Aku melewati gerbang dan berhenti di depan pintu rumah Nana.
Aku hanya berdiri, ragu untuk mengetuk pintu atau membunyikan bell. Terlebih lagi, aku ragu apakah akan dimaafkan.
...
Aku membenamkan diri di tempat tidur. Air mata tidak berhenti membasahi bantalku.
Perasaan ini menyakitkan. Kenapa kamu harus bersama dengan temanku sendiri?
Aku ingin melupakanmu, tapi kenangan indah bersamamu terus terulang dalam pikiranku.
Bahkan jika banyak orang membenciku, itu tidak apa-apa. Aku hanya ingin selalu bersamamu.
Apakah aku salah berharap seperti itu?
Kenapa?
Kenapa...
Uuuh, kenapa aku harus jatuh cinta jika hanya untuk sakit hati pada akhirnya?
Aku hanya ingin dicintai, kenapa begitu sulit!?
Kenangan ini menyeretku lebih kepada kesedihan yang lebih dalam.
"Nana, kenapa kamu menangis?"
"Hiks... Kakak, aku... Aku-"
Aku menangis keras dalam pelukan kakakku.
Kakak mengusap rambutku dengan lembut, berusaha membuatku merasa nyaman.
"Ceritakan padaku, aku akan mengurus masalah ini"
Aku menceritakan semua kepada kak Nina. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, kali ini aku ingin bergantung pada kak Nina.
"Sudah, sudah. Berhentilah menangis, biar aku yang mengurus hal ini. Kamu tidur saja, ini sudah malam"
"Um," aku menurut dan berusaha untuk tidur meski pemikiran yang menyesakkan dada terus menghantui pikiranku.
Kakak mematikan lampu kamar dan segera pergi setelah menutup pintu.
"Klung..."
Aku mendengar suara bell rumah. Siapa yang datang malam begini?
Ayah masih di luar kota, dan ibu masih berada di Jepang. Mungkin paman?
Tidak, paman selalu mengabari jika hendak berkunjung.
Aku memutuskan untuk berhenti peduli dan menyerahkannya pada kakak.
...
Aku menunggu dengan gugup, sudah beberapa saat setelah aku membunyikan bell, tapi tidak ada orang yang membukakan pintu.
Tidak lama, aku mendengar suara langkah kaki dari balik pintu.
Pintu dibuka, itu seorang wanita yang datang. Umurnya mungkin sedikit lebih tua dariku.
Dia memiliki wajah yang cantik dan kulit yang putih. Mengenakan kaos tipis dan celana panjang.
Bajunya membuatku salah fokus. Terlalu banyak garis tubuh yang diperlihatkan dengan jelas.
"Siapa?"
"Saya Arga, teman sekelasnya Nana. Saya kesini mau ketemu Nana"
Saat aku memperkenalkan diri, dia menatap tajam padaku. Tatapan yang tidak menyenangkan.
"Yaudah, masuk dulu"
Aku masuk dan duduk dengan wanita itu di ruang tamu.
"Nana lagi tidur, jadi gak bisa ketemu. Ada urusan apa memang?"
"Saya pengen meminta maaf ke Nana"
"Maaf? Kenapa?"
"Jadi..."
Aku menceritakan bagaimana awal mula terjadinya salah paham ini. Mulai dari masalah sepatu baru sampai ketemu Nana waktu aku pergi dengan Rena.
Setelah penjelasan, wanita itu mendangku dengan aneh sekaligus heran.
Yah, aku setuju bahwa sangat aneh untuk menimbulkan keributan satu sekolah hanya karena sepatu baru.
"Ok, jadi intinya cuma salah paham?"
"Benar"
"Kamu gak ada perasaan khusus dengan yang namanya Rena itu?"
"Gak ada"
"Serius?"
"..."
Akan bohong kalau aku bilang tidak ada sama sekali. Memang ada sedikit rasa tertarik, itu normal sebagai laki-laki. Tapi bukan berarti aku menyukai Rena.
"Ok, kalau gitu, kamu sama Nana harus pacaran"
Hah?
Eh, tunggu, aku memang niatnya gitu. Tapi ya bukan sekarang juga! Hatiku belum siap!
Duh gusti, musti gimana ini?
"Ta-tapi..."
"Gak ada tapi tapian. Udah maju dulu, lagian kamu emang suka Nana kan?"
"Iya sih"
"Yaudah, apa masalahnya?
Ok, aku tidak bisa menang dalam debat ini.
...
Uuhh... Sudah kuduga. Susah banget tidur kalau lagi sedih.
"Tok tok tok"
Aku mendengar suara ketukan pintu.
"Nana, kamu udah tidur belum? Di depan ada abang penjual nasi goreng, kamu mau gak?"
"Mau kak! Yang pedas"
"Ok, nanti biar diantar ke kamarmu ya. Kakak mau pesan dulu"
Pas banget lagi lapar. Pas sedih enaknya makan, tapi tumben ada penjual nasi goreng lewat depan rumah. Biasa abang penjual bakso yang lewat.
Aku menyalakan lampu sambil nunggu.
Tak lama kemudian pintu kamarku kembali diketuk.
"Bawa masuk aja, pintunya gak dikunci kok"
Pintu dibuka, aku terkejut melihat orang yang datang.
Itu Arga sambil membawa sepiring nasi goreng yang masih hangat di tangannya.
Begitu melihatnya, aku refleks melempar bantal dan guling padanya.
"Eeh! Tunggu, aku lagi bawa makanan ini"
"Apaan sih! Kenapa kamu disini?"
"Aku nganterin ini loh"
Aku tidak menggubris ucapan Arga dan terus melemparkan bantal padanya. Tapi berhasil dihindari dengan menggerakkan tubuh bagian atasnya.
"Iih... Kenapa menghindar?"
"Ini lagi bawa makanan loh, kalau jatuh mana bisa dimakan"
Aku berniat melempar bantal lagi, tapi semua sudah kulempar.
"Nah tenang dulu, ok. Aku gak akan macam macam sama kamu"
Aku memilih diam dan mengabaikan. Aku masih merasa sebal sama Arga.
Aku duduk diatas tempat tidur sambil menyilangkan tangan.
"Masih marah ya? Aku kesini mau meluruskan sesuatu, kamu sedikit salah paham"
"Sebenarnya..."
Arga mulai bercerita panjang lebar, aku hanya menyimak ceritanya.
Aku berusaha menahan senyuman di wajahku saat Arga menceritakan kejadian lucu yang dia alami.
Harga diri lah! Aku masih ingin terlihat marah sedikit lebih lama, meskipun sedikit sulit menahan tawa.
Tapi aku juga marah, Arga tidak membalas pesanku hanya karena bersembunyi di toilet perempuan.
Lagian, kenapa harus di toilet perempuan sih?
"Jadi gitu kejadiannya. Udahan dong marahnya, nanti cantiknya hilang loh"
(Dalam hati Arga : "Mau marah atau senyum, Nana masih cantik aja")
"Nih makan dulu"
Aku menerima sepiring nasi goreng. Kemarahanku tidak bisa menandingi rasa laparku.
Aku makan dengan lahap, Arga duduk di sampingku melihatku makan.
Aku merasa tidak enak karena makan sendiri. Aku menyodorkan sesendok nasi goreng pada Arga.
"Eh, boleh?"
Aku mengangguk pelan tanpa mengatakan apapun.
Akhirnya kami makan sepiring berdua, menikmati rasa nasi goreng pedas gurih yang masih hangat.
Rasa bumbu yang pas, suwir ayam goreng yang gurih dan rasa pedas yang memikat, ditambah kerupuk udang kecil. Rasanya sungguh nikmat dimakan bersama orang yang dicintai.
Aku hampir melupakan semua kesedihanku.
Setelah makan dan minum segelas susu hangat, Arga banyak menceritakan hal lucu padaku, berusaha membuatku tersenyum.
Tapi aku merasa begitu tersiksa karena berusaha menahan tawa, aku sudah mulai tidak tahan dan akhirnya tertawa lepas.
"Nana, sebenarnya aku..."
Sebelum Arga menyelesaikan kalimatnya, aku menempelkan telunjuk pada mulutnya sambil tersenyum.
"Jangan dulu, aku khawatir nanti jadi sedih lagi setelah mendengarnya. Jadi, tolong tunggu hatiku siap"
Yah, aku sudah cukup bahagia dengan keadaan saat ini. Aku belum ingin menangis lagi.
Tapi Arga tidak berniat untuk berhenti, dia meraih tanganku dan menggenggam dengan erat.
"Nana, aku suka sama kamu sejak lama. Aku gak punya cukup keberanian untuk bilang selama ini, tapi kali ini aku bisa bilang dengan jelas. Aku suka sama kamu"
Eeeeeeeh!? Tu- eh?
Wajahku menjadi panas, aku berusaha memalingkan muka. Aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi!
Tuhan, tolong kuatkan hatiku untuk membalasnya.
"Ciyeee ada yang bilang cinta nih..."
Aku bisa melihat kakakku mengintip dari balik pintu dengan senyum lebar di wajahnya.
"Aku... Aku juga suka sama kamu"
Arga menampilkan senyum penuh kebahagiaan.
"Jadi... Aku diterima?"
"Um," aku mengangguk dengan senyum malu malu.
Aku sangat bahagia sampai bingung harus berbuat apa. Genggaman tangan Arga semakin erat. Tangannya yang begitu hangat dan nyaman, aku mungkin tidak akan pernah melupakan perasaan ini.
Arga berusaha mendekat padaku dan berusaha memelukku, tapi di hentikan oleh kak Nina.
"Eits... Belum muhrim kok sudah main peluk? Nikah dulu baru boleh"
Hari ini, tanggal 17 Juli, aku mulai menjalin hubungan dengan Arga.