Sebuah renungan, tentang jodoh yang sudah di takdirkan dan di gariskan. Tak perlu gelisah, apa lagi resah~
Karena jika saatnya tiba, ia akan datang menghampirimu. Tak perlu mencari hati yang lain, karena hatimu sendiri yang akan menuntunmu padanya.
Dan jika saat itu tiba, rengkuh ia dengan sepenuh jiwamu. Jangan lepaskan, atau sakiti. Tarena ia yang akan melengkapimu
============
Dion tak tega melihat kondisi Rachel sekarang, dia benar benar terpuruk. Sudah lumayan lama Rachel hanya terduduk sambil menundukan kepalanya, ia hanya menatap lantai rumah sakit dengan tatapan kosong. Hampa. Perasaan ini mulai mengganggu Dion, ia sangat peduli dengan Rachel. Lebih dari yang Rachel tau. Ia tak bisa tinggal diam melihat Rachel yang terpuruk dan merasakan sakit sendirian. Aku akan membantumu Racehl, sekuat dan sebisaku.
" Rachel, aku akan membantumu sebisa mungkin. Ingat, kamu tidak sendirian. Aku ada disini, tenanglah oke? "
Dion mengusap lembut rabut Rachel, perempuan yang di lindunginya sejak dulu. Perempuan polos yang selalu tersenyum kepadanya tanpa beban. Walaupun tersampir beribu luka disana. Rachel mengangkat kepalanya, ia tak bisa mengabaikan Dion.
" aku tak bisa terus terus membuatmu kerepotan membantuku, aku akan mencari jalan keluarnya. Percayalah, aku tidak selemah perempuan lain di luar sana ... "
Rachel tersenyum ke arah Dion, senyum malaikat. Senyuman yang bisa membuatmu luluh dan mengiyakan semua perkataanya. Dion sudah terperangkap dengan senyum itu sejak lama. Sampai ia tak bisa melepaskan senyuman itu, ia takut tak bisa melihat senyum itu lagi.
" aku tau, kamu bukan wanita lemah. Kamu wanita yang kuat, tapi kamu harus ingat kamu tidak sendirian. Jangan pernah ragu untuk meminta bantuanku. Karena aku tidak akan pernah keberatan membantumu ... "
" terimakasih banyak Dion, aku sangat menghargaimu. Sungguh ... "
Rachel masih tersenyum, tapi di balik senyuman itu. Rachel masih berpikir keras bagaimana menemukan jalan keluarnya. Bagaimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. ia bukan anak kandung, ia hanya anak angkat. Ia tak bisa mendonorkan organnya begitu saja. Tak berguna sama sekali.
" aku akan melakukan operasi sebentar lagi, aku akan pamit dulu. Kamu bisa di sini atau menungguku di ruanganku ... "
Dion bergegas berdiri, merapikan jasnya dan memeriksa arlojinya. Sebentar lagi ia harus melakukan operasi untuk pasiennnya. Ia tak bisa mengabaikan pasiennya itu, walaupun Dion masih ingin menemani Rachel sekarang ini.
" pergilah, pasien itu membutuhkanmu. Dokter Dion Narendra .... "
" baiklah, nona. Mohon untuk membayarku lebih dengan permainan Biolamu lain kali ... "
Dion pergi meniggalkan Rachel di belakangnya, ia menghilang di balik lorong. Sekarang tempat ini begitu sepi, hanya terdengar bunyi alat pacu jantung di dalam sana. Alat pacu jantung yang terpasang di tubuh ibu Rachel.
" mama, apa mama bisa bertahan lebih lama lagi...? sepertinya sekarang aku membutuhkan waktu lebih banyak untuk menyembuhkanmu, apa mama bisa menunggu ... ? "
Rachel menatap tubuh ibunya, ia merasa iba sekaligus ngilu di hatinya. Benar benar menyakitkan melihat orang yang kita sayangi, tengah melawan maut. Tiba tiba ide gila muncul di otak Rachel, ia tak pernah terpikirkan untuk melakukan hal ini. Tapi sepertinya tak ada pilihan lain, karena setidaknya ia sudah berusaha.
Rachel langsung bergegas pulang ke rumah, ia harus cepat. Ia tak mau menyianyiakan waktu barang sedetikpun. Nyawa ibunya, ada di tangannya. Ah tidak, nyawanya hanya terpaut waktu. Begitu waktu itu habis, maka waktu tak bisa di ulang lagi. Orang yang mengalami gagal ginjal, akan mengalami banyak lagi penyakit komplikasi. Semakin sering ia mengkonsumsi obat, kinerja ginjal akan semakin berat. Menyembuhkan ginjal tanpa cangkok alias transplantasi, sama saja mati pelan pelan.
Rachel tak sabaran, ia ingin secepatnya sampai di rumah. Setidaknya sekarang ia memiliki jalan keluar walaupun ia harus mengorbankan hartanya yang sangat berharga. Selama perjalanan pulang, Rachel terus bertanya pada dirinya sendiri. Ini jalan terbaik bukan? Setelah aku melakukan ini, keadaan akan membaik. Pasti akan lebih baik.
Rachel turun dari taxi dengan tak sabaran, ia langsung berlari keluar seperti orang yang sangat tergesa, seperti waktu untuknya hanya sedetik. Rachel langsung membanting pintu, ia tak peduli lagi. Semua yang di milikinya tak ada yang berharga. Hanya satu benda miliknya yang berharga. Bukan karena harganya, tapi karena kenangan di dalamnya. Dan Rachel tak habis pikir kalau suatu hari ia akan melepas benda itu. kalau hari ini ia harus melepasnya.
Rachel masuk ke kamarnya, memandangi seluruh ruangan dengan mata berkaca kaca. Meyakinkan diri bahwa keputusannya tepat. Ini sudah tepat. Semua itu bagaikan mantara penguat untuk menguatkan batin Rachel. Perlahan Rachel membuka lemari bajunya, lemari kayu sederhana yang sudah sangat lapuk. Lemari kecil yang bahkan hampir kosong. Ia tak punya apa apa untuk di simpan di lemari, mungkin pencuri saja malas untuk membuka lemari ini. Tak ada yang berharga di dalamnya.
Tapi di dasar lemari, di situlah Rachel menyimpan kenangannya. Benda yang tersisa dari dirinya di masa lalu. Biola ayahnya. Biola yang mengantarnya untuk mencintai musik, Biola yang membawa nada merdu dari gesekan tangan ayahnya, Biola yang mempertemukannya dengan cinta pertamanya. Rachel tak bisa menahan tangisnya, ini adalah benda yang membawa kenangan penuh kebahagiaan di dalam hidupnya. Benda yang membuatnya merasa terhubung dengan ayahnya juga harapan untuk menemukan cinta pertamanya. Tapi ia harus merelakan Biola ini untuk pergi.
Dengan ragu ragu, Rachel mengambil kotak Biola itu. mengambilnya dan menaruhnya di atas pangkuannya, membuka perlahan tutup kotak itu dan mengeluarkan Biola klasik yang terawat dengan baik. Rachel sesalu merawat dan membersihkan Biola itu, seolah itu akan menjaga kenangan yang ada di dalamnya.
" ayah, apa kau akan membenciku jika aku menjual barang kesayanganmu ...? " Rachel mengambil Biola itu, merasakan setiap serat senar di Biola, mengingat kembali memori di mana ayahnya tengah memainkan Biola itu. Ayahnya yang berdiri dengan gagahnya dengan tangan yang sangat terampil memainkan berbagai melodi. Ayahnya yang bermain dengan setulus hati, dan ibunya yang selalu mendengar kan permainan ayahnya itu dengan penuh cinta.
Dan di hari dimana ia mulai jatuh cinta pada nada, hari di mana ia mulai mendengar lagu dengan hatinya. Hari di mana ia menyampaiakn perasaanya lewat permaian Biola. Semua kenangan itu benar benar tak bisa di lupakan.
" ayah, apa keputusanku ini tepat ...? apa aku salah dalam mengambil keputusan kali ini ...? tapi aku menyayangi kalian, aku menyayangi kalian bertiga. Sekarang, mama Lina sedang sakit, apa ayah akan memarahiku jika aku bilang aku akan menjual Biola ini untuk pengobatannya ... ? "
Rachel menimang nimang Biola ayahnya, dengan berat hati. Berat melepaskan benda yang sangat berharga ini, berat juga kehilangan orang yang di sayangi. Tapi keyakinan yang kuat muncul di dalam diri Rachel. Keputusanku kali ini benar benar tepat, ayah akan mendukungku sepenuhnya. Aku yakin sekali.
Biola ini mungkin adalah kenang kenangan terindah yang dia milki dari kedua orang tuanya, tapi kenangan indah itu tak berati ia harus terus memiliki Biola ini selamanya, sekarang ia harus melepaskan Biola ini dan membiarkan kenangannya bersama orang tuanya berwujud memori indah di otaknya. Dan sekarang, ia harus melepas Biola ini. Membiarkan Biola ini membuat kenangan indah lainnya bersama pemilik barunya nanti.
Dengan tekat yang kuat, Rachel berdiri tanpa goyah sedikitpun. Ia tak lagi ragu kali ini, sekarang ia harus cepat. Dengan sigap Rachel memasukan Biolanya ke kembali ke dalam kotak. Menutupnya rapat rapat. Ia tau harus kemana sekarang, jadi ia akan membawa Biola itu kepada orang yang tepat.
Sekarang Rachel menjadi sorotan orang orang yang lalu lalang di sekitarnya. Seorang wanita muda yang tengah menenteng kotak kayu besar, nampak kewalahan tapi tak berhenti untuk istirahat. Sedikitpun. Rachel tak berhenti, sampai ia menemukan bangunan tua di depannya kali ini. Bangunan gaya lama, bangunan gaya veteran yang masih kokoh dan rapi. Di depan bangunan itu terdapat berbagai bunga yang tengah bermekaran. Cantik.
Rachel membuka pintu dengan perlahan, tapi tetap saja membuat lonceng yang ada di atas pintu berbunyi. Itu menandakan kepada sang pemilik kalau ia kedatangan tamu. Rachel tau tempat ini dulu sekali, saat ia tengah bermain Biola di taman kota untuk mendapatkan uang jajan. Seorang laki laki paruh baya memberikannya imbalan untuk permaiannya. Laki laki itu bilang, ia sangat menyukai permaiann Biolanya. Ia menanyakan kepada Rachel, apakah ia bersedia untuk memainkan Biola di depan istrinya. Rachel mengiyakan, dan dari saat itulah ia mengatahui kalau laki laki itu adalah seorang Luthier. Orang yang memperbaiki Biola.
" Rachel...? itu kau di sana ...? "
Laki laki tua itu keluar dari pintu dan menghampiri Rachel, laki laki paruh baya yang ia temui sepuluh tahun silam sekarang sudah menjadi seorang kakek tua dan gadis kecil yang ia ajak kesini sekrang sudah menjadi wanita dewasa.
" Paman Albert, apakah aku menggangu istirahatmu ... ? "
Rachel bertanya dengan nada yang sopan, sepuluh tahun berlalu tak mengurangi rasa sopan santunnya terhadap laki laki yang bernama Albert ini.
" tidak, jangan khawatir. Duduklah, sudah lama kamu tidak datang ke sini kamu pasti sibuk kuliah ... "
Suara laki laki itu benar benar gagah dan berwibawa di usianya yang hampir memasuki kepala enam. Ia pasti laki laki tampan di masa mudanya. Tapi sepengetahuan Rachel, istrinya adalah cinta pertamanya. Ia menikahi cinta pertamanya dan tak menikah lagi. Hari di mana Rachel bermain untuk bibi Margaret, istri paman Alberth. Itu adalah hari terakhir mereka bertemu di dunia, hari terakhir bagi paman Alberth menunjukan seberapa besar cintanya kepada kekasih hidupnya itu. Karena keesokan harinya, bibi Margaret pergi dengan tenang di dalam tidurnya.
Cerita cinta mereka memberikan Rachel keyakinan, kalau suatu hari ia bisa bertemu dengan cinta pertamanya. Ia tak harus mendampingi cinta pertamanya itu, hanya sedikit kesempatan untuk mengatakan bahwa Rachel pernah mencintainya, sampai sekarang. Berterimakasih karenanya, Rachel memiliki cinta lain di dalam hidupnya. Musik.
" paman, aku tak bisa belajar musik lagi ..."
Alberth nampak terkejut dengan perkataan Rachel, musik adalah detak jantung Rachel. Tak semudah itu untuk menyerah.
" apa kamu mengahadapi masalah yang berat akhir akhir ini ... ? "
" mamaku di rawat di rumah sakit, aku tak punya waktu untuk sekolah dan juga uang untuk membayar biaya kuliah. Sepertinya, Tuhan sedang memintaku untuk menyerah .. "
Alberth menatap Rachel dengan tatapan kepedulian, ia tak memiliki anak. Selama hidupnya, ia hanya memiliki Margaret. Satu satunya wanita di dalam hidupnya, ia seperti Rachel. Ia sangat menyukai Biola. Itulah yang membuatnya menjadi Luthier, karena Margaret adalah pemain Biola. Disaat itulah cinta mereka bertemu. Saat melihat Rachel bermain Biola, itu seperti melihat pantulan Margaret muda di dalam diri Rachel. Berani, kuat dan keras kepala.
" itu alasannya kamu menjadi sibuk akhir akhir ini, aku mendoakan kesehatan ibumu dan mendoakan kebahagiaanmu ... " setelah mengatakan itu, Alberth sedikit terbatuk batuk. Usia senja memang merepotkan.
" apa paman baik baik saja...? "
" aku baik baik saja, ini hanya karena tubuh tua, tapi jiwaku masih sama ... "
" aku kesini untuk meminta bantuan paman, aku harap paman tidak keberatan membantuku ... "
Alberth beringsut menggeser kursi kayu mendekati Rachel. Suara decitan kayu yang menggesek lantai itu memenuhi ruangan yang hanya di huni Alberth sendirian sekarang. Ia masih menunggu waktunya, waktunya untuk menemui Margaret. Jika semua orang tak ingin menemui kematin, Alberth justru menantikan kematian, karena dengan kematian ia bisa berjumpa lagi dengan Margaret.
" akan kubantu sebisaku, sekarang apa yang bisa ku lakukan ... ? "
Rachel mengangkat kotak kayu berisi Biolanya, meletakan kotak itu tepat di depan Alberth. Alberth tak tau pasti isi kotak itu, ia tak akan tau sebelum melihatnya langsung.
" bisakah paman membantuku mengecek Biola ayahku..? ini biola klasik peniggalan ayahku, aku berniat menjualnya untuk biaya pengobatan mama ... "
Rachel membuka kotak kayu itu dan mengambil Biola berwarna cokelat tua yang sangat mengkilap itu, Biola ayahnya.
" aku tak tau akan terjual berapa nantinya, tapi aku harus menjualnya dalam kondisi baik. Paman Alberth, tolong bantu aku mengeceknya ... "
Rachel mengulurkan Biola ayahnya itu dengan sangat hati hati ke tangan Alberth. Laki laki itu menerima Biola klasik itu dengan mata yang terus mengamati.
" aku selalu melihatmu menggunakan Biola satunya lagi, aku tak tau kamu mempunyai dua Biola .."
Alberth beringsut menuju meja kerjanya, meja dengan lampu bersorot terang dan berbagai peralatan berserakan di atasnya. Ia langsung duduk dan meletakan Biola itu di meja kerjanya.
" itu Biola yang tak pernah ku pakai, itu Biola kesayangan ayahku. Itu kenang kenangan darinya, aku tak berani memainkan Biola itu ... "
Alberth memakai kaca mata dan mengambi lakca pembesar dengan bentuk yang aneh, kaca itu bisa memperlihatkan kerusakan kecil di badan Biola. Itu sering juga di gunakan untuk melakukan penelitian artefak.
" Benda berharga memang sudah seharusnya di jaga, tapi buka berarti mereka adalah barang simpanan. Kadang benda itu juga punya energi, seperti Biola ini. Ia pasti tak ingin tertutup selamanya di dalam kotak, ia pasti ingin di mainkan kembali .... "
Rachel tercengang mendengar perkataan Alberth barusan, ia tak menyadarinya sampai hari ini. Ayahnya meninggalkan Biola ini pasti untuk dimaninkan olehnya, bukan untuk di simpan. Ayahnya pasti menginginkannya untuk menggunakan Biola itu. Tapi ia tersadar di waktu yang salah, ia tak punya kesempatan untuk memainkan Biola itu lagi. Jika ada kesempatan memainkan Biola ayahnya, itu pasti sebuah kebahagiaan.