Hari demi hari berlalu. Sudah seminggu, dua minggu, atau mungkin kurang dari sejak ia mulai berkenalan dengan luka--entah! ia tidak dapat memastikan waktu.
Sejauh ini keputusannya masih baik-baik saja, tapi sepertinya tidak untuk dirinya. Ia tahu bahwa hal ini hanya membodohinya, dan walau demikian perasaannya mengalahkan logikanya.
Bodoh? Gila? Haru tidak akan menyangkal semua itu. Tidak hanya membodohinya, bahkan membuatnya menjadi seorang pecundang. Sedikit keras kepala, namun tidak ada lagi yang namanya "memperhatikan Daiki".
Teman-temannya begitu dibuat keheranan, sebagian pula khawatir dengan tingkahnya hari-hari ini, sebab berdiam diri bukanlah Haru yang mereka kenal.
Terkadang, mereka menanyakan keadaannya. Bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja? yah bagaimana tidak? Ia tak seceria sebelumya; tak bersemangat seperti biasanya, dan "tidak apa-apa" selalu menjadi jawaban terbaiknya, seakan sudah kehabisan kosakata sebab tak banyak bicara, tapi hal itu malah semakin menunjukkan betapa terpuruknya ia saat ini.
Sebagian teman, ada yang mengaitkannya dengan patah hati, dan bukanlah sekedar opini belaka. Hari-hari ini dia berusaha keras untuk menganggap semuanya baik-baik saja; berusaha untuk melupakan semuanya, bahkan tak ingin beranjak dari kelas agar tidak berjumpa dengannya sewaktu-waktu. Akan tetapi, perasaan tetaplah perasaan, menahannya hanyalah sebuah kesia-siaan; semakin membuatnya tersiksa, seakan rasa di dadanya merangkak ke kerongkongannya.
*****
Pagi ini, Haru masih pada tingkah yang sama. Berdiam diri sembari memandang keluar di jendela kelas. Matanya terus saja memandangi para wanita yang asyik mengobrol di luar sana, tetapi sama sekali tidak mempunyai pemikiran mengenai hal itu sebab diluar kesadarannya.
Saat ini, di pikirkannya hanyalah Daiki. Apa yang ia lakukan saat ini? Apakah ia baik-baik saja? Selalu terbersit di hatinya. Membayangkan jikalau suatu saat ia dapat menyatakan perasaannya dan dapat menjalin hubungan dengannya, selalu ia pikirkan, sampai senyum tipis terhias di raut wajahnya, tetapi, juga menggerutu jikalau mengingat kejadian tempoh hari.
Trrr trrr trrr
Bel masuk menyadarkannya dari lamunan. Ia sedikit terkejut akan nyaringnya bunyi dari bel tersebut, dan membuatnya menghela napas panjang. Ia memandangi sekitarnya; memandangi teman-temannya yang sedang menyiapkan peralatan belajar.
"Sudah masuk ya...?" Berbisik pada diri sendiri.
Setelah bel bernunyi, para siswa masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Para guru juga sudah bersiap dengan materi yang akan dibawakan. Namun, berbeda dengan Haru kali ini, ia lebih memilih untuk tidak mengikuti pelajaran pertama.
"Youichi? Hei, kau mau kemana? Pelajaran akan segera dimulai" Tanya ketua kelas.
"Hoaaaammm…ngantuk. Aku mau tidur..." jawabnya dengan wajah mulas, lalu segera pergi meninggalkan kelas.
Teman-temanya hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkahnya. Mereka tak mampu berbuat apa-apa, sebab mereka tahu kalau saat ini ia mempunyai masalah yang benar-benar serius. Bahkan lebih serius dari sekedar hubungan asmara. Sekarang asumsi mereka juga semakin dilebih-lebihkan.
Haru pun beranjak naik ke atap gedung sekolah. Ia bermaksud untuk merileksasikan diri; berharap udara segar akan membuka jalan atas permasalahnya saat ini. Sedikit membual, namun lebih baik daripada harus berada di dalam kelas.
Sesampainnya di atap…
"Eh!" Napasnya tersentak, diikuti dengan kakinya yang juga berhenti melangkah.
Seakan tak percaya, ia berusaha untuk meyakinkan diri sendiri bahwa ilusi telah menyebabkan halusinasi. Jika bukan, mungkin sekedar fatamorgana sebab teriknya matahari.
Haru masih berusaha berpikir logis walau terdengar tak masuk akal. Ia tak ingin membenarkan suatu keyakinan di dalam dirinya bahwa orang itu benar-benar dia. Namun, sekali lagi perasaannya mengalahkan segalanya.
Maksud hati, memang ia tak ingin larut ke dalam perasaannya sendiri, akan tetapi dengan hanya memandang punggungnya saja, semua menjadi bualan semata.
Saat ini, jantungnya memompa tak semestinya hingga membuat pacuan di dada nya; darahnya seakan mengalir berlawanan, dan membuat tubuhnya lebih hangat dari sebelumnya. Ia mencengkram dadanya sembari memandangi orang yang belum menyadari kehadirannya. Ada yang aneh dengan tubuhnya. Semuanya terasa tak begitu normal; tak bekerja semestinya. Jantung, paru-paru, dan juga darahnya.
Aku mencintainya? Tidak! Aku membenci orang itu! Dua hal di dalam dirinya saling beradu untuk sebuah keyakinan. Sampai ia tertegun pada suatu keyakinan yang pasti, yaitu ia tak mencintainya melainkan begitu mencintainya.
Haru menghela napas panjang, dan mulai mengatur napasnya untuk mengurangi rasa gugup.
"Yo" sapanya.
"A-apa?! Apa-apaan "yo"?" Memaki dirinya dalam hati.
Ia seharusnya tak menyapa dengan "yo". Akan lebih baik jika "hai" atau "halo" atau mungkin "hai, apa kabar?" untuk menanyakan keadaannya. Pikirnya. Bertemu dengannya benar-benar membuatnya gugup hingga lupa bagaimana cara menyapa seorang teman. Teman? Yah untuk seseorang yang tidak mengetahui perasaannya selama ini.
Sayangnya, orang itu tidak mempedulikannya sama sekali. Dengan sikap dinginnya, dia hanya berbalik sejenak untuk mengetahui siapa yang menyapanya, lalu kembali mengamati pemandangan yang ada di hadapannya.
Haru kembali menghela napas, dan mulai melangkahkan kakinya. Ia memberanikan diri untuk berdiri disampingnya, walau ia tahu akan menambah rasa gugupnya.
"Hmm…kau pasti Daiki, kan? Takayashi Daiki, kan?" Tanya Haru sambil menoleh ke arahnya.
Ia berusaha untuk tetap tenang; berusaha untuk terlihat normal. Sangat sulit. Namun, Ia tak mungkin memperlihatkan hal memalukan seperti itu di hadapan Daiki.
Kali ini Daiki berbalik memandanginya dengan tatapan dingin, khas miliknya.
"...Dan kau pasti Youichi, kan? Youichi Haruhiko" Tanyanya. Masih pada sikap dinginnya.
"Heh? Bagaimana kau tau?" Tanya Haru dengan perasaannya yang begitu ingin tahu.
"Tch!" Umpat Daiki.
"Tch? Apa maksudmu 'Tch'?" Tanya Haru.
Entah apa maksud dari 'tch'. Ungkapan itu seakan sedang mempermainkannya. Kesal? Mungkin, tapi mungkin juga tidak.
"Siapa yang tak kenal denganmu di sekolah ini?...'Si Prince'..." Ujar Daiki.
Ini sedikit mengejutkan. Ia tak menyangka bahwa ujaran seperti itu akan diutarakan oleh Daiki. Ia juga tahu bahwa Daiki bermaksud mengolok-oloknya, dan sikap dingin itu hampir saja mengelabuinya.
"Ternyata aku cukup terkenal juga, ya?" Tanya Haru agar Daiki mengakuinya.
Hal itu membuatnya nyengir. Ia bermaksud untuk membuat lelucon, walau ia tahu bahwa mereka mempunyai selera humor yang berbeda.
Dan benar saja. Daiki tentu tidak menghiraukannya. Bisa dipastikan, dari Parasnya menunjukkan bahwa hal itu benar-benar tidaklah lucu.
"Aku yang seharusnya menanyaimu... " Kata Daiki sambil menoleh ke arahnya.
"Kenapa kau bisa tau namaku?" Lanjutnya dengan tatapan khas miliknya.
Pertanyaan ini benar-benar membuatnya begitu terkejut. Ia tak pernah menyangka akan diberi pertanyaan yang seakan memaksa untuk mengungkap perasaannya. ia pun terdiam sejenak untuk memberi jeda agar kepalanya bisa memikirkan sebuah jawaban pelarian.
"A-aku…aku…soal itu…" Haru terbata-bata, tak tahu hendak berkata apa, sedang kepalanya masih bekerja keras mencari jawabannya.
"Ah! Kau kan juga cukup terkenal di kalangan wanita... banyak temanku yang selalu membicarakanmu" Jawabnya. Sedikit kikuk.
Ia begitu lega karena bisa menemukan alasan yang tepat untuk pertanyaan yang hampir saja membuatnya mati rasa.
"Ya, kan, Daiki?" Lanjutnya.
Daiki terdiam untuk beberapa saat. Sampai ia menoleh ke arahnya, dan memandanginya dengan tajam. Jauh lebih tajam dari sebelumnya seakan membuat Haru bergidik. Akan tetapi, bukannya ketakutan, ia malah semakin terpesona ketika mengetahui bahwa si pemilik mata itu jauh lebih Indah dari dugaannya.
"Eh...oh ya kenapa kau disini? kau tak ingin ma--" Baru saja ia ingin mengalihkan pembicaraan, Daiki sudah memotong perkataannya.
"Jangan sok akrab denganku. Panggil aku Takayashi" Tegas Daiki, lalu pergi meninggalkannya.
Haru tertegun. Terdiam setelah mendengar suatu kebenaran. Hal itu salah dan ia mengetahuinya. Ia menatap Daiki yang semakin menjauh, dan semakin yakin bahwa dari lubuk hatinya, ia begitu ingin menjadi orang terdekatnya.
"Kau bisa memanggilku sesukamu!" Kata Haru, berteriak.
Entah apa yang ia pikirkan, mengatakan hal yang kemungkinan terabaikan. Ia tak tahu pasti, tetapi ia merasa bahwa ada hal baik yang sedang menanti.
"Baiklah. Sampah!" Balas Daiki, lalu menuruni tangga.
Ia dibuat terkejut oleh julukan barunya. Sampah? Itukah leluconnya? Entah bagaimana ia harus menanggapinya. Marah, kesal, atau kah perlu menertawakannya, dan sejujurnya, Haru tidaklah begitu mempedulikannya.
Ia begitu bahagia hari ini, terpancar dari raut wajahnya. Berbicara dengan Daiki saat ini, merupakan hal yang paling romantis baginya walau biasa-biasa saja. Asal berdua, tak bercumbu pun juga menyenangkan.
Gila? Iya. Haru tahu bahwa semua ini cukup gila, dan memang iya. Ia tergila-gila. Masa bodoh dengan janji. Keputusan hati.
Sepertinya, ia sudah sedikit mengerti tentang hal yang rumit itu. Cinta. Ia memang sudah terluka, sakit hati begitu luar biasanya, dan kehilangan akal sehatnya karena cinta. Namun, tanpa cinta ia tak akan sembuh dari luka.
Cinta memang bisa membuatmu merasakan sakit yang luar biasa, akan tetapi, cinta pula yang akan menjadi penawar untuk sakit yang luar biasa. Cinta akan membuatmu menangis, dan akan membuatmu terbahak; membuatmu gila, dan juga lebih waras. Jika kamu merasa sedih karena cinta, maka cinta akan memberimu kebahagiaan. Rumit? Cinta memamg begitu rumit untuk ditafsirkan oleh seorang seperti Haru.
Haru pun beranjak menuju kelas untuk masuk pada pelajaran kedua. Ia mengayun-ayunkan tanganya silih berganti seakan memenangkan sebuah lotere jutaan yen. Namun, hal ini tidak dapat di samakan dengan uang. Bahkan lebih berharga dari sekedar uang. Pikirnya.
Sepertinya ia sudah mendapatkan senyumnya kembali sebab salah-satu impiannya telah terwujud. Ya, berbicara dengan Daiki merupakan hal yang juga ia impikan.
*****
Trrrr trrr trrrr
Bel istirahat berbunyi. Haru pun beranjak, hendak menuju ke club-nya. Ia kembali memancarkan senyum terbaiknya, dan mulai menyapa orang-orang sekitarnya.
Ia begitu bersemangat siang ini. Teman-temannya juga menyadari hal itu, dan membuat mereka malah semakin keheranan. Bagaimana mungkin ia berubah secepat itu, seakan tidak pernah terjadi apa-apa? Beberapa teman memikirkan hal itu. Namun, mereka juga cukup lega sebab Haru begitu menyeramkan saat merenung.
Di tengah perjalanannya, ia tak sengaja melihat Daiki yang duduk di bawah jendela, di dekat tangga. Terlihat ia sedang memainkan ponselnya dengan buku ditangan yang lainnya, dan juga tampak sesekali tersenyum tipis, dan tertawa kecil. Melihat pemandangan seperti ini malah membuatnya mengurungkan niat untuk pergi ke tujuannya saat ini.
Haru pun segera menghentikan langkahnya sejenak. Ia tersenyum melihat sikap bermalas-malasan itu, kemudian melanjutkan langkahnya untuk menghampirinya.
"Yo" Panggil Haru yang semakin mendekat.
Ia sudah tak ragu-ragu. Pembicaraan sebelumnya, membuat Haru mulai terbiasa.
Daiki mengangkat kepalanya, dan melihatnya sekilas, lalu kembali tertunduk mengamati ponselnya.
"Yo, Daiki" Panggilnya sekali lagi setelah berada tepat di hadapannya.
Mendengar panggilan untuk kedua kalinya, Daiki pun menghentikan kegiatannya. Ia meletakkan bukunya di lantai, dan segera berdiri; menatap Haru yang tersenyum padanya.
Haru menunggu sepatah-dua-kata sebagai balasan sapaannya. Ia tersenyum, dan menatap kedua mata yang juga menatapnya itu.
"Apa?" Tanya Haru yang sedikit aneh dengan sikap Daiki yang terus menatapnya dengan tatapan yang kurang mengenakan.
Bukannya menjawab, Daiki malah menarik kerah baju Haru, lalu mendorongnya ke dinding, dan membuat Haru begitu terkejut.
"Sudah kukatakan! Jangan panggil aku dengan nama depanku!" Tegas Daiki dengan tangan yang masih mencengkeram kerah baju nya.
"Apa kau tuli?!" Lanjutnya dengan membentaknya lebih keras.
Haru benar-benar terkejut. Ia tak pernah menduga jika Daiki akan sekesal ini. Sebegitu bencinyakah dia, bilamana ada seseorang yang memanggilnya seperti itu? Padahal itu tidak akan merugikannya. Ia benar-benar tidak mengetahuinya.
Daiki pun melepaskan cengkramannya. Entah ia kelelahan atau karena kasihan melihat wajah Haru.
"Huft...m-maaf" Kata Haru sambil merapikan kerah bajunya.
Haru cukup terkejut. Ia pikir bahwa Daiki tak akan menanggapi hal seperti itu dengan begitu serius.
Ia tersenyum kepada Daiki yang masih memaraskan wajah kesalnya, dan seketika menyadari satu hal, yaitu ia begitu senang jika Daiki memarahinya; seperti bentuk perhatian. Pikirnya.
"Kau tau, aku lebih suka memanggilmu dengan nama itu" Lanjutnya dengan nada berbisik lembut di telinga Daiki.
"Kau gila!" Daiki segera mendorongnya agar menjauh.
Daiki pun berniat meninggalkannya, tetapi segera ia menggenggam lengannya untuk mencegah agar Daiki menghentikan langkahnya. Perlakuannya ini sunggu di luar kendalinya. Tangannya bergerak sendiri untuk melalukannya. Namun, sadar akan perlakuan nya, ia pun segera melepaskannya, lalu meminta maaf dengan segera.
"Dasar sampah..." Kata Daiki, lalu segera pergi.
Ini kedua kalinya Daiki menyebutnya sebagai sampah. Begitu tidak mengenakkan di telinganya. Ia benar-benar telah mempermainkannya. Akan tetapi, bukannya kesal, ia malah dibuat nyengir karenanya.
Ia terlalu bahagia untuk bersikap kesal. Jika dengan menamainya sebagai "sampah" dapat mengakrabkan diri dengannya, mengapa ia harus kesal? Lagi pula, hal itu hanya semacam lelucon baginya. Pikirnya.
Haru pun segera menyusul Daiki yang sudah agak menjauh. Ia menyentuh lengannya ketika berhasil menyusulnya, dan tentu saja membuat Daiki terkejut, lalu segera menoleh padanya.
"Kau harus menemaniku makan siang hari ini" Kata Haru sambil tersenyum pada Daiki yang masih tampak kesal itu.
"Kuanggap ini sebagai permintaan maafmu karena sudah menyebutku sampah untuk kedua kalinya" Lanjutnya.
Ia tidak kesal ataupun menyalahkan Daiki. Hanya saja, ia masih ingin berlama-lama dengannya. Banyak hal yang ingin ia ketahui tentangnya, dan menurutnya ini adalah awal yang baik untuk memulai sebuah hubungan yang lebih baik. Sebatas teman bukanlah masalah, tetapi ia akan terus berusaha.
Haru pun segera menarik pergelangan tangan Daiki. Ia tak peduli jika Daiki menolaknya, sebab ia akan tetap memaksanya, dan sepertinya tak ada perlawanan sama sekali. Mungkin karena perkataannya yang membuat ia merasa bersalah. Cukup mengherankan juga untuk seorang yang dingin sepertinya masih bisa merasa bersalah. Namun, ia hanya berasumsi; ia benar-benar tidak mengetahui sebab mengapa Daiki membiarkan dirinya.
*****
Sejak saat itu; sejak pertemuan mereka, hingga obrolan kecil yang biasa mereka lakukan, membuat kecanggungan di antara mereka berdua perlahan memudar. Bahkan mereka sudah tampak lebih akrab.
Haru tidak pernah menyangka akan hal yang sering ia lamunkan--berbicara dengan Daiki, dapat menjadi suatu hal yang nyata. Sekarang, ia tak perlu lagi masuk pada dunia fantasi agar dapat berbicara dengannya.
Suatu kebetulan yang baik untuk awal yang baik. Teman bukanlah masalah walau ia menginginkan lebih daripada itu. Ada saat dimana ia harus berani melangkah. Akan tetapi untuk sekarang ini, kedekatanlah yang paling utama.
*****