Chereads / The Returnee / Chapter 5 - 04 - Gadis Bangsawan Biasa Bagan 2

Chapter 5 - 04 - Gadis Bangsawan Biasa Bagan 2

Rasa sakit itu membuatnya membuka mata, melihat sekitarnya untuk menemukan bahwa dia ada di kamar yang tak dikenalinya.

Jendela terbuka, membiarkan angin dan cahaya matahari masuk dan mengelus lembut pipi Anna.

Dekorasi kamar sekitarnya aneh, sepi, dan tak punya identitas sendiri.

Dia melihat ke atas untuk menemukan langit-langit cokelat muda, warna yang sedikit lebih tua daripada selimut yang menutupi badannya dan kasur yang ada tepat di seberangnya.

Mereka dibatasi dua meja belajar yang identik. Bedanya adalah meja belajar yang mendampingi kasur kosong itu punya sebuah vas bunga menghiasinya.

Sisa dari kamar itu tak lagi punya hal menarik apa-apa, membuat Anna yakin bahwa ini adalah kamar asrama.

Anna diam sejenak, menemukan bahwa dia sungguh sendiri di sana.

Takut oleh kejadian yang sama seperti sebelumnya, dia menampar dirinya sendiri.

Keras suara kulit menepuk kulit itu bergema, merah pipinya, air mata tersangkut di pelupuk matanya.

Bukan rasa sakit di sana, melainkan bahagia karena dia tak lagi berada dalam mimpi anehnya.

Namun mengikuti suara keras dari tamparan Anna kepada dirinya sendiri adalah suara langkah kaki kecil yang cepat mendekat ke dirinya.

"… Anna?"

Belum sempat Anna berpikir mengenai siapa, wujud dan suara akrab itu sudah ditangkap inderanya.

Sahabatnya berdiri di depan sana, memandang Anna seakan dia sudah mati sejak lama.

"Anna!"

Di bungkus pakaian feminim yang terbang ditangkap angin, si gadis menerjang Anna.

Pelukan yang memaksa Anna kembali berbaring di kasurnya berasal tidak lain dari sahabatnya yang tersenyum lebar luar biasa.

"Senang bertemu denganmu lagi, Jeanne," Anna tersenyum.

Anna tak bisa melakukan apa-apa selain tertular rasa bahagia sang kawan yang melepas dia dari pelukan setelah beberapa lama.

"Kau membuatku khawatir, tahu!" Jeanne memasang cemberut yang imut, "tunggu disini. Aku akan panggil ibumu dan ibuku."

"Tunggu!"

Anna tak membiarkan sahabatnya itu pergi dua langkah darinya, masih punya pertanyaan yang mengganggu di kepala.

"Hm?"

Si gadis muda berbalik, memiringkan kepalanya dalam bingung terhadap keinginan Anna.

Dia menatap mata yang dipenuhi bahagia itu beberapa lama, ragu dalam keputusannya.

"Jadi… apa yang sebenarnya terjadi…?"

Namun pada akhirnya bertanya dalam rasa bersalah karena didorong rasa penasaran yang sedang berusaha membunuhnya.

Sahabatnya terdiam sejenak, kehilangan raut bingung yang digantikan tak enak dan ragu yang sama yang ada di mata Anna.

Dia menarik kursi yang menemani salah meja belajar untuk duduk di samping Anna.

"Kau… jatuh dan tertidur begitu lama."

Penjelasan si gadis cepat dan sederhana, dengan kepala yang menunduk ke bawah.

Ada yang disembunyikan sahabatnya, dan Anna tak tahu apa.

"Hanya itu?"

Dia memastikan, berusaha menemui mata sahabatnya yang terus menghindar.

Si gadis muda hanya mengangguk pendek, membiarkan frustrasi mengisi Anna.

"Jeanne," Anna menaikkan nadanya, "kenapa kau berbohong, pangeran-ku?"

Menggunakan lelucon yang hanya diketahui mereka berdua, Anna memperjelas hubungan mereka.

"Aku…" si gadis muda menatap mata Anna akhirnya, "… menyerah."

Anna diceritakan akhirnya, diberitahu bahwa dia hilang kesadaran setelah sebuah pilar cahaya menusuk bumi di timur.

Tidak sadarkan diri selama tiga hari, Anna melewatkan seremoni pembukaan dan tes bakat siswa.

Namun lebih dari itu, Jeanne mengatakan bahwa tabib terbaik yang dibawa untuk mengobati Anna bilang bahwa dia tak bisa lagi disembuhkan entah kenapa.

Setelah mengatakan semua itu, sahabat Anna pergi untuk memanggil ibunya dan Tante Eri, membiarkan Anna memikirkan semuanya sendiri.

Dia duduk di sana, terasa seperti selamanya, membiarkan angin mengelusnya; membawanya pergi ke kenangan lama yang tidak ada.

Seorang wanita yang jauh lebih pendek darinya tersenyum dengan lelah, menatap mata Anna dengan penuh cinta, mulut si wanita terbuka.

"Anna!"

Dan suara ibunya terdengar di telinga, Anna kembali ke dunia nyata, menemukan tubuhnya berada dalam pelukan ibunya yang khawatir di nadanya.

Mustahil melihat raut wajah wanita favoritnya, Anna memandang wajah dua orang yang mirip di belakang ibunya.

Jeanne dan Tante Eri berdiri agak jauh, menjaga jarak seakan membiarkan keduanya menikmati waktu ini.

"Kau baik-baik saja, sayang?"

Ibunya melanjutkan bertanya, melepaskan Anna dari pelukan lainnya.

Anna hanya mengangguk, mendatangkan senyum lega ke wajah semua kecuali Tante Eri yang tampak punya sesuatu di lidahnya.

"Kalau begitu, kita bisa memulai tes masukmu sekarang, Anna."

Sesuatu yang keluar segera, sesuatu yang direspon ibunya.

"Eri, aku percaya kita bisa menunda itu sampai Anna merasa lebih baik lagi."

"Dia bilang dirinya sudah baik-baik saja, Cait. Semester sudah mulai sejak kemarin dulu. Menunda lebih jauh lagi adalah kesalahan. Ditambah lagi…"

"Apa?"

Nada ibunya tajam, memotong kalimat Tante Eri yang terdiam setelahnya.

Anna melihat mereka berdua sejenak, ragu mencegah canggung jatuh ke mereka berempat.

Namun cepat, matanya menemukan kilat.

Jeanne mengangguk kepada Anna, seakan siap mendukung apapun yang ingin Anna lakukan.

Berpikir sebentar, Anna membalas anggukan itu dan membuka mulutnya.

"Aku akan melakukannya."

Dua wanita dewasa yang ada di sana segera menatap Anna, berhenti berusaha mengadu dan menghindari mata.

Mereka tidak percaya, kilat di pupil keduanya penuh tanya.

"Aku akan ikut tes masuk itu sekarang." Anna memperjelas dirinya sendiri.

Senyum mekar di wajah ibu sahabatnya, sementara ibunya masih tak percaya.

"Anna, apa yang…"

"Silakan!"

Ibunya disingkirkan, didorong agak kasar oleh Tante Eri yang menawarkan sebuah bola kaca hitam.

Kelam, seakan tak punya tujuan.

Tak ada cahaya matahari yang dipantulkan oleh bola itu, didudukkan di pangkuan Anna yang tahu tugasnya.

Bola sihir di depannya harus dia isi dengan Mana-nya sendiri, sesuatu yang akan memiliki warna yang unik seperti jiwanya.

Itu lah sebabnya bola kaca di depannya hitam; bukti ketiadaan warna.

Anna menarik nafas dalam, berkonsentrasi dan berusaha mengabaikan tatapan penuh ekspektasi tiga orang di sekitarnya.

Kemudian, dia mendorong tangannya ke depan, melekatkan dua telapak tangan kecilnya ke bola, dan memerintahkan Mana-nya untuk mengisi bola di pangkuan.

Membuktikan bahwa dia hanyalah gadis bangsawan biasa.