Chereads / Masa Muda di Sekolah / Chapter 10 - Panik! Panik!

Chapter 10 - Panik! Panik!

Pagi ini rumahku dipenuhi dengan keributan.

"Coba cek barangnya dulu!"

"Bi Inem, koperku mana?"

Aku sangat sibuk mempersiapkan barang bawaan milikku. Tadi malam paman Iwan mengirimkan pesan yang begitu mendadak. Tujuan liburan kami adalah Bali, tapi semua ini keterlaluan! Jadwal keberangkatan kami adalah sore nanti! Kenapa begitu mendadak!

Paman Iwan meminta maaf berulang kali karena lupa memberitahu kami jadwal keberangkatan lebih awal. Rencananya kami akan menginap di hotel selama tiga hari, waktu yang cukup singkat, tapi kami memang tidak berniat menetap lebih lama.

Kami akan berangkat menggunakan mobil dan menyebrang laut menggunakan kapal. Ini akan menjadi sedikit sulit untukku karena aku sangat mudah mabuk laut. Memikirkan goncangan kapal saja sudah cukup untuk membuatku merasa pusing. Haruskah aku membawa obat anti mabuk?

Aku akan baik-baik saja jika tujuan perjalanan ini adalah pulau Madura karena ada jembatan Suramadu. Aku tidak akan bermasalah dengan mabuk laut, tapi kali ini kami harus naik kapal. Sebenarnya, kalau bisa aku ingin naik pesawat saja dibandingkan naik kapal. Tapi apa boleh buat, paman Iwan yang mengajak kami, jadi aku tidak punya hak untuk mengeluh. Selain itu, seluruh biaya perjalanan ini dibiayai penuh oleh paman Iwan.

Kurang baik apa lagi? Paman Iwan sangat baik dan dermawan menurutku. Aku menjadi semakin merasa tidak enak untuk menolak permintaan perjodohan ini. Andaikan paman Iwan adalah ayah dari Nana, aku sama sekali tidak akan keberatan menerima perjodohan. Tapi aku rasa itu sedikit tidak mungkin. Maksudku, memang benar bahwa paman Iwan memiliki istri orang Jepang dan memiliki dua anak, itu sangat pas dengan silsilah keluarga Nana. Tapi apakah kebetulan bisa begitu manis? Tidak, sangat banyak orang di dunia ini yang terkadang memiliki kemiripan dalam silsilah keluarga. Orang yang berdarah blasteran Jepang-Indonesia tidak hanya Nana saja.

"Den, ini kopernya"

"Makasih bi, taruh situ aja"

Aku memasukkan kedalam koper baju apa saja yang akan aku bawa. Ada kemeja, kaos, singlet, pakaian renang, celana jeans, celana pendek, dan seragam.

Tunggu, siapa yang memasukkan baju seragam kedalam koper?

Oh, itu aku sendiri. Terpaksa, aku kembali menggali susunan baju di dalam koper yang sudah tertata rapi, kemudian menata kembali setelah baju seragam dikeluarkan.

Sekarang, apa lagi yang perlu aku bawa? Oh benar, aku harus membeli obat anti mabuk.

Aku pergi keluar rumah dengan membawa motor menuju apotek terdekat, semoga mereka sudah buka.

...

Pagi ini aku sedikit terganggu karena melihat ayah uring-uringan. Berjalan kesana kemari dengan panik. Alasannya? Ayah masih harus menjemput Ibu dan Nenek di bandara Juanda.

"Nana, Nina, kalian jaga rumah. Ayah mau jemput ibu dan nenek kalian dulu"

Begitulah yang dikatakan ayah sebelum tancap gas pergi dengan mobil.

Aku sedikit mengerti kenapa ayah begitu panik. Bagaimana tidak, nenek dikenal sebagai pribadi yang keras dan disiplin. Ketika masih tinggal di Jepang, hampir setiap hari aku melihat nenek marah marah. Tapi semua begitu berbeda ketika datang pada ibu, kak Nina, dan aku. Nenek sangat menyayangi kami dan selalu bersikap lembut kepada kami. Hanya saja, aku mulai merasa kasihan kepada ayah karena harus selalu menerima kemarahan nenek.

Aku sedikit menyukai karakter dan sikap asli nenek yang selalu disembunyikan. Meskipun terlihat galak dan pemarah, sifat aslinya sangat lembut dan penyayang.

Dulu aku pernah melihat nenek begitu khawatir ketika ayah pergi bekerja sangat lama di Belanda dan jarang mengirimkan kabar.

"Dia sudah makan belum ya? Apakah uangnya cukup? Bagaimana kalau sampai kelaparan karena tidak punya uang?"

Aku tidak bisa menahan senyum ketika melihat nenek yang seperti itu. Mungkin itu yang disebut 'malu malu kucing' atau yang biasa orang sebut sebagai 'tsundere'. Aku sangat menyayangi sikap nenek yang seperti itu. Nenek hanya tidak mau jujur dengan dirinya sendiri.

Kakek pernah bercerita padaku beberapa kali tentang kisah cinta mereka ketika masih muda. Seringkali terjadi salah paham karena sikap nenek yang seperti itu. Tapi pada akhirnya aku selalu tertawa mendengar bagaimana cara nenek menyelesaikan kesalahpahaman itu dengan malu malu.

Dan mungkin karena garis keturunan, ibuku juga memiliki sifat yang sama seperti nenek. Aku sangat ingin mendengar kisah kehidupan yang menarik ini lebih banyak dan menulisnya dalam sebuah buku. Jika beruntung, mungkin akan ada orang yang mau menjadikannya Manga atau mungkin Anime, atau mungkin film. Ya, aku sangat menantikan hal itu.

Aku sangat ingin melihat bagaimana reaksi nenek ketika mengetahui kisah hidupnya dan sifat aslinya yang selama ini selalu ditutupi terbongkar.

Sayangnya, sejauh ini aku tidak memiliki sifat seperti itu, padahal mungkin kisah hidupku akan menjadi lebih menarik. Aku tidak tahu bagaimana dengan kak Nina, tapi aku berharap kakak memilikinya.

Rencananya, dalam liburan kali ini keluarga calon tunangan kak Nina juga akan ikut. Aku tidak tahu siapa lagi kali ini. Mungkin ini sudah yang keempat. Ya, kak Nina sudah menolak tiga calon sebelumnya. Calon pertama adalah seorang pria yang tampak berandalan dan playboy. Aku paling benci yang satu ini. Calon kedua adalah orang dari desa yang terlihat cukup polos, tapi sebenarnya sangat mesum, dia ketahuan beberapa kali hendak melecehkan kakak Nina, akhirnya dia dilaporkan dan ditangkap oleh polisi. Untunglah kakak tidak jadi bertunangan dengan orang itu.

Aku akui, tubuh kak Nina memang terlihat lebih 'menonjol' dalam banyak hal, dan itu juga diperkuat dengan wajahnya yang cantik dan sikapnya yang cukup dewasa. Tahun ini kak Nina sudah menginjak usia 23 tahun, selisih enam tahun denganku. Ayah dan ibu memutuskan untuk membiarkan kakak menikah terlebih dahulu dan memiliki keluarga lalu kak Nina bisa meneruskan bisnis ayah bersama suaminya.

Ada juga alasan lain, seperti ibu yang selalu merengek ingin menimang cucunya. Karena aku masih sangat muda dan masih SMA, aku tidak bisa memenuhi keinginan itu. Tapi kakak bisa karena sudah cukup umur untuk menikah kurasa.

Aku sendiri kurang menyukai ide perjodohan ini. Tidak ada cinta didalamnya, karena itu aku merasa kasihan kepada kakak. Aku pasti menolak jika dalam posisi itu, tapi kakak dengan sabar menurut dengan permintaan ibu. Dia lebih mementingkan keinginan ibu daripada keinginannya sendiri. Pilihan yang membuatku sedih.