Anna bangun dari tidurnya, melihat sekeliling untuk menemukan bahwa apa yang dilihatnya hanyalah mimpi aneh lainnya.
Dia menepuk pipinya, berusaha sadar secepat yang dia bisa.
Perlu beberapa percobaan sebelum akhirnya sebuah senyum mekar di wajahnya.
Dia melompat turun dari kasur yang terlalu besar untuknya, melewati pelayan yang bergerak seketika untuk merapikan kamar Anna.
Anna mencapai tujuannya segera, ruang mandi untuk membersihkan dirinya lebih pagi di hari yang spesial ini.
Dia menggosok setiap sudut tubuhnya, jelas sekali tak ingin mempermalukan ibunya di depan semua orang di tujuan mereka.
Perlu sedikit waktu untuk Anna menyelesaikannya, namun saat keluar; sekumpulan pelayan wanita sudah menunggunya.
Pakaian yang akan dia kenakan berada di tangan mereka, dan semua yang bisa Anna lakukan adalah membiarkan mereka bekerja sembari memasang cemberut di wajah.
Anna selalu protes masalah ini kepada ibunya dalam setiap makan malam mereka, protes yang jelas sekali diabaikan si wanita entah kenapa.
Anna yakin argumennya luar biasa, sudah sepuluh tahun usianya; jelas sekali dia tak butuh bantuan orang lain untuk memakai gaun sederhana.
Satu-satunya hal yang menyenangkan Anna adalah fakta bahwa ini tak terjadi setiap harinya, dan ini adalah terakhir kalinya dia akan dipermalukan seperti ini di rumahnya sendiri.
Setelah ini, dia akan hidup sendiri di asrama sekolah sihir paling tersohor di seluruh Akadia.
Jauh dari ibu yang begitu dicintainya akan membuat Anna rindu rumah, jelas saja.
Namun Anna yakin dia bisa menangani hal semacam itu mengingat teman baiknya juga akan ada disana bersamanya.
Rasa tak sabaran untuk lepas dari ini semua dan mendapatkan petualangan baru diluar ibukota membuat Anna melompat segera setelah para pelayan selesai membungkusnya.
Dia berlari kecil ke bawah, bersemangat menemui ibunya yang pasti sudah menunggu di ruang makan mereka.
Pintu terbuka, dan Anna benar dalam tebakannya.
Sang wanita menyambutnya dengan sebuah senyuman, berada di salah satu ujung meja makan yang luas mereka; mengundang Anna untuk duduk disampingnya.
Sebuah undangan yang diterima Anna tanpa pertanyaan apa-apa.
Dia melangkahkan kaki kecilnya dengan lompatan-lompatan kecil dalam usaha tak menyentuh garis-garis ubin kayu dibawahnya.
Setelah melakukan sepuluh lompatan, dia akhirnya mencapai sang ibu juga.
Seorang pelayan menarik kursi kayu cokelat tua itu untuk Anna, membiarkan sang gadis melompat sendiri ke atasnya.
Setelah Anna duduk dengan benar, kursi itu kembali didorong ke depan, menunjukkan bukti bahwa Anna terlalu pendek untuk duduk sendiri.
Matanya menemukan meja, namun mulut dan hidung Anna tersembunyi dibawah, membuat makan menjadi pekerjaan yang sulit bagi si gadis muda.
Senyum hangat ibunya semakin lebar saat Anna menatap kepada sang wanita dengan harapan agar dia diberi solusi yang akan membuatnya mandiri.
Tapi, solusi yang ditawarkan sang wanita masih saja sama.
Ibunya berdiri dan mendekati Anna, menjulurkan tangan yang dengan mudah mengangkat Anna menuju langit-langit yang dihias lampu kristal mereka.
Merah di tembok mereka jauh lebih tua daripada merah di pipi Anna, membuat ibunya sadar segera.
Anna diturunkan, dibiarkan duduk di pangkuan ibunya yang mengizinkan Anna untuk sejajar dengan meja dengan mengorbankan harga dirinya.
"… Bu…"
Anna protes dengan lemah, berbisik agar pelayan yang menunggu mereka tidak mendengar suaranya.
"Ada apa, sayang?"
Anna kehilangan suaranya seketika saat ibunya mengkhianatinya, persis seperti cerita yang berusaha digambarkan salah satu lukisan mahal di dinding ruang makan mereka.
Suara sang ibu jelas sekali bisa didengar pelayan disamping mereka, membuat Anna menatap ibunya dengan sedikit kesal di mata; sebuah tatapan yang dijawab dengan senyum hangat yang tak berubah.
"… aku bukan anak kecil lagi…"
Dia menyerah melawan ibunya dalam diam, menyuarakan lanjutan protesnya dengan cepat.
Protes yang sama yang terus dikatakannya sejak ulang tahunnya yang kesepuluh di musim dingin lalu itu selalu mendapatkan jawaban yang sama.
"Ibu tahu, ibu tahu, sayang," ibunya menjawab sambil mengelus kepalanya, "tapi, bisakah kau biarkan ibumu memanjakanmu untuk terakhir kalinya?"
Anna menelan kembali protesnya, merasakan sedih yang nyata di kalimat ibunya.
"Tapi, hanya untuk hari ini saja, ya?"
"Tentu saja!"
Dan dengan pertukaran itu, takdirnya sampai makan siang hari ini terkunci sudah.
Anna menyerah, membiarkan ibunya mengusap kepalanya dengan sebuah senyum bahagia.
Dia disuapi oleh ibunya yang bersenandung dalam senangnya, memberi makan Anna sarapan mahal mereka.
Suapan demi suapan dikunyah dan ditelan Anna yang mulai menikmati elusan ibunya, sebuah fakta yang berusaha ditolak kebenarannya oleh Anna.
Penolakan yang sama yang ditunjukkan ibunya saat sarapan mereka selesai sudah.
Jelas sekali ada penyesalan di wajah sang wanita yang lupa memberi tahu koki mereka untuk memperbanyak porsi hari ini.
Tapi kontras dengan ibunya, Anna cukup bahagia hingga dia ingat bahwa keberangkatannya baru terjadi di siang yang tak akan datang sebelum matahari berada tepat ditengah angkasa.
Wajah mereka berdua sama ekspresinya, begitu mirip seperti refleksi dari satu entitas yang sama di kaca.
Namun ekspresi ibunya berubah indah cepat setelah sadar bahwa siang masih jauh di depan mereka.
Anna menghabiskan seluruh paginya dengan sedikit terpaksa menemani si wanita, kehilangan perlawanannya yang diruntuhkan waktu dengan mudah.
Ibunya menceritakan kepadanya tentang banyak hal, menunjukkan pencapaian ayahnya yang mati sebagai pahlawan menurut dongeng ibunya.
Sebuah dongeng yang Anna percaya tanpa sedikitpun keraguan di dada yang kini sedikit bersedih dengan kepergiannya.
Dia melihat ke arah pendulum di ruang keluarga mereka yang sudah siap bunyi menandakan tengah hari kepergiannya, berharap waktu berhenti sejenak dan memberinya sedikit lebih banyak waktu untuk dimanja ibunya.
Sayang karena semesta tak menjawab doanya, waktu berjalan seperti biasa mengabaikan keinginan si gadis muda, dan pendulum berdentang akhirnya.
Cerita ibunya berhenti di tengah, dengan sang putri dan cintanya terjebak di pertempuran hebat karena berbeda keluarga.
"Waktunya untuk pergi, sayang."
Ibunya tidak memberikan Anna kesempatan untuk membantah, menutup buku itu dan membiarkan kisah Anna bermula.