Anna diam ditemani ibunya, tak ada rasa terkejut; hanya ada kecewa bahwa harapan kecil mereka salah.
Anna dan ibunya sudah tahu ini agak lama, melihat bagaimana di ulang tahun ke sepuluh Anna juga tidak terjadi apa-apa.
Mata Anna tak menyala, hitam seperti ayahnya; rambutnya tak berubah warna, dan tubuhnya baik-baik saja.
Meski begitu, ada harapan kecil di hati mereka berdua, bahwa kekuatan itu akan muncul saat Anna membutuhkannya.
Namun, tidak ternyata.
Dan sekarang Tante Eri dan sahabatnya juga akan tahu kebenarannya.
Mereka berdua terkejut luar biasa, melihat bagaimana putri dari pasangan paling ditakuti di dunia sihir tidak punya apa-apa.
"A… Anna… jangan khawatir, sayang. Bahkan Arthur yang Hebat baru mendapatkan kekuatannya di umur lima belas, kau tahu!"
Tante Eri berusaha menyemangatinya, sayang mereka berempat tahu kebenarannya.
Arthur mendapatkan kekuatan karena bantuan Merlin, dan Anna; tidak punya Merlin.
Tapi, dia masih tersenyum tulus kepada ibu sahabatnya, berterima kasih atas usaha sia-sia itu.
Sayang karena perasaan Anna yang sesungguhnya mudah dibaca, membuat seisi ruangan menjadi canggung juga.
"… ini artinya aku tak bisa masuk akademi 'kan?"
Anna menyatakan fakta sederhana, kebenaran bahwa peraturan pertama Akademi Akadia adalah semua siswanya harus bisa sihir sejak diterima.
Sunyi sejenak menjadi jawabannya, membuat Anna hampir mengambil itu sebagai iya sampai ibunya berbicara.
"Tentu saja tidak!" tegas suara ibunya membangunkan semua, "kau masih bisa belajar disini, sayang. Sihir ada di darahmu, ibu yakin itu. Iya 'kan, Eri?"
Ibu sahabatnya bergidik, terkejut namanya disebut untuk mencari bantuan.
Tapi, itu memang benar.
Kalimat Tante Eri akan menjadi penentuan, dia adalah wakil kepala sekolah, lagipula.
"Kesini sebentar."
Tante Eri memanggil ibunya, mengajak wanita favorit Anna itu berdiskusi agak jauh dari dia dan sahabatnya.
Jeanne dan Anna ditinggal berdua, dijauhi ibu mereka yang berdiskusi di luar kamar asrama.
Sunyi mudah menemukan mereka, canggung masih mengisi sahabat Anna yang masih tak percaya.
"Jadi… apa warna Mana-mu, Jeanne?"
Tidak ingin dikunyah sepi, Anna membuka mulut.
Kawannya menatap mata Anna, tersenyum manis sebisanya kemudian menjawab dengan sedikit rasa bersalah.
"Merah…" si gadis muda berkata, "… jambu."
Mendengar kalimat Jeanne, Anna tertawa.
Dia tak menyangka, merah muda dari semua warna.
"A… apa!? Merah jambu itu keren, tahu!"
"Tentu saja, tentu saja, tuan putri. Apa selanjutnya, kau akan mulai memakai sarung tangan putih dan semacamnya?"
Anna berbicara diselingi tawa, jelas membuat geram Jeanne yang mengadu rahangnya.
"Setidaknya aku punya Mana!"
Teriakan keluar dari sana, frustrasi Jeanne meledak dari dada, mengalir ke mulutnya; membuatnya mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya.
Anna terdiam, sahabatnya benar.
Tindakan itu terjustifikasi, dan perkataannya tidak salah sama sekali.
Anna melihat ke bawah, menemukan tangan kecilnya yang tak bisa apa-apa.
Tak bisa memasak, mencuci, atau pekerjaan rumah lainnya. Mustahil mengangkat pedang dengan lengan tipisnya, dan tak mampu menggunakan sihir juga.
Akan jadi apa dia saat dewasa? Anna bertanya dalam kepala, ragu akan masa depannya.
"A…"
"Anna."
Suara kawannya dipotong ibu tercinta yang membuka pintu kamar asrama.
Anna mengangkat kepala, menatap ibunda.
"Kau akan tinggal dan belajar disini." sang ibu menyelesaikan kalimatnya, tersenyum kepada Anna yang kemudian mengikuti ekspresi ibunya.
Dia menerima pelukan sang ibunda, tersenyum kecil dengan penuh terima kasih kepada Tante Eri yang membalasnya.
Namun, keberadaan si wanita tidak lama.
Wakil kepala sekolah itu keluar bersama sahabat Anna, pergi bertautan tangan dengan sedikit air muka bersalah di wajah keduanya.
"… terima kasih, Bu."
Agak lama keduanya berpelukan, akhirnya ibu Anna melepaskan.
Ibunya mengangguk mendengar terima kasih Anna.
"Besok," wanita favorit Anna itu berucap, "besok kau akan mulai ikut belajar bersama yang lain."
Dan besok datang lebih cepat dari yang Anna duga, ibunya pulang sudah; kini dia berada dalam kamar asrama bersama sahabatnya yang sepertinya masih dihantui rasa bersalah.
Pagi Anna dimulai dengan mandi seperti biasa, mudah melihat kamar mandi ada dalam kamar mereka juga.
Hal yang baru adalah merapikan tempat tidurnya sendiri, dan menyapa sahabatnya yang hanya mengiyakan saja.
Anna ingin berbicara, menahan Jeanne dari bergerak agar bisa mengatakan semuanya.
Namun, itu alasan mengapa hubungan mereka retak sejak awal; karena Anna kelewatan dalam gurauannya.
Sekarang, semua yang bisa dia lakukan adalah melihat kawannya dari kejauhan; perlahan menghilang.
Dia membuang nafas berat setelah berpakaian dan meninggalkan kamar, memastikan tak ada kesalahan dalam buku yang dia bawa; kakinya bergerak ke arena.
Sungguh tidak beruntung dia, melihat bagaimana pelajaran pertama di hari dia bersekolah adalah duel dua lawan dua.
Anna membuang nafas berat lainnya, menyeret kakinya dengan firasat buruk terhadap masa depannya.
Benar saja, dia masuk untuk menemukan semua siswa sudah duduk di tempat mereka; kecuali Anna, tentu saja.
Seluruh perhatian kepadanya, mereka semua menatapnya, termasuk pengajar yabg sedang menjelaskan sesuatu sepertinya.
"Ah, dan kau adalah siapa, nona muda?"
Si pengajar bertanya dengan ramah, jauh di luar ekspektasi Anna.
"Anna…"
Tapi Anna tahu semua akan segera berubah.
"Anna siapa?"
Semua akan berubah setelah mereka tahu nama belakangnya.
"… Anna Georgia Vermount."
Dan seperti dugaannya, bahkan sang pengajar terdiam terhadap fakta itu.
"… tepat waktu," kemudian si pengajar tersenyum girang, "berdirilah disini, nona Vermount."
Pria dengan wajah tegas itu menunjuk lingkaran kecil dalam arena, menuntun Anna ke sana dengan dorongan sihir di belakang Anna.
Kemudian, si pria yang Anna tebak setengah abad kurang dari goresan-goresan di wajahnya itu kembali menghadapi siswanya, membelakangi Anna yang sibuk mengkhawatirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Tuan Douglass, nona Fiora, dan… Revans. Kemarilah."
Tiga nama disebut, dan tiga orang turun disambut.
Yang pertama adalah seorang pemuda yang sedikit lebih pendek dari Anna, memiliki pembawaan berwibawa dengan nada arogan di langkahnya.
Kedua adalah sahabat Anna.
Dan yang terakhir adalah seorang pemuda yang mustahil dilupakan Anna tak peduli apa.