Chereads / DI ANTARA GEMINTANG / Chapter 25 - Waktu Seakan Berhenti, Hanya Detak Jantung Kami Yang berpacu

Chapter 25 - Waktu Seakan Berhenti, Hanya Detak Jantung Kami Yang berpacu

Sepeninggal bu Santi dan suaminya aku dan Ali segera menuju jalan setapak di sebelah pohon besar. Ali sudah menapakkan kakinya di atas jalan menurun yang curam itu, saat melihatku ragu untuk melangkah dia mengulurkan tangannya untuk membantuku tapi aku tak mengacuhkannya.

"Jalannya licin," gumamnya dengan tangan yang masih terulur kepadaku.

"Aku tahu!" sahutku ketus.

Sebenarnya aku sangat ingin menerima uluran tangannya tapi aku merasa gengsi. Rasanya aneh melihatnya menjadi begitu baik padaku padahal biasanya dia tak pernah mengacuhkanku. Biasanya dia akan tersenyum sinis saat melihatku dalam kesulitan, kadang dialah sengaja membuatku berada dalam kesulitan. Sikapnya yang tiba-tiba berubah itu membuatku merasakan desir aneh di dadaku.

"Oke, hati-hati, aku duluan," bukannya marah, Ali malah tersenyum lalu membalikkan badannya dan mulai melangkahkan kakinya sambil bersenandung.

Aku terpaku melihat punggung Ali yang semakin menjauh. Aku mulai menggerakan kakiku menuruni jalan setapak di bawahku dengan ragu. Aku merasa tak yakin untuk melewatinya. Jalan ini licin dan sangat berbahaya, tapi ini satu-satunya jalan tercepat menuju ke rumah-rumah di bawah.

Jalan setapak ini licin dan curam, aku memperkirakan ketinggiannya sekitar tiga hingga empat meter. Di sisi kanan jalan ini terdapat pohon-pohon sengon milik penduduk dengan ketinggian tanah yang sama dengan jalan setapak ini sementara di sisi kiri terdapat jurang yang sangat curam . Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi seandainya jatuh dari tempat ini.

Aku mulai turun dengan sangat hati-hati. Aku berpegangan pada rumput dan tanaman perdu yang ada di pinggir jalan setapak ini. Beberapa kali aku terpelesat karena jalan ini sangat licin membuatku merasa menyesal karena tadi mengabaikan Ali. Dalam hati aku tak berhenti melantunkan doa.

Aku berjalan dengan sangat lambat dan beberapa kali berhenti karena takut, aku melihat Ali berada tak jauh di bawahku karena sepertinya ia telah beberapa kali berhenti untuk mengawasiku. Aku sudah sampai separuh jalan saat kakiku kembali terpeleset, aku mencoba meraih rumput memegang apa saja yang bisa kuraih agar aku tak sampai jatuh. Aku berhasil meraih sebatang rumput sebagai pegangan sayangnya akar rumput itu tercerabut dan membuatku tidak bisa menyeimbangkan tubuh. Aku terpelanting, aku merasa tubuhku melayang. Aku memejamkan mata dan membayangkan tubuhku akan menimpa tanah dan batu-batu di bawahku membuat seluruh tubuhku bergetar.

Dug!

Aku merasakan benturan yang cukup keras di tubuhku. Aku merasa ada yang salah dengan benturan ini seperti bukan menimpa tanah atau bebatuan tapiii....

Aku membuka mataku dan melihat wajah Ali yang begitu dekat denganku, aku bisa melihat ada kelegaan di matanya. Satu tangannya memeluk tubuhku dan menahannya agar aku tidak jatuh menimpa bebatuan di bawah kami sedang tangannya yang lain berpengangan pada tanaman perdu di sebelahnya. Jarak wajah kami begitu dekat begitu dekat sehingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat di sekitar wajahku. Kami sama-sama berusaha menahan nafas dan bertatapan dalam waktu yang sangat lama, aku merasa pipiku menghangat, pasti saat ini warnanya telah berubah menjadi merah.

Aku merasa waktu seakan berhenti, hanya ada detak jantung kami yang saling berpacu dan aliran listrik yang terasa menyengat seluruh tubuhku. Entah berapa lama kami berada dalam keadaan itu hingga teriakan seseorang menyadarkan kami, Aku berusaha melepaskan diri dari Ali tapi aku kembali hampir terpeleset membuat Ali kembali meraihku.

"Kalian tidak apa-apa?"

Aku melihat seorang perempuan telah berdiri di ujung jalan ini di bawah sana, dia menatap kami dengan raut kuatir. Wajahku memerah, Ali segera melepas pelukannya dari tubuhku kemudian menuntunku menuruni jalan ini. Aku tidak menolak lagi karena tak mau kejadian aku jatuh tadi terulang lagi.

Sampai di bawah kami kemudian berkenalan ibu yang tadi berteriak tadi. Dia bernama ibu Astuti, biasa dipanggil bu Tutik, dialah yang tadi di telepon bu Santi untuk menemui kami dan membantu kami di sini.

"Tadi ibu lihat mbak Zie terjatuh, untungnya Mas Ali sigap jadi gak jatuh ke tanah. Ibu sudah ngeri tadi, takut Mbak Zie kenapa-napa," cerita bu Tutik saat kami menuju ke rumahnya.

Ali hanya tersenyum. Aku tersipu, pipiku memerah membayangkan kejadian tadi dan berfikir pasti bu Tutik melihat semuanya. Tapi tampaknya dia tak memperdulikan kerisauanku dia malah menyatakan kegembiraannya karena desanya digunakan sebagai lapangan praktek sehingga masyarakat bisa mendampatkan pengetahuan tentang kesehatan.

***