"Maafkan aku," kata Rachel disela tangisnya.
Sedari tadi Rachel menangis, tidak menyisakan tempat dihatinya untuk tersenyum. Apalagi ketika ia tahu Lorne dalam kondisi kritis. Hanya sakit, ia tidak bisa memikirkan hal lain selain Lorne. Bahkan luka kata akibat Shane, ia pun melupakannya.
Hanya Lorne. Lorne yang terpenting. 'Tak apa mengenai perasaanmu, Rachel. Mengapa aku bodoh? Mengapa aku?, batin Rachel.
Ia 'tak bisa tidak untuk berjalan kesana kemari. Dokter belum keluar dari ruang operasi, tidak ada perawat yang keluar juga. Hatinya 'tak tenang. Bagaimana jika terjadi sesuatu kepada Lorne? Ia bisa apa sekarang? Ia juga tidak diperbolehkan untuk masuk. Rachel terus menangis. Sampai sebuah dekapan membawanya pada kenyamanan dan rasa tenang.
"Pa," kata Rachel sambil sesenggukan. "Maafkan aku. Aku yang bersalah dalam hal ini, Pa."
"Ssst. Lorne akan baik-baik saja," sahut John berusaha menenangkan putrinya.
"Tidak, dia tidak akan baik-baik saja. Kalau aku disana untuk menemaninya, dia akan baik-baik saja. Tapi aku disini, dia tidak akan baik-baik saja."
"Rachel."
Rachel kenal suara itu dan ia sama sekali tidak tertarik untuk menoleh. Rachel mengeratkan pelukannya pada John ketika ia mendengar suara Shane makin lama makin mendekati pendengarannya. Ia tidak suka. Ia tidak mau melihat. Kalau bisa ia juga tidak mau mendengar deru napas lelaki itu. Cukup menghancurkan hatinya. Jangan harga dirinya.
"Rachel, aku..."
Shane melihat lingkar tangan Rachel makin mengencang. Ia tidak bisa meneruskan kata-katanya. Rachel pasti sudah sangat membencinya. Ia bisa terima. Ini kesalahannya. Keegoisannya. Jika ia tidak begitu, semua ini bisa dihindari.
Shane berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepada Rena, sedangkan Karla masih merasa kesal setengah mati dibentak oleh anaknya sendiri. Karla mengambil posisi duduk terjauh dari tempat Shane berdiri. Ia tidak ingin mendengarkan penjelasan apapun dari Shane. Karla justru berniat menceritakan kepada Rena kelakuan kasarnya pada Rachel.
Tapi 'tak lama dari niat Karla, seorang dokter muda keluar dari ruang operasi. Rachel yang pertama menghambur panik untuk meneimu dokter tersebut.
"Bagaimana keadaannya, Dok?"
"Dia baik-baik saja. Mungkin sebentar lagi pengaruh biusnya akan hilang," jawab sang dokter.
"Terima kasih," ujar Rachel lega. "Thanks, God."
**
"Seharusnya aku tidak menemui Shane. Maafkan aku."
Lorne tersenyum sambil menikmati makan siangnya. Rachel terlihat begitu rapuh. Mata sembab, hidung merah, mata yang terus berair. Lorne menghapus air mata yang baru saja melewati pipi Rachel.
"Aku penasaran."
Rachel mendongakkan kepalanya, menghentikan permainan mengetuk-ketukkan sendok pada piring kaca yang sedang ia bawa. Rachel memaksakan senyumnya keluar. "Tanyakan."
Lorne mengambil piring dari tangan Rachel dan meletakkannya ke atas meja. Ia menarik Rachel untuk menutup jarak yang terlalu lebar diantara mereka. Senyuman Lorne muncul sesaat setelah Rachel memberanikan diri untuk menghentikan tangisnya dan menatap mata Lorne dengan serius.
"Mengapa kau menemui Shane? Apa kau merasa bersalah telah pergi denganku?" tanya Lorne.
Rachel menggeleng cepat sambil mengusap pipinya yang mendadak basah lalu kembali memegang tangan Lorne. "Tante Karla bilang kalau Shane tidak makan selama seminggu. Semua karena diriku."
Lorne mendengus. "Dia masih kuat menghajarku." Rachel menangkap nada kesal pada mata Lorne. Hal yang sepertinya tidak harus terjadi. "Mama menyalahkanmu?"
Rachel menggeleng lagi. 'Tak ingin membuat Lorne salah paham; iamulai menjelaskan. "Aku hanya ingin membujuk Shane untuk makan. Aku sendiri yang merasa bersalah membuat Shane tidak mau makan selama seminggu."
"Bukankah itu kebodohannya sendiri?" tanya Lorne mengamati.
"Memang. Tapi jika aku 'tak pergi..."
"Ah, Shane," desah Lorne menghentikan kalimat Rachel. Lorne tidak ingin Rachel melanjutkan perasaan bersalah yang bukan sepenuhnya kesalahan Rachel. "Lalu apa yang terjadi?"
"Shane memecahkan piring."
"'Tak mau makan?"
"Iya."
"Kau yakin hanya itu?"
Rachel memicingkan kedua matanya lalu mendekatkan wajahnya dengan kesal. "'Tak usah memancingku. Aku akan mengatakan yang sebenarnya. Aku bukan kau yang suka berbohong dan menutupi kenyataan. Walau kau payah dalam menebak, aku tetap akan mengatakan padamu apa yang terjadi."
Senyuman Lorne kali ini berubah menjadi senyuman paling hangat yang pernah Rachel temui. Rachel memukul dada Lorne ketika ia merasa terganggu. "Shane memintaku untuk menikahinya," lanjut Rachel. "Aku menolak."
Lorne mengerutkan alisnya, seolah-olah pikirannya penuh tanya. "Dan mengapa itu bisa terjadi?"
"Perlu kujelaskan mengapa?" tanya Rachel kesal.
Lorne memiringkan senyumnya lalu mempererat genggaman tangannya. "Aku tahu. Tapi 'tak tahu ia akan semarah itu padamu."
"Padamu," koreksi Rachel.
"Padaku?"
"Lorne..."
"Kau mengatakannya?"
"Aku harus merahasiakan? Kau 'tak bilang."
Lorne menepuk dahinya. "Aku 'tak ingat menyuruhmu mengatakannya. Terutama Shane."
Rachel menggantung senyumnya mendapati reaksi Lorne. Sedetik kemudian, ia memberengut. "Dia melamarku. Kau 'tak marah?"
"Apa aku harus marah? Maaf, tapi aku 'tak tahu," balas Lorne penuh kemenangan.
"Sejauh yang aku tahu, ya. Kau harusnya marah kepadanya."
Lorne menarik Rachel untuk jatuh dalam pelukannya. Rachel 'tak cukup dewasa saat ini. Sikapnya masih kekanak-kanakan. Namun disisi lain ia lebih dari sekadar cukup untuk menjadi dewasa. Rachel pantas.
"Shane mencintaimu. Kurasa dia jauh lebih baik dalam hal mencintaimu," bisik Lorne.
Rachel tidak tahu apa Lorne benar atau tidak. Yang Rachel ketahui adalah sebuah cinta yang terlalu dipaksakan, hasilnya adalah kesalahan. Dan apa yang sudah salah, selamanya 'tak akan pernah berubah menjadi benar. Apa yang salah, selamanya akan tetap begitu walau hati ingin menggantinya dalam waktu dan kisah yang baru.
"Aku tidak mencintainya, Lorne. Yang aku tahu, dalam posisi kita sekarang kau dilarang untuk mendorongku pada Shane. Dia melukaiku. Hati dan fisik," sahutnya lemah, putus asa. "Shane tidak pernah mencintaiku tanpa kekerasan. Dia hanya membuatku menangis."
Lorne mendengar itu dengan jelas. 'Tak perlu diulang ia sudah paham maksud ucapan Rachel. Namun lebih memilih untuk mengerutkan dahinya dan sengaja membuat Rachel mengamati ekspresinya. "Jadi kau menangis karena Shane atau karena aku terluka?"
Rachel mendorong Lorne untuk menjauhi dirinya. Ia menghapus air matanya sebelum memalingkan wajah. Lorne benar-benar 'tak punya hati, batin Rachel. Rachel 'tak membenarkan niat dalam hatinya untuk menatap Lorne kembali tapi Lorne menarik wajah Rachel untuk menghadapnya. Satu kecupan di pipi cukup untuk mengembalikan senyuman manis ala Rachel.
"Jangan marah. Aku juga tidak akan membiarkannya menikahimu dengan mudah," ujar Lorne dengan sabar.
"Janji?"
"Tidak juga."
"Lorne!" seru Rachel penuh kesal.
Sekali lagi Lorne memeluk Rachel. Ia menikmatinya. Rachel dalam dekapannya. Rachel adiknya, yang mau tidak mau harus ia akui. Ini Rachel yang sama dengan Rachel 5 tahun yang lalu. Rachel yang mengisi kekosongan hidupnya. Rachel yang setiap saat membuatnya tersenyum ketika Candara mengusik pikiran. Rachel yang sama dengan Rachel yang setia menghancurkan pedih hati. Rachel yang sama dengan Rachel yang selalu ia impikan. Rachel yang mengubah hatinya.
"Aku janji."
Rachel mengulum senyumnya dengan bahagia. Tentu saja. Rachel melepaskan pelukannya dan menyuapi Lorne hingga makanannya tersisa setengah. "Aku punya sesuatu untukmu, hanya setelah kau selesai dengan makananmu."
"Benarkah? Apa itu?"
"Kau mau makan sendiri?"
"Baiklah, kau boleh pergi sekarang," ucap Lorne mengetahui maksud tersembunyi dari Rachel.
**
"Here's one coming for you," seru Rachel dari dalam dapur. "Puding?"
"Yeay!" seru Lorne balik.
Lorne melesat dari kamarnya dan membantu Rachel untuk membawa beberapa puding ke ruang makan. Lorne memperhatikan Rachel mengiris puding—menjadi bagian-bagian yang lebih kecil—dan secepat mungkin mengambil setiap bagian yang telah selesai Rachel potong.
"Lorne, kau ini!" sentak Rachel sambil memukul tangan Lorne. "Aku tidak membuatnya hanya untukmu. Banyak yang harus mendapatkan bagiannya."
"Oke kalau begitu," Lorne melingkarkan lengannya pada tubuh Rachel dan membiarkan bibirnya mencapai telinga Rachel. "biar aku menikmati bagianku."
Rachel memasukkan sepotong puding ketika lehernya merasakan gerakan lambat dari bibir Lorne. Lorne melakukan gerakan itu terus menerus sehingga ia mendapatkan banyak puding secara cuma-cuma.
"Bagianku?"
Rachel dan Lorne mendongakkan kepalanya serempak, menemukan Shane menatap mereka dengan tatapan paling sinis yang pernah Rachel temukan sepanjang hidupnya. Shane tidak memaksakan untuk tersenyum, tapi ia juga tidak membiarkan wajahnya penuh dengan ketidakrelaan.
"Bisa aku mendapatkan bagianku?" tanya Shane memecah ketegangan.
Rachel memaksakan senyumnya untuk dapat tampil setulus mungkin lalu mengambil sepotong puding dan menyuapkannya ke dalam mulut Shane. Shane menatap Rachel dengan tatapan pahit. Hatinya tidak sepenuhnya pulih. Bagaimana ia bisa bertahan ketika Lorne justru menampakkan kemesraan bersama dengan Rachel?
Shane memegang pergelangan tangan Rachel yang mengarah padanya untuk menyuapkan puding. Shane tidak menemukan kemana arah pikirannya melayang. Yang bisa ia temukan adalah keinginan untuk memeluk Rachel sebagai miliknya. Bukan Lorne yang di posisi itu. Lorne tidak boleh.
"Can I have that part? Aku masih lapar," kata Lorne melihat Rachel ketakutan.
"No," sahut Rachel memecahkan lamunan Shane. Rachel menarik tangan dan Shane tidak menahan. "Shane dan kau punya bagiannya masing-masing."
"Dan kau tidak bisa dibagi," ujar Shane tajam. "Aku harus ke kantor. Rupanya usahamu membujuk Yovan untuk mengambil alih kepemilikan atas Candara berhasil."
Lorne sudah tahu akan hal itu jauh sebelum hari ini. Tapi ia tidak menyangkan jika Yovan akan menjemput Candara secara pribadi. Satu dua hal pada hari ini begitu mengejutkan hatinya.
"Kau boleh membatalkannya."
Shane juga Lorne menatap Rachel secara bersamaan. Dua tatapan berbeda namun penuh arti yang sama. Bagi Lorne, semudah itukah membuat kerja keras Lorne berantakan? Bagi Shane, apakah Rachel tidak takut sesuatu terjadi jika Candara tidak pergi? Kakak-beradik Weinston itu berdiri dengan tatapan 'tak percaya pada Rachel, namun yang dipandangi justru asyik memakan puding.
Lorne tidak menggerakkan bibirnya untuk menyanggah ucapan Rachel. Lorne juga tidak bisa dikatakan sepaham, namun yang terjadi ia tetap bungkam. Shane yang merasa ganjal mengangkat suara. "Oh, aku akan mengundur pertemuan. Biar Lorne sendiri yang membatalkanya jika ia mau."
"Aku akan menelepon Yovan," sahut Lorne.
Rachel terkejut, hanya saja ia 'tak begitu ingin memperlihatkan keterkejutannya. Ia lebih cenderung menikmati pembicaraan penuh ketegangan diantara Lorne dan Shane yang belum pernah ia lakukan sama sekali. Apalagi ini adalah pembicaraan di luar perusahaan.
"Menarik," kata Shane menanggapi. "Sebaiknya memang begitu. Terdengar lebih baik."
Shane mengecup pipi Rachel; berlalu meninggalkannya dengan Lorne seperti sebelumnya. Shane merasa ada aura kebahagiaan. Candara tetap dalam posisi untuk membantu, Rachel tidak bermasalah dengan itu dan Lorne menahan diri untuk melakukan pemindahan Candara. Semua akan baik-baik saja. Masih ada kesempatan untuk mendapatkan apa yang Shane inginkan.
"Sekarang aku terganggu," bisik Lorne dari balik leher Rachel setelah Shane menghilang.
"Aku senang jika memang begitu," balas Rachel sebelum memasukkan puding ke dalam mulut Lorne lagi.