Chereads / Rumah di atas Bukit / Chapter 9 - Bertemu Pak Hardi (2)

Chapter 9 - Bertemu Pak Hardi (2)

Yang membuat Maya terkejut adalah wajah perempuan dalam lukisan itu sama seperti wajahnya. Maya memandang lukisan itu lama sekali membuat Erwin penasaran dengan apa yang diperhatikan Maya. Erwin juga terkejut saat menyadari wajah perempuan itu sangat mirip Maya. Dia tak begitu menyadarinya tadi ketika melihat lukisan sekilas. Kedua orang itu saling pandang dengan pikirannya masing-masing.

Nenek Midah menyuguhkan tiga cangkir kopi dan dua toples kue kering yang tampaknya lezat. Dia mempersilakan mereka untuk menikmati sembari menunggu Pak Hardi yang akan menemui mereka tak lama lagi. Maya dan Erwin mengucap terimakasih sambil mengangguk. Nenek Midah kemudian pamit dan tak lama setelah itu seorang lelaki separuh baya menemui mereka. Wajah khas jawa nya masih terlihat seperti dalam lukisan di depan mereka dengan beberapa kerutan di wajah yang membuatnya terlihat lebih bijaksana.

Lelaki itu tersenyum dan mempersilahkan mereka menikmati hidangan yang tersaji sambil duduk. Tatapannya terarah pada Maya, tatapan yang penuh kerinduan. Lelaki itu beberapa kali menghela nafas berusaha untuk menguasai diri.

"Saya Maya dan ini suami saya Erwin, pak," Maya memperkenalkan diri.

"Aku Hardi, ada yang bisa saya bantu?"

Maya kemudian mengutarakan keinginannya untuk menyewa paviliun untuk digunakan sebagai ruang kelas kelompok bermainnya dan alasan mengapa dia ingin menyewa paviliun itu. Pak Hardi diam untuk beberapa waktu, Maya dan Erwin hanya diam menunggu. Kesunyian di ruang tamu yang besar itu terasa sangat menyiksa terutama bagi Maya.

Pak Hardi menatap Maya lagi awalnya dia tak percaya waktu kakek Gun bercerita tentang gadis itu, tapi sekarang melihat Maya di hadapannya, Pak Hardi seperti merasa melihat Kasih di saat masih muda. Dia merasa yakin kalau Maya adalah anak kasih. Mengingat usia Maya sama dengan usia anaknya Pak Hardi merasa kalau Maya adalah anaknya.

Dia mengijinkan Maya untuk memakai paviliun rumahnya bahkan Maya tidak perlu membayar sewanya. Maya sangat berterima kasih pada Pak Hardi atas kebaikannya.

Pak Hardi kemudian bertanya tentang keluarganya, dia berharap Mumut tahu keberadaan istrinya, Kasih.

"Saya tinggal dengan nenek, kedua orang tua saya meninggal waktu saya masih kecil. Saya tak terlalu ingat wajah mereka." jawab Maya dengan mata yang mengawang.

Pak Hardi menelan ludah, kedua orangtuanya sudah meninggal, berarti benar Kasih pergi dengan lelaki itu. Ada kesedihan di wajah tampannya. Dia merasa hatinya merasa sakit.

"Siapa nama orangtuamu, Nak?"

"Kata Nenek nama ayah saya Suhardi dan ibu Anisa, mereka kecelakaan ketika saya berusia sekitar empat tahun, sampai sekarang saya hanya mengenal nenek sebagai orang tua saya."

"Siapa nama nenekmu, nak. Dari nama orang tuamu sepertinya aku mengenal nenekmu."

"Nenek Darsih, Pak."

"Nenek Darsih... iya bapak mengenalnya. Salam buat beliau, ya."

"Ya, Pak. Nanti saya sampaikan kalau saya mengunjunginya suatu saat, InsyaAllah," Mumut tersenyum dia agak kurang percaya Pak Hardi benar-benar mengenalnya.

Pak Hardi mengarahkan tatapannya ke luar jendela, dia merasa potongan-potongan puzzle itu mulai ketemu meski belum sepenuhnya. Dia semakin yakin kalau Maya anaknya, bukankah tadi Maya bilang ayahnya bernama Suhardi dan itu adalah namanya sedang ibunya bernama Anisa itu adalah nama Kasih, Anisa Kasih. Dan Darsih adalah nama pembantu setia Kasih. Pak Hardi merasa ada sebuah rasa bahagia yang memenuhi dadanya karena bisa bertemu dengan buah hatinya yang telah dicarinya selama bertahun-tahun. Melihat gadis kecilnya telah tumbuh dewasa dan sehat sudah cukup untuk saat ini.

Akhirnya sepasang suami istri ini pamit ketika hari semakin sore. mereka berjanji untuk datang esok hari untuk membersihkan paviliun itu untuk persiapan tahun ajaran baru. Maya merasa sanagt lega karena masalah tempat untuk kelompok bermainnya sudah teratasi. Pak Hardi menatap kepergian keduanya dengan perasaan suka meski ada kesedihan di hatinya. Pak Hardi masih belum mengatakan pada Maya kalau dia adalah anaknya meski dia merasa sangat yakin. Biarlah itu menjadi kejutan suatu saat kelak. Ketelah kepergian mereka, Hardi menatap fotonya bersama Kasih di ruang tamu, matanya berkaca-kaca.

"Anak kita sudah besar, Dinda..."