Akhirnya Maya memantapkan diri mendatangi rumah di atas bukit itu setelah dia belum juga mendapati tempat yang diinginkankannya. Maya mendatangi rumah itu bersama Erwin. Saat sampai di rumah itu, Maya tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.
Gerbang rumah itu berjarak kurang lebih tiga ratus meter dari rumah utama. Terdapat taman dan kolam ikan di sekitar halaman yang sangat terawat, yang membuat rumah itu terlihat sangat asri. Di sebelah rumah utama terdapat paviliun yang cukup besar. Maya berangan-angan seandainya pemilik rumah mengijinkan mereka menggunakan tempat itu dia sudah punya segudang rencana untuk meningkatkan kualitas sekolahnya.
Erwin menghentikan motornya di depan teras yang cukup luas, ada dua set kursi yang terbuat dari ukiran kayu jati di sana. Maya dan Erwin memperhatikan eksterior rumah yang sangat indah, hampir setiap ornamen yang ada terbuat dari kayu jati.
Erwin memencet bel pintu, setelah menunggu cukup lama akhirnya seorang perempuan yang seusia nenek membukakan pintu, perempuan itu mengenakan kebaya krem dengan kerudung hitam. Senyum di wajahnya langsung menghilang begitu melihat Maya, wajahnya menjadi pucat seperti melihat hantu. Maya dan Erwin hanya bisa bengong saat perempuan itu segera bergegas meninggalkan mereka dengan pintu terbuka.
Cukup lama mereka berada dalam kebingungan saat perempuan tua itu keluar lagi dengan seorang kakek. Ada keterkejutan di wajah lelaki tua itu saat melihat Maya tapi dia mencoba menyembunyikannya. Kakek itu kemudian menyuruh mereka agar duduk di kursi yang ada di teras. Kakek itu menanyakan keperluan mereka, dia juga memperkenalkan dirinya sebagai Kakek Gun, orang Kepercayaan pak Hardi untuk mengelola tempat ini.
Maya memperkenalkan diri sebagai pengelola kelompok bermain Cahaya Hati yang lokasinya dibawah bukit ini. Maya juga menceritakan permasalahan yang sedang dia alami terkait gedung tempatnya mengajar dan menyatakan keinginannya untuk menyewa paviliun di sebelah rumah ini kalau diijinkan.
Kakek Gun menatap Maya dan menarik nafas berkali-kali. Perempuan tua yang ternyata istri kakek Gun yang bernama Nenek Midah datang membawakan tiga gelas teh dan sepiring pisang goreng yang tampaknya baru saja ditiriskan dari penggorengan. Hmm, hidangan yang lezat untuk sore yang dingin.
Kakek Gun menyuruh mereka menikmati hidangan yang ada sementara nenek Midah duduk di sebelah suaminya, matanya tak lepas dari wajah Maya hanya ketika Maya balik menatapnya nenek Midah akan segera membuang muka.
Setelah beberapa waktu akhirnya kakek Gun berkata," Maaf, nak. Kakek tidak bisa memutuskan hal itu karena itu wewenang bapak."
"Kapan atau dimana kita bisa bertemu bapak Hardi, kek?" tanya Maya.
Lelaki tua itu menghela nafas lagi.
"Biasanya besok datang ke sini, kakek akan mencoba untuk menyampaikan hal ini pada bapak semoga bapak berkenan karena tempat itu adalah tempat istimewa bagi bapak." katanya kemudian.
"Kira-kira, bisa tidak besok kami ketemu pak Hardi?"
"Tinggalkan saja nomor kalian, kalau bapak berkenan besok akan kakek hubungi jadi kalian tidak menunggu terlalu lama?"
Erwin menulis nomornya pada sebuah bulu yang disodokan nenek Midah kepadanya. Setelah menyetuput habis tehnya dan masing-masing memakan satu buah pisang goreng, mereka berpamitan. Sepasang manusia tua itu menatap kepergian keduanya hingga hilang dari pandangan. Hati mereka berkecamuk.