Aya menatap Ara diseberangnya yang dengan lahapnya memasukkan makanan ke mulutnya. 'Sepertinya ia kelaparan.' Kata Aya dalam hati.
Ara yang tahu kalau dirinya sedang ditatap oleh Aya berkata "kenapa? Kamu baru sadar kalau suamimu ini tampan??" Tanya Ara sambil mengunyah makanannya tanpa memandang Aya.
"Eh.." Aya terkejut ditanyai begitu oleh Ara. Ia tidak menyangka kalau Ara sadar diperhatikan olehnya.
"Enggak, aku lihat kamu lahap betul makannya. Kamu belum ada sarapan dari tadi pagi?" Tanya Aya penasaran.
"He eh." Jawab Ara sekenanya, masih tanpa menoleh ke Aya.
"Ohhh..." Aya pun langsung memakan makanannya yang sedari tadi belum dimakannya.
Ara menoleh kepada Aya dan tersenyum jahil. "Kamu kayaknya perhatian ya sama aku? Sudah mulai jatuh cinta kah sama aku?"
"Hah..." Uhuk uhuk... Aya tersedak makanannya yang baru sekali disuapnya.
Dengan segera Ara memberikan minuman yang ada disebelahnya kepada Aya sambil tertawa.
Ara yang hendak mengambil minuman yang juga ada disebelahnya, mengurungkan niatnya, tidak jadi. Karena Ara terlebih dahulu memberikan minumannya kepada dirinya. Aya tidak enak untuk menolaknya. Aya segera meminum air tersebut sampai hilang rasa batuknya.
Ara tersenyum puas melihat Aya yang berhasil digodanya. Ia lalu melanjutkan makannya.
Dalam hati Aya berkata "dasar.... Ge-er betul sih!!!" Ia dengan kasar menyendokkan makanannya ke mulutnya. Terlalu sering ia dikerjai oleh Ara, pikirnya.
"Pelan-pelan aja makannya. Nanti tersedak lagi. Airku habis lo..." Ucap Ara dengan tertawa yang melihat Aya sedang makan dengan terburu-buru.
"Habis kamu sih. Senang betul ngerjai aku!!" Jawab Aya sambil menatap Ara dengan jengkel.
"Hehehehehe...Kamu imut sih.." Gida Ara lagi. Aya bukannya senang, malah semakin terlihat jengkel.
Ara yang melihat hal itu langsung berkata "ok ok. Aku minta maaf, karena selama ini sering banget ngerjai kamu. Selama ini aku suka sama kamu. Tapi kamu nggak pernah memperhatikan aku. Aku cari cara aja biar bisa dekat sama kamu. Walaupun kayaknya anti mainstream ya?" Lanjut Ara sambil tertawa nyaring.
Aya hanya diam sambil memakan makanannya yang dirasanya sudah tidak nyaman lagi. Namun ia berusaha untuk menghabiskannya.
"Makan yang banyak Ay. Nanti kamu sakit lagi. Habis ini diminum ya obatnya?" Lanjut Ara yang dilihatnya Aya mulai menghentikan proses makannya. Aya hanya menganggukan kepalanya.
"Hmmm... Mas, aku mau tanya." Kata Aya memulai kembali pembicaraan.
Ara terkejut dipanggil begitu oleh Aya. Karena selama ini, Aya hampir tidak pernah memanggil namanya. Dan sekarang ia dipanggil "Mas" oleh istrinya itu. Ara senang. Ara merasa ia dihormati. Ia tersenyum sumringah.
"Mau tanya apa?" Jawab Ara masih dengan senyum-senyum manisnya.
"Kenapa kemarin kamu marah?" Tanya Aya kepada Ara sambil menatap Ara yang sudah selesai makan.
Sambil mengangkat kedua alisnya "Kemarin? Marah? Yang mana ya?" Tanya Ara cuek.
"Hmmm, waktu kita mau makan malam kemarin? Kamu langsung-langsung aja pergi, nggak jadi makan. Itu kenapa?" Jelas Aya mengingatkan.
Sambil menyandarkan tubuhnya, Ara menjawab "ohhh yang itu... Memangnya kenapa?" Tanya Ara balik yang membuat Aya sedikit cemberut dan memajukan mulutnya.
"Ya nggak apa-apa sih sebenarnya. Cuma aku penasaran aja. Perasaan aku nggak ada buat salah, tapi kok kamu malah marah sama aku." Jawab Aya jengkel.
"Hmmmm, masa sih aku marah??" Goda Ara membuat Aya semakin jengkel.
"Ya sudah kalau nggak mau jawab!" Tegas Aya dan hendak pergi meninggalkan Ara.
Dengan spontan Ara berlari mendekati Aya dan menarik pergelangan tangannya. Ia berkata "eh, kok kamu yang marah sih? Aku bercanda aja kok." Ara segera menjelaskan.
"Waktu itu aku jengkel aja sama kamu. Aku yang membuat kamu kelaparan, kamu malah mengkhawatirkan aku. Aku nggak tahu, kamu khawatir sama aku itu karena apa. Apa karena khawatir aja atau karena memang kamu perhatian sama aku." Ara tertawa.
"Hanya karena itu???" Tanya Aya tidak percaya. Masa hal sepele seperti itu bisa membuatnya marah. Itu seakan-akan marah tanpa sebab, pikir Aya. Menjengkelkan.
Dalam hati, Ara mendengus kesal karena harus mengingat-ingat kejadian itu. Memang kelakuannya seperti anak kecil. Tapi ia punya alasan.
Bagaimana ia tidak marah, kalau istrinya tidak pernah mencintainya. Ia berharap, walaupun Aya belum bisa membuka hati untuknya, tetapi ia tetap melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri. Ia menginginkan Aya.
Sampai saat ini, Ara belum pernah menyatukan tubuhnya dengan Aya, karena Aya selalu berkata belum siap. Ara menjadi emosi kalau mengingat Aya yang selalu menolaknya. Ia sudah tidak sabar untuk memiliki Aya seutuhnya.
"Ay.. Kenapa sih kamu nggak suka sama aku?" Tanya Ara blak-blakan. Aya tidak menyangka akan ditanyai seperti itu sama Ara. Namun Aya hanya diam. Ia bingung hendak mengatakan apa. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
"Nggak usah kamu jawab sekarang. Kapan-kapan aja." Kata Ara yang melihat Aya menundukkan kepalanya dan terdiam setelah ditanyainya secara langsung seperti itu.
"Maaf ya?" Aya hanya bisa mengatakan itu. Dan dijawab anggukan oleh Ara.
Akhirnya mereka menyelesaikan makan siangnya dalam diam.
▪︎▪︎▪︎
Sony sedang makan siang di salah satu rumah makan favoritnya. Siang itu ia baru tiba setelah melakukan perjalanan panjang berkeliling di daerah pedalaman Sulawesi. Ia merindukan makanan kesukaannya. Soto Banjar.
Setelah ia selesai makan, ia mengambil ponselnya untuk melihat pembaharuan yang ada sambil menghabiskan sisa minumannya.
Ia kaget karena ada dua kali panggilan tak terjawab oleh sahabatnya Ara.
Sony tersenyum mengingat sahabatnya itu dan langsung memencet kembali nomor teleponnya. Beberapa kali ia mencoba menelepon, tapi tidak dijawab.
"Kenapa lagi dengan dia?" Gumam Sony sambil menyimpan kembali ponselnya dan membereskan barang bawaanya.
"Hhhhhhh" Sony menghembuskan nafasnya dan beranjak pergi dari rumah makan tersebut.
▪︎▪︎▪︎
Seminggu telah berlalu, Aya mulai merasa bosan hanya diam di rumahnya tanpa melakukan apapun. Sedangkan Ara sudah mulai kembali melanjutkan pekerjaannya di salah satu perusahaan milik ayahnya.
Ara menjabat sebagai direktur di perusahaan tersebut. Ia dikenal memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Sehinggga Dewan Direksi setuju mengangkat Ara sebagai Direktur dengan umurnya yang terbilang masih muda.
Selama seminggu ini, Ara berusaha mengajak Aya untuk pergi berbulan madu. Tapi Aya selalu menolaknya. Aya khawatir kalau harus berduaan dengan Ara di kota lain.
Setelah menimbang-nimbang apa yang hendak dilakukannya, akhirnya Aya memutuskan pergi ke perpustakaan untuk mencari buku bacaan.
Hari masih terang sehingga ia dengan tenang dan santai membaca. Ia membaca buku dengan serius sehingga tidak mendengar ada orang lain yang masuk.
Namun ia terkejut saat ada seseorang yang mencium puncak kepalanya. Ia mendongak ke atas untuk melihat dan ia semakin terkejut saat Ara sudah mencium bibirnya dengan posisi Aya yang sedang mendongak ke atas.
Aya langsung mendorong wajah Ara dengan kedua tangannya. Dan ia bergegas berdiri. Buku yang tadi dipegangnya, segera ditaruh dan disembunyikannya di lemari terdekat.
"Kenapa?" tanya Ara bingung. "Dari tadi aku panggil-panggil kamu, kamu nggak ada menjawab. Aku ketuk pintu ini juga, kamu nggak dengar. Kamu baca buku apa sih?"
"Eh, aku nggak dengar sama sekali kalau kamu datang. Dan aku kaget kamu....." Aya tidak dapat melanjutkan bicaranya.
"Okeh, itu artinya buku yang kamu baca sangat menarik. Mana, coba aku lihat bukunya?" tanya Ara lagi sambil melihat tangan Aya.
Aya yang masih terkejut semakin gugup dibuat Ara karena Ara mempertanyakan buku yang sedang dibacanya tadi. Aya tidak ingin Ara mengetahui buku apa yang dibacanya.
Ara menaikan sebelah alisnya dan mendekat ke arah Aya. "Ay??" tanya Ara menyadarkan Aya.
"Eh, kamu kok sudah pulang jam segini?" Aya berusaha mengalihkan pembicaraan.
Ara yang tahu Aya sedang mengarahkan ia untuk berbicara hal lain, mengikut saja. Tapi sebenarnya ia masih penasaran dengan buku yang dibaca Aya. Ada apa dengan buku itu, sampai-sampai Aya begitu serius membacanya dan tidak mau memperlihatkan kepadanya.
"Aku lagi malas. Aku nggak konsentrasi hari ini." Jawab Ara sambil mengarah keluar perpustakaan.
Aya segera mengikutinya dari belakang. Aya hendak bertanya kenapa Ara tidak konsentrasi hari ini, tapi diurungkannya, karena takut Ara akan marah.