan Abeng.

Akhirnya, mereka diselimuti keheningan lagi. Sepi sekali, tapi kesepian yang berada di puncak bahaya setiba-tibanya pecah. Bukan, pintu bukannya dibobol. Melainkan seseorang yang memiliki perut besar tengah meradang.

"Hehe." Davi terkekeh tersipu. Tapi menurut Siti dia hanya membuat-buatnya karena saat ini dia tengah menepuk beberapa kali perutnya yang melingkar dan berukuran besar.

Mendengar teriakan cacing-cacing milik Davi, Siti turut merasakan pemberontakan di dalam sana. Sedari tadi dia tidak memasukkan apapun ke dalam mulut. Nampaknya, untuk malam ini dia akan tidur dengan perut kosong.

Tanpa ada yang sadar. Alda heboh sendiri membuka sebuah laci di dalam ruangan. Dan seketika saja dia sudah memegang beberapa roti bungkus dan tersenyum.

Gadis rakus, hobi makan namun bertubuh kurus. Siti menghela napas mengingat keunikan tersendiri di tiap-tiap individu. Entah itu hal yang baik atau tidak, dia tidak tahu menahu.

Alda memberikan sebungkus roti pada Davi. Sedikit dia melirik dan tersenyum cengengesan ke Siti. "Hehe, jangan marah ya, kak."

Siti menerima sebungkus roti dan memilih ranjang dengan asal. Gedor-gedoran masih terdengar keras dari balik sana. Siti membuka roti dan mengunyahnya. Walau Siti berada dalam ruang tertutup, tanpa jendela terbuka maupun pintu dan celah besar lainnya. Udara terasa dingin dan mencekam. Oh, ada AC di atas sana.

Si dokter muda paham betul bahwa dirinya-tidak ia ragukan-pasti menolak untuk terlelap malam ini. Hati was-was berdegup cepat. Perasaan takut akan apa yang terjadi saat mata terpejam menghantuinya. Karena, tiada satupun yang tahu, hal apa saja yang dapat dilakukan oleh Momo menyeramkan. Yang bertelanjang bulat.

#Tinggalkan jejak Kuy.