Sang domba tersadar, merasakan rasa sakit yang lebih daripada sebelumnya.
Tubuhnya terbelah, dia terlahir kembali sebagai seekor singa.
Matanya memandang sekitar, berusaha mencari kekasihnya yang menghilang entah kemana.
Bingung mencapai si domba, tidak paham mengapa dia masih hidup dalam tubuh pemangsa utamanya.
Namun lebih dari itu, dia bingung kepada angkasa.
"Anna." Dan kepada suara yang datang dari sana.
Sebuah nama yang tak dikenal namun akrab di telinganya.
Tapi siapa? Pikirannya bertanya.
"Anna," gagal terjawab saat Anna terbangun dari mimpinya, "sayang."
Dia melihat keatas untuk menemukan ukiran hangat di wajah ibunya.
Anna menggosok mata, mengambil waktunya untuk sadar segera posisinya.
Dia memperbaiki posisinya secepat yang dia bisa, tidak lagi berbaring di paha ibunya yang memasang wajah agak kecewa.
Sunyi canggung yang akan segera mencapai mereka dihentikan oleh Anna yang bertanya, "ada apa, Bu?"
"Lihatlah."
Jawaban datang cepat dalam bentuk senyum keibuan biasa dan sebuah gestur untuk melihat keluar jendela kereta kuda.
Seketika setelah mengikuti perintah ibunya, Anna terdiam tanpa bisa mengatakan apa-apa.
Matanya terpaku pada pemandangan indah yang dinikmati matanya, sebuah pegunungan hijau dengan sentuhan putih salju yang tak pernah dikotori manusia.
Ada diatas puncak tertinggi pegunungan itu adalah kastil raksasa yang memiliki jalan menuju gerbangnya bergulung seperti ular ke kaki bukit yang dihuni sebuah desa yang damai dari penglihatan Anna.
Kemudian, di sisi lain adalah hutan lebat yang bersuara seperti alam yang sesungguhnya.
Burung-burung bernyanyi dengan indahnya, berdansa di udara seakan dunia adalah surga tempat tinggal para dewa.
Dia sudah mendengar banyak cerita luar biasa tentang tempat ini dari kawan dan ibunya, dan Anna tak pernah menyesal percaya kepada mereka.
"Bagaimana?"
"Luar biasa…"
Pertanyaan ibunya dijawab Anna segera tanpa sedikitpun pikiran terhadap kalimatnya, sesuatu yang membuat ibunya tertawa kecil dibawah nafasnya; berusaha untuk tidak mengganggu anaknya yang terhipnotis panorama.
Tak ada lagi rasa kantuk yang membebaninya, Anna sibuk menikmati pemandangan indah yang disajikan kedua jendela kereta kuda mereka.
Dia sudah tidak sabar untuk berada diluar sana, menjelajahi semua yang matanya sudah nikmati sepenuhnya.
Meski begitu, Anna juga cukup tahu etika untuk tetap mengontrol dirinya agar tak melompat keluar dari kereta kuda, memaksanya bersabar dan menunggu mereka sampai ke kastil raksasa yang semakin besar setiap menitnya.
Selamanya berakhir seketika saat pintu mereka dibuka oleh kusir kereta, membiarkan Anna menemukan senyum manis seorang yang sangat dikenalnya diluar sana.
Dia berlari mendahului ibunya, melupakan etika yang baru saja ada di kepalanya.
"Tante Eri!"
"Senang bertemu denganmu juga, Anna."
Tindakan Anna yang memeluk kaki si wanita yang dibungkus gaun indah itu untungnya direspons dengan tawa mengerti dari dua orang dewasa yang sangat mengenal Anna.
Mereka memaklumi tindakannya yang kini mendapatkan balasan elusan kepala dari ibu kawan baiknya.
"Bagaimana perjalananmu kemari, Cat?"
"Oh, kau tahu, Eri. Seperti biasanya, tak ada yang menarik di ibukota dan sekitarnya, lagipula."
"Begitukah…" Tante Eri menjawab ibunya dengan senyum canggung, "kalau begitu, masuklah dulu, Jeanne sudah menunggu kalian dari tadi."
Anna melihat keatas setelah mendengar nama sahabatnya, menemukan konfirmasi dari mata sang wanita.
Dia melepaskan kaki si wanita segera, membiarkan ibu kawannya itu menuntun dirinya menuju gadis muda yang selalu menemaninya di akhir pekan dan kelas tata krama yang membosankan untuk mereka berdua.
Si gadis muda membuang waktunya dengan menatap sekitar, sesekali menangkap lebih banyak detail ibunya yang akan segera meninggalkannya.
Rambut cokelat tua si wanita di warisi Anna, wajah bulat mereka sama, begitu pula ciri wajah mereka, satu-satunya perbedaan adalah warna mata mereka.
Mata merah menyala ibunya itu sesekali membalas tatapan mata hitam Anna yang ditemani goresan senyum kecil di wajah si wanita yang gaunnya juga mirip seperti Anna.
Rumit membesar seperti bunga mawar, mengenakan penyangga dibawahnya agar bisa mekar.
Anna tahu dia akan merindukan ibunya, jelas sekali ada bagian kecil di hati Anna yang ingin meronta dan kembali pulang ke rumah; tinggal bersama sang ibu seumur hidupnya.
Namun, dia tak bisa melakukannya. Meski dia merasa bahwa sang ibu akan membiarkannya, Anna tak bisa melakukannya.
Mustahil dia bisa diam di rumah selamanya, tak membanggakan wanita yang sudah memberikannya masa kecil paling indah.
Dengan pikiran itu di kepala, Anna menghadapi pintu raksasa yang terbuka dengan mudah di depan mereka.
Ruang kepala sekolah, baca Anna di plak kayu cokelat tua di samping kanannya.
Anna diam, mengharapkan wujud besar menakutkan yang disebut sebagai penyihir waktu terbaik di seluruh benua muncul tepat setelah pintu terbuka sepenuhnya.
Apa yang dia dapatkan, sangat jauh dari khayalannya.
Seseorang melompat dari dalam, dibiarkan lewat oleh wanita yang menuntun Anna dan ibunya.
"Anna!"
Tak punya waktu merespons, Anna hanya bisa berdiri dan kemudian terjatuh setelah berat si penyerang menimpanya.
Dia tersenyum setelah jelas siapa yang melompatinya, seorang gadis muda dengan rambut merah yang dipotong pendek seperti potongan rambut seorang pemuda.
"Halo, Jeanne."
Sahabatnya tersenyum dengan arogannya, seakan baru saja mengalahkan seekor raksasa.
Tentu saja, sang sahabat tak sepenuhnya salah dalam khayalannya, melihat bagaimana Anna memang cukup tinggi untuk anak seusianya.
Jeanne berdiri, meninggalkan tubuh Anna akhirnya.
"Senang bertemu denganmu lagi, cinta." Si gadis muda menawarkan tangannya dengan senyum menawan dan kedipan mata.
Anna menggelengkan kepala, paham betul mimpi sahabatnya untuk menjadi seorang kesatria yang menyelamatkan tuan putri dari sebuah menara dan seekor naga.
"Kau belum membaca buku baru, huh, Jeanne?" Anna menggoda, "kita berdua tahu kau bahkan tak bisa mengangkat sebuah pedang dari tanah."
"A… apa maksudmu!?"
Sahabatnya bereaksi seperti biasa, pipi si gadis memerah dan pandangannya mengarah ke bawah.
"Kami punya buku baru di rumah, kau tahu. Tentang seorang tuan putri yang menemukan cintanya di medan perang, mungkin itu bisa menginspirasi mu menjadi seorang wanita normal, iya 'kan, Bu…?"