Tanah terbelah.
Asmodeus tertawa
Tuannya berada jauh di Timur sana; persis seperti janji Takdir kepadanya.
Tapi, Asmodeus tahu sang tuan pastilah sangat menderita untuk mengirim dirinya ke sana.
Kerajaan pertama di tanah, berdiri karena sang tuan menginginkannya.
Sebuah tempat indah yang dihancurkan oleh seluruh dunia.
'Ah … nostalgia, nostalgia.'
Si pria Flamboyan menggelengkan kepala, mengembalikan fokusnya kepada pekerjaan di depan mata.
Dia menatap Akadia dalam keseluruhannya, mengerti betul apa yang Takdir ingin dari dirinya.
Dan dengan pengertian itu, dia mengirimkan perintah tanpa suara.
Diam dan batinnya sudah cukup untuk mengkomunikasikan segala.
Belahan di tanah itu dibakar Neraka, dan dari dasar paling menjijikkan dunia; keluarlah semua setan dan pendosa yang dirantai pada perintah dan keinginan dirinya.
Perintah dan keinginan yang cepat jelas kepada semua, mereka bergerak melaksanakan tugas sementara Asmodeus diam di tempatnya.
Rasa bersalah mengunyah dia, ini adalah kali ke enam puluh tiga dia berdosa kepada tuannya, dan untuk itu dia berlutut di tanah.
"Maafkan aku, Yang Mulia." Meminta maaf dia kepada rajanya yang diam tak membalas.
Akadia berada dalam situasi yang berbahaya, dan dirinya sebagai jenderal besar kerajaan; tak bisa melakukan apa-apa.
Lima tahun yang lalu prajurit dari Neraka menyerang Akadia.
Mereka menerobos semua pertahanan mereka, dan dalam prosesnya; menghancurkan setiap kota yang kalah.
Sekarang, prajurit setan itu sedang bergerak dengan lancar ke ibukota.
Tak ada yang bisa menghentikan mereka.
Tidak, lebih tepatnya: satu orang yang bisa menghentikan mereka tak mau melakukannya.
Caitlynn Georgia Vermount, yang mana merupakan penyihir hidup terbaik di dunia; menolak bekerja sama, sibuk membenci semua entah kenapa.
Ingin dirinya marah kepada si wanita, namun semua ini tak akan terjadi bila dia sebagai jenderal besar tidak lemah.
Tak bisa melakukan apa-apa bahkan melawan satu setan saja, malu dan marah adalah emosi di dada si pria.
"Apakah sungguh tak ada lagi yang bisa kita lakukan?"
Namun, sebelum dia sempat menghina dirinya sendiri; sang raja membangunkannya.
Tak berani melihat mata raja muda itu, dia menunduk menatap lantai ruang takhta sembari mengangguk.
Suara frustrasi datang dari depan tak lama setelah itu.
Raja Akadia yang dijuluki Si Singa Muda itu kini benar-benar tersudut.
Dan dia sebagai jenderalnya hanya bisa mengkonfirmasi fakta itu.
Diam jatuh kepada semua, tak ada yang tahu harus berkata apa sebelum kemudian sang raja kembali bertanya.
"Sudah dimana pasukan mereka, Peter?"
Kini, dirinya dipanggil dengan nama; jelas sekali Peter tak punya pilihan selain untuk menatap rajanya di mata.
"Tiga hari perjalanan dari ibukota, Yang Mulia."
Semua yang bisa dia katakan adalah fakta, berbohong di sini tidak lagi berguna.
Bila memang dirinya harus kehilangan kepala karena gagal melindungi segala setelah ini semua, maka biarlah.
Dia akan menerima takdirnya, semua yang dia inginkan sekarang adalah melihat kesuksesan teman masa kecilnya sebagai seorang raja.
'Kerajaan ini harus bertahan tak peduli apa.' Adalah hal yang ada di di pikiran Peter sejak pertemuan ini bermula.
"Aku akan menahan mereka."
Oleh karena itu, dia menawarkan dirinya.
Sebuah penawaran diri yang jelas sekali di mata semua sebagai keinginan untuk mati darinya.
Tidak apa, mereka tidak salah.
Ini adalah tanggungjawab Peter sebagai jenderal besar kerajaan.
Ini adalah tanggungjawabnya sebagai sahabat sang raja.
"Peter …."
"Aku meminta … tidak. Aku mohon persetujuan Anda, Yang Mulia."
Dan tak ada yang bisa membujuknya untuk mundur kembali ke belakang.
Bahkan tidak mata sahabatnya yang selalu berhasil membujuknya sebelum ini.
Mereka beradu tatapan, lama diam di tatap oleh semua yang lain di ruangan.
"… Aku mengerti," Hingga akhirnya sang sahabat melepaskannya, "bawa nama kami. Kenakan simbol kami, biarkan namamu abadi di Akadia hingga akhir hari."
Seremoni Peter menjadi seorang martir tidak ada, jelas sekali sang kawan mengerti bahwa bukan itu alasan Peter melakukan ini semua.
Si raja muda itu turun dari takhtanya, mendekati Peter dengan sebuah perintah agar dia berdiri di tempatnya.
Saat keduanya saling berhadapan, Peter dipeluk sahabat lamanya.
Sebuah pelukan hangat yang berhasil melelehkan topeng dinginnya.
Sebuah pelukan hangat yang Peter balas segera.
Tidak lagi peduli dia bila matinya tiba saat ini juga, dia tahu sang sahabat akan mengingat dirinya selamanya.
Egois memang permintaan dia, tapi apa boleh dikata: dia hanyalah manusia.
Setelah pelukan yang terasa seperti selamanya itu, Peter akhirnya dilepaskan, dibiarkan pergi dengan berat hati menuju ke medan perang.
Senyum sedih musim panas ada di wajah kawannya, sang raja jelas sekali ingin mengatakan jutaan kata kepada Peter yang akan menemukan kematiannya.
Jelas sekali sahabat lamanya itu ingin bercerita mengenai hari yang mereka buang bersama, ingin meminta maaf karena mereka tak bisa saling mencintai, dan juga segala masalah kecil lainnya yang selalu membuat sang sahabat merasa bersalah.
Tapi, Peter tak membutuhkan itu semua.
Karena itulah dia menggelengkan kepala, tersenyum dengan hangatnya kepada sang raja sebelum kemudian berbalik dan meninggalkan ruang takhta.
Segera, kematian akan menemukannya.
Tidak lama, dia akan kehilangan semua.
Namun, takut bukanlah hak yang ada dalam kepalanya.
Lagipula, tidak semua pria bisa mengatakan bahwa mereka mati untuk orang yang mereka cinta.
Dengan pikiran optimis yang aneh itu di kepala, Peter melangkahkan kakinya untuk mengumpulkan semua pasukannya.
Dia mengetuk pintu rumah setiap yang setia kepadanya.
Dirinya menatap istri dan anak bawahan-bawahannya itu, melihat mereka jelas khawatir terhadap penampakan Peter di rumah mereka.
Bagai malaikat pencabut nyawa, semua orang tahu alasan Peter datang entah bagaimana.
Dan setiap dari mereka menatap Peter dengan cara yang sama, benci dan kecewa di mata keluarga bawahannya, dan menyerah di mata sang bawahan sendiri.
Dari sore sejak selesai diskusi hingga hari berikutnya, Peter tak berhenti melangkah.
Dia memastikan keluarga semua prajuritnya melihat wajahnya.
Peter ingin mereka tahu siapa yang berdosa saat suami, anak, atau ayah mereka tidak lagi pulang ke rumah.