Setelah sampai di kantin sekolah, kita duduk di bangku yang masih kosong, sementara itu Ivan pergi buat pesen bakso lima porsi.
Gak lama kemudian, Ivan balik dan duduk bareng kita.
"Jadi... Dari mana ya enaknya mulai cerita?"
Ivan kayaknya lagi bingung gimana mau jelasin semuanya dari awal.
"Jadi gini, waktu itu aku mau nelfon ke nomernya Arga, tapi sialnya aku salah sambung ke nomernya cewek"
Wait... Sial karena salah sambung ke nomor cewek? Bukannya itu beruntung?. Eh, tapi kalau Ivan beruntung harusnya gak pake salah sambung. Oh sial, jadi paradoks.
Ivan melanjutkan.
"Nah, waktu itu kita ngobrol cukup lama di telfon. Sampai akhirnya aku dapet ID akun FB dia, kita lanjut terus sampai jadi deket sekarang. Rencananya aku mau nembak dia secepatnya"
Hmm, anehnya aku ngerasa ada yang janggal dengan cerita Ivan. Bukannya aku gak percaya sama cerita dia, tapi cewek dalam cerita Ivan rasanya cukup meragukan.
Tapi semoga saja itu cuma perasaanku doang, bagaimanapun aku cukup senang Ivan bisa menemukan cewek yang dia suka.
"Hm, jadi mari kita tarik kesimpulan dari ceritamu. Jadi... Kau belum pernah ketemuan langsung sama itu cewek?" tanya Rendra.
"Belum, tapi kita janjian mau ketemuan nanti sore sepulang sekolah"
Aku merasa sedikit cemas sama Ivan, bukannya apa-apa, tapi Ivan itu sering banget kena sial, takutnya dia gak ada yang support dari belakang kalau dibiarkan.
"Ok, itu bagus. Tapi biar kita ikut juga buat jagain kamu"
"Bener tuh kata Adi, kita akan bantu dari belakang"
Adi dan Reno ngasih saran yang bagus, aku juga setuju.
Ivan tersenyum, syukur deh dia bisa punya sahabat yang pengertian.
Singkat cerita, setelah pulang sekolah dan ganti baju, kita semua ngumpul di depan rumah Ivan.
Habis itu kita sampai di kafe tempat janjian Ivan.
Ivan duduk sendirian, sedangkan kita berempat duduk agak jauh dikit dari posisi biar bisa mengamati keadaan.
Aku pakai kaos polos sabil ditutup dengan jaket kulit, Reno pakai kemeja kotak, Rendra pakai kaos lengan panjang, dan Adi pakai peci dan baju koko.
Dari kita semua, pakaian Adi paling ngawur. Ketahuan banget dia dari masjid dan gak sempet ganti baju lagi. Tapi ya gapapa lah, mau gimana lagi.
Ivan sedang nunggu sambil main Hp yang aslinya sedang buka grup chat kita.
Rendra :<
Ivan :<
Reno:<
Adi:<
Reno:<
Rendra:<
Reno:<
Rendra:<
Reno:<
Adi:<
Ivan:<
Pandangan kita terfokus pada pintu masuk kafe yang terbuat dari kaca.
Dari sini bisa terlihat seorang gadis cantik sedang membuka pintunya.
...Eh?
Itu wajah yang aku kenal.
Wajahnya terlihat manis dengan kulit yang begitu cerah. Tidak menggambarkan sosok orang keturunan asli Indonesia, wajahnya lebih kepada wajah orang Jepang.
Itu Nana!
Ugh, hatiku terasa sakit. Dadaku mulai terasa sesak.
Jika orang yang janjian dengan Ivan adalah Nana, aku akan mengalami dilema memilih antara sahabat dan cewek yang kusuka.
Rendra, Adi dan Reno beralih menatapku dengan rasa iba. Aku tahu maksud kalian, mari kita diam dan menunggu sebentar lagi meskipun terasa sedikit perih untukku.
Nana langsung berjalan tepat ke arah meja Ivan.
Semakin dekat... Lebih dekat. Jantungku berdegup lebih cepat. Mungkin aku yang paling gugup disini.
Hanya tinggal beberapa langkah lagi. Nana berhenti dan menyapa Ivan di mejanya.
Rendra menepuk punggungku dengan lembut, memintaku untuk bersabar.
Yah, mungkin itu memang takdirku. Tapi...!? Nana tidak duduk disana, dia terus berjalan menghampiri tempat kami saat ini.
"Hai Arga, dan yang lainnya" sapa Nana penuh dengan senyuman.
"Hai, sedang apa kamu disini?" tanyaku dengan lirih.
Aku bahkan tidak berani berbicara keras disini.
"Oh aku ada janji sama temanku di kafe ini, itu mereka" jawab Nana sambil menunjuk kursi yang diisi oleh tiga orang cewek. Salah satu dari mereka melambai sebagai respon.
"Aku pergi dulu ya, mereka udah lama nunggu"
"Ok"
Setelah Nana pergi, aku menghela nafas lega. Untungnya Nana bukan cewek yang dibilang Ivan.
Satu orang lagi yang masuk dari pintu. Rambut hitamnya panjang melebihi bahu dengan pakaian yang tampak mencolok dan berkilauan.
Ivan:<
Ok, aku punya firasat buruk tentang yang satu ini.
Reno berkata dengan terus terang, "Dadanya rata"
Baiklah, itu terlalu terus terang dan tidak sopan. Tapi aku setuju dengan Reno.
"Tangannya kelihatan kasar" tegas Adi.
"Make Up nya terlalu tebal" kata Rendra.
Setelah memahami fakta ini, kami bertempat saling menatap. Sepertinya semua punya pemahaman yang sama.
Kita serentak mengambil Hp dan mulai mengetik pesan.
Adi:<
Reno:<
Rendra:<
Benar, itulah pemahaman yang kami dapat. Orang itu waria, itu fakta yang cukup mengerikan sebagai mimpi buruk.
Tapi sudah terlambat, waria itu telah sampai di depan meja Ivan.
"Hai ganteng" sapa waria itu dengan sedikit menggoda.
Suaranya terdengar serak dan sedikit berat.
Ok, aku yakin ini suara seorang pria.
"AAAAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...!" Ivan berteriak dengan histeris dan bangkunya terjatuh ke belakang.
Sontak pandangan semua pengunjung kafe tertuju pada tempat Ivan.
Nana dan teman-temannya dengan panik berlari ke arah kami.
"Ada apa? Kok Ivan teriak?"
"Itu Na, si Ivan digoda sama banci"
Setelah memahami garis besarnya, Nana melangkah maju untuk menghentikan waria itu.
"Mas, tolong jangan ganggu temen saya" pinta Nana dengan tegas.
"Eleh eleh, jangan sembarangan ya manggil saya Mas. Panggil saya Sis"
"Siska?"
"Bukan, Siswanto"
Sikap dan cara bicaranya membuatku merasa geli.
"Udahlah, mentang mentang kamu cantik yah, mau sembarangan ngalangin saya cari cowok"
"Tapi itu bukan hal yang normal!"
"Halah, bocah bau kencur kayak kamu tahu apa!?"
Orang itu mulai mendorong tubuh Nana. Nana terjatuh diatas lantai.
Ini tidak boleh berlanjut.
Aku maju dan menengahi antara Nana dan orang itu.
"Ini lagi main sok pahlawan! Aku gak akan segan meskipun kamu ganteng"
Tinju kirinya dilayangkan dengan keras, berhasil kutahan dengan tanganku.
Tempat yang dipukulnya terasa berdenyut kesakitan. Tenaga orang ini cukup kuat.
Kali ini tendangan secara diagonal. Orang ini bahkan tidak peduli pada bajunya yang sulit digunakan bergerak bebas.
Aku berniat menghindar, tapi tidak sempat. Tendangan itu mengenai pinggangku dengan telak.
Aku jatuh tersungkur ke samping menjatuhkan meja dan kursi.
Beberapa teriakan dari pengunjung lain terdengar.
Suasana ini menjadi semakin rusuh.
Rendra, Adi dan Reno berusaha menahan tangan dan tubuh orang itu. Tapi orang itu masih memberontak dengan kakinya.
"Arga, kamu gak apa-apa?" Nana bertanya dengan khawatir.
Aku mengusap kepalaku yang terasa sakit, mungkin aku terbentur sesuatu.
Aku merasakan sesuatu yang basah, ketika kulihat tanganku, itu sudah dicat dalam warna merah yang pekat.
"Astaga, kepala kamu berdarah. Sebaiknya kita cepat pergi dan mengobati lukamu itu"
Para pegawai kafe menghampiri dengan cepat, dan memahami situasinya.
Mereka segera mengusir waria itu dengan paksa.
"Mbak, kita punya kotak P3K dan perban di belakang. Sebaiknya teman Mbak segera diobati"
Aku bersyukur pegawai kafe itu cukup baik. Sementara aku dibawa pergi Nana untuk diobati, Rendra dan yang lainnya bantu beresin kerusakan kafe dan bantu menata kembali meja dan kursi yang berantakan.
"Duh, kamu kok nekat banget sih. Kamu kan gak pandai olahraga, apalagi bela diri"
Nana terlihat marah untuk suatu alasan.
Aku tidak bisa membantah itu. Nana membersihkan lukaku dengan kapas dan antiseptik dan mulai membalutnya dengan perban.
"Maaf"
Nana menghela nafas, permintaan maafku sepertinya sedikit sulit diterima.
"Bukannya aku marah atau apa, tapi aku gak suka kamu sampai terluka seperti ini" bentak Nana dengan nada tinggi.
"Juga... Em... Makasih" gumam Nana dengan lirih.
"Barusan kamu bilang apa?"
"Bukan apa-apa kok" tolak Nana dengan wajah yang tersipu malu.
Aku menghela nafas, dan bergumam pelan. "Aku menyukai saat bisa berdua bersamamu seperti ini. Andai saja saat ini bisa berlangsung lebih lama"
"Eh?"
... Eh?
Apa aku berbicara cukup keras!?