Mata si pemuda biru muda, menyala terang seperti langit musim panas yang cerah.
Pakaiannya sama seperti Anna, hanya kekurangan pin yang digunakan untuk mengidentifikasi dari keluarga bangsawan mana biasanya.
Wajah itu akrab, kini dengan ekspresi datar yang tak menyampaikan apa-apa. Rambut si pemuda berdiri tajam dan berwarna malam.
Anna mengingat si pemuda, anak yang sama yang dia lihat dalam mimpi anehnya.
Penasaran mengambil alih, ingin bertanya Anna.
Tapi ragu mengambil alih keputusannya, dia lagipula tidak tahu nama belakang si pemuda dan sangat tidak sopan memanggil seseorang menggunakan nama depannya di perjumpaan pertama.
'Apa yang harus aku lakukan sekarang?' Anna bertanya dalam kepala.
"... bertarung." Dan sang guru menjawabnya.
Pria itu menarik Anna keluar dari kereta pikirannya, membiarkan Anna melihat bahwa semua orang sudah di posisi termasuk dirinya sendiri.
"Ah, maafkan aku. Bukan bertarung, tepatnya: ini adalah sesi latihan menggunakan sihir ofensif untuk menilai kemampuan menyihir kalian."
Si guru cepat dalam menutupi kekejamannya, mengubah katanya menjadi sesuatu yang lebih lemah, meski tindakannya masih sama.
Anna melihat ke samping dengan pahitnya, menemukan dia dipasangkan dengan si pemuda arogan sementara kawan dan anak yang dia kenal ada di seberang.
Mereka menjadi musuh secara literal.
Anna menarik nafas dalam.
"Mulai!"
Dan penghinaannya bermula.
Lebih cepat dari kedipan mata, Anna menabrak tanah.
Sakit terasa di dagunya, menyebar ke setiap sudut tenggorokannya.
Tangannya ditindih tubuhnya di posisi yang salah, membuat Anna merasakan nyeri yang kuat di sana.
Ingin Anna berteriak untuk mengekspresikan pedihnya, namun tidak satupun bagian tubuhnya mengikuti perintah.
Kakinya mati rasa, lidahnya kelu, tangannya kaku, dia hanya bisa tersipu malu sementara matanya terpaku; menatap kedua musuhnya itu.
Si pemuda hanya menemukan mata Anna sebentar sebelum beranjak begitu saja, meninggalkan Anna seakan tak berharga.
Namun sahabat Anna diam agak lama, melihat Anna dengan belas kasihan di mata, belas kasihan yang tidak diinginkan Anna.
Dia mengutuk dirinya, meludahi takdir dan para dewa.
Tak bisa melakukan apa-apa, Anna sungguh merasa ini adalah jalan hidupnya.
Terbaring di tanah dengan lemah tanpa perlawanan karena dipaksa oleh orang yang lebih kuat darinya.
Seandainya saja wajahnya bisa bergerak, marah jelas sekali adalah ekspresinya.
Tapi semua yang bisa dia lakukan sekarang adalah menjatuhkan air mata, merasa dihina tak bersisa.
Dia seakan sudah telanjang di depan semua, dan mempermalukan nama ibunya di hari pertama dia masuk sekolah.
Anna tahu ini salah, si gadis muda paham betul bahwa ibunya berharap sangat banyak kepada Anna.
'Tapi bisa apa aku?' Anna bertanya kepada diam yang menjawab dalam senyap, membiarkan si gadis muda menyaksikan kepergian sahabatnya karena perintah guru mereka.
"Tidak ada."
Kenangan lama yang tiada berputar seketika, Anna menatap ke arah petak tanah yang baru saja dibongkar kemudian ditimbun kembali di depannya.
Dia mengepalkan tangannya dengan keras tak tahu kenapa, sedih luar biasa memenuhi hatinya.
Perasaan negatif itu mengunyahnya, memakan dia dan tubuhnya secara harfiah.
Tapi bersama itu, datang kekuatan yang luar biasa.
Anna berdiri selanjutnya, tak lagi ada dalam mimpi palsunya, melainkan di ruangan tempat dia dipermalukan beberapa saat sebelumnya.
Masih ada semua orang di sana, menatap Anna dengan penasarannya; termasuk guru mereka.
Tapi tidak penting keberadaan mereka, apa yang penting adalah orang yang sudah mempermalukan Anna.
Si pemuda yang ada dalam mimpi anehnya itu menemukan mata Anna, emas gelap dengan karat yang mustahil ada.
Panas membakar semua, dipaksa Anna yang hanya punya satu perintah pada sihirnya: menaklukkan si pemuda.
Semua Mana yang melayang di udara dan menetap di tubuh seseorang segera mematuhi perintahnya, secara paksa ditarik keluar untuk menyerang orang yang sudah mempermalukan Anna.
Dendam adalah alasan utama, malu selanjutnya, sedih dan bimbang dibuktikan air mata.
Semua emosi negatif itu menciptakan ungu, menjadi badai di hati yang kelabu.
Dan warna Mana Anna menyimbolkan itu.
Menyerap cahaya hingga habis tak bersisa, gelap menakutkan itu menggigit targetnya cepat.
Tentu saja si pemuda melawan, berusaha mengusir tekanan kekuatan Anna yang terus bergerak.
Anna bisa melihatnya, cahaya putih indah yang dipancarkan si pemuda untuk mengusir hitam yang dikirim Anna.
Seimbang mereka, tapi tidak lama.
Anna memperluas perimeter manipulasinya, dia memaksa lebih banyak Mana lagi untuk mengikuti perintahnya, melakukan apapun yang diinginkan Anna.
'Bunuh dia.' Cepat pikiran itu tiba, sebuah perintah kepada seluruh Mana yang berada di lingkungan sekolah untuk menghabisi nyawa si pemuda.
Sebuah perintah yang membuat Anna tersadar segera, itu bukanlah dia yang berpikir atau berbicara.
Sayang karena perintahnya sudah disampaikan, dan dia yang telah tersadar tidak tahu caranya mengendalikan.
Mana hitam mencabik putih perlindungan, mendorong cepat untuk mencabut nyawa seseorang sesuai yang Anna perintahkan.
Si pemuda mulai kewalahan, jelas sekali tak bisa menahan semua serangan.
Anna menonton dari kejauhan, dibingungkan atas apa yang harus dia lakukan.
Melihat sekeliling, Anna menemukan semua yang lain tak sadarkan diri, bahkan sahabat Anna tersungkur di lantai.
Anna dipaksa, harus menyelesaikan perbuatannya sendiri, tidak ada ibunya disini; dia harus mandiri.
Namun, dia tak bisa melakukannya.
Tubuhnya membeku di tempat, tak berani mendekat.
Si pemuda sudah jatuh tersungkur, belum mati; namun terluka parah sekali.
Sinar kecil dari kekuatan si pemuda menyala dengan pelan, seakan meminta bantuan yang Anna tak berikan.
Dia sendirian, gagal membuat keputusan untuk menyelamatkan seseorang.
Memalukan, ibunya pasti akan bilang.
Anna melihat ke bawah, menemukan tubuhnya sendiri yang juga menerima kerusakan seperti si pemuda.
Kulit lengan Anna sebagian mengeras dan menghitam, menyentuh kulit yang mengeras dan menghitam itu membiarkan Anna merasakan tidak ada, seakan sudah kebal terhadap semua Anna di sana.
Sesuatu yang tak ingin Anna tes, tentu saja. Dia tak suka rasa sakit, lagipula.
Terlebih lagi, ada hal yang lebih penting daripada itu.
"Kekuatan yang luar biasa, Yang Mulia."
Seseorang di belakang Anna berkata.