Perasaan bahagia Ara menyeruak, sampai-sampai ia tak henti-hentinya mendendangkan lagu sebelum, selama dan sesudah ia mandi.
Ia menari sambil memakai pakaiannya. Ia bersiul sambil menyisir rambutnya.
Tak lama, ia keluar mencari Aya di dapur. Ia yakin Aya sedang menyiapkan sarapan untuknya. Sesampainya di dapur, tak tampak Aya dimanapun. Yang dilihatnya hanya pelayannya yang sedang memasak dan menyajikan makanan.
Ditanyanya kepada pelayannya itu yang bernama Onah. "Mba, ibu sudah ada kesini kah?"
Si pelayan menjawab "tadi kesini sebentar pak, tapi habis itu kembali lagi. Kata ibu, beliau kurang enak badan." Jelas si mba Onah.
"Oooo! Makasih mba." Sahut Ara dan segera kembali mencari Aya. Ia pergi ke perpustakaan, namun tidak dilihatnya Aya berada disana.
Ia mencari ke kamar lain yang ada di lantai atas. Saat ia masuk ke kamar yang diperuntukkan untuk tamu, dilihatnya Aya sedang berbaring disana.
Ara lalu mendekati Aya, dan melihat Aya sedang meringkuk seperti sedang kedinginan.
Aya seperti menggumamkan sesuatu, tapi tidak jelas. Aya seperti mengigau.
Dipegangnya kening Aya, dan ia terkejut. Aya sedang demam. Suhu badannya panas dan terlihat wajah Aya yang memerah.
Ara bingung dan segera menggendong Aya, memindahkannya ke kamar tidur mereka yang letaknya tidak jauh dari kamarnya berada sekarang.
Saat tiba di kamar tidur mereka, Ara merebahkan Aya dengan perlahan. Lalu Ara segera memanggil pelayannya untuk membuatkan teh panas. Mengharap Aya akan bangun dan minum teh panas tersebut untuk menghangatkan tubuhnya. Sedangkan ia menelepon dokter keluarganya untuk memintanya segera datang ke rumah mereka.
"Bagaimana dok?" Tanya Ara cemas melihat Aya yang sedang sakit telah selesai diperiksa oleh dokter Willy selaku dokter keluarga Ara. Aya belum benar-benar bangun sedari tadi. Ia hanya berkeringat dan gelisah.
"Tidak perlu terlalu khawatir pak. Istri anda sepertinya kelelahan dan sedikit stres." Jawab dokter sambil tersenyum kepada Ara.
"Stres??" Tanya Ara lagi.
Si dokter berdiri dari tempat tidur dan berjalan ke tengah ruangan kamar yang diikuti oleh Ara.
"Mungkin istri anda sedang banyak pikiran. Ditambah lagi anda baru habis merayakan pesta pernikahan, ibu Aya pasti kelelahan." Sambung dokter Willy mengira-ngira penyebab kelelahan Aya.
"Saya akan kasikan resep yang bisa langsung ditebus di apotek terdekat. Istri anda hanya perlu istirahat." Kata dokter sambil menulis beberapa resep di secarik kertas dan setelahnya mengemasi barang-barangnya.
"Baiklah dok." Jawab Ara dan mengantar dokter tersebut sampai ke depan pintu kamar. Ia menyuruh pak Haito yang ada di luar kamar untuk mengantar dokter Willy keluar.
Ara menutup kembali pintu kamar dan mendekati Aya. Dilihatnya Aya sudah mulai tidur dengan tenang dibandingkan sebelumnya.
Diselimutinya Aya. Diciumnya kening Aya dengan lembut. Dilihatnya bibir Aya yang sedikit terbuka. Lalu diciumnya bibir Aya dengan menahan rasa untuk melumatnya dengan kasar.
Aya sedikit bergerak dan Ara segera kembali berdiri. Ia lalu keluar kamar meninggalkan Aya agar bisa beristirahat dengan tenang.
Karena bawaan Ara apabila di dekat Aya, selalu ingin menyatukan diri mereka. Terlebih lagi disaat Aya sedang sakit seperti sekarang ini, Ara melihat Aya semakin menggoda.
"Sialan! Gila sudah aku." Gumam Ara sendiri. Ia berpikir, bisa-bisanya ia tergoda di saat istrinya sedang sakit di pembaringan.
▪︎▪︎▪︎
Aya terbangun dan melihat jam disamping tempat tidurnya. Waktu menunjukkan pukul 1 siang. Ia merasa haus dan lapar. Diambilnya segelas air putih yang ada di meja samping tempat tidurnya dan diminumnya sampai habis.
Ia berjalan keluar kamar menuju dapur. Dilihatnya mba Onah sedang mencuci piring.
"Sudah makan mba Onah?" Tanya Aya dan membuat mba Onah kaget karena Aya berdiri tepat di belakangnya.
"Astaga!! Ibu membuat saya kaget aja." Kata mba Onah sambil mengelap tangannya. "Kami sudah makan bu. Ibu mau makan? Sudah siang bu. Ibu belum ada makan kan dari pagi?" Mba Onah ingat kalau tadi pagi Aya hanya singgah sebentar saja di dapur. Setelah itu ia kembali ke kamar setelah berkata kurang enak badan.
"Iya mba." Jawab Aya sambil menarik kursi di meja pantry. "Oh iya, bapak sudah makan mba?" Tanya Aya lagi.
"Belum bu. Tadi katanya menunggu ibu." Mba Onah menjelaskan sambil mengambil piring dan menyajikan makanan di meja makan yang tak jauh dari tempatnya bicara dengan Aya.
"Ooh." Sahut Aya dan ia langsung berdiri hendak keluar dapur untuk mencari Ara. Sebelum ia keluar, ia berbalik dan bicara kembali dengan mba Onah. "Mba, siapkan makanannya ya? Sebentar saya panggil bapak dulu." Jelas Aya.
"Kalau begitu biar saya saja yang memanggil bapak bu. Ibu tunggu disini saja. Kan ibu sedang sakit." Jelas mba Onah yang langsung membersihkan baju dan tangannya dan hendak memanggil Ara.
"Eh, nggak usah mba. Biar saya saja. Saya sudah tidak apa-apa kok. Saya mau saya yang mengajak suami saya makan." Kata Aya menjelaskan sambil mengedipkan sebelah matanya dan mba Onah langsung mengerti maksudnya.
"Oh baiklah bu." Jawab mba Onah sambil tersenyum.
Aya mencari Ara di ruang kerjanya. Sesampainya di depan pintu ruang kerja Ara, Aya menarik nafas panjang.
▪︎▪︎▪︎
Ara duduk termenung di ruang kerjanya. Ia memikirkan Aya yang sedang sakit dikarenakan dirinya.
Ia berpikir pasti Aya stres karena harus menikah dengannya. Ara mengacak-acak rambutnya. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya. Tak lama, ia teringat sahabatnya, Sony.
Sony merupakan satu-satunya sahabat terdekat Ara. Hal ini dikarenakan mereka sudah berteman sejak mereka kuliah. Ara yang dahulunya jarang punya sahabat dekat, merasa cocok dan nyambung saat bertemu Sony.
Sony sudah beberapa bulan ini pergi keluar kota untuk berlibur. Selama itupun ia belum pernah menghubungi Sony. Begitupun dengan sebaliknya. Karena akan percuma untuk menghubungi Sony. Sony sedang berada di daerah yang jauh dari sinyal ponsel. Sehingga akan kesulitan untuk menghubunginya.
Sony adalah orang yang senang berpetualang. Terutama ke daerah-daerah pedalaman, yang masih sulit dijangkau manusia. Terkecuali penduduk asli daerah tersebut.
Ara mencoba menelepon Sony dan terhubung. Ara langsung tersenyum. Sudah lama Ara tidak mendengar suara Sony. Ara ingin menceritakan tentang pernikahannya dengan Aya. Ara yakin Sony pasti bahagia karena Ara mendapatkan apa yang diinginkannya selama ini. Sony mengetahui betul bagaimana Ara mencintai Aya selama ini.
Setelah nada sambung telepon berdering berkali-kali, tidak ada sahutan dari panggilan tersebut.
Ara mengulang lagi memencet nomor telepon Sony. Masih tetap sama. Tidak ada yang menjawab. Akhirnya Ara menaruh kembali ponselnya di meja.
Lalu terdengar suara orang mengetuk pintu. Ara menjawab "masuk!" tanpa mau melihat siapa yang datang.
"Kamu sedang apa?" Tanya Aya sambil melangkah masuk menuju kearah Ara.
Ara mengangkat kepalanya dan tersenyum sambil menjawab "sedang memikirkan kamu." Ia bergegas mendatangi Aya dan memeluknya.
"Kamu sudah baikan?" Tanya Ara sambil memeluk Aya dan mencium puncak kepalanya.
"He eh." Sahut Aya yang terdiam di dalam pelukan Ara. Aya tidak berani membalas pelukan Ara. Jadi ia hanya berdiri terpaku.
Lalu Ara melepaskan pelukannya dan sekali lagi ia mencium kening Aya. Ditatap dan dipegangnya bahu Aya. Lalu berkata "kamu beneran sudah baikan? Badan kamu masih hangat."
Aya menggelengkan kepalanya dan berkata "iya, aku sudah baikan kok. Aku hanya kecapean kayaknya."
Ara melepaskan pegangannya dan melipat kedua tangannya di depan dadanya. Ia menaikkan sebelah alisnya.
"Sungguh, aku sudah merasa baikan dan aku merasa sangat lapar sekarang." Jelas Aya yang melihat Ara sepertinya tidak percaya dengannya.
"Oh baiklah. Aku juga lapar. Mari kita makan." Ajak Ara sambil menggandeng pinggul Aya.
Aya sempat berkata sebelum mereka keluar ruangan. "Kenapa kamu belum makan?"
"Aku nunggu kamu. Aku mau makan sama-sama kamu." Jawab Ara sambil tertawa dan menutup pintu ruangan.
Ia menggenggam tangan kanan Aya dengan erat, seakan-akan takut Aya akan pergi meninggalkannya lagi.