hirnya kami benar-benar pamit dan meninggalkan rumah keluarga Bu Tutik dan suaminya, aku tak habis pikir ada orang yang begitu baik meminjamkan kendaraan pada orang yang bahkan baru dikenalnya. Ali melajukan motor yang dikendarainya dengan tidak tergesa-gesa, aku duduk dengan canggung di belakang Ali dan menjaga jarak agar tubuhku tak menyentuh punggungnya.
Aroma maskulin yang sejak tadi samar tercium hidungku sejak kami keluar dari rumah Mak Ijah, kini terasa semakin jelas di indra penciumanku membuat debar jantungku makin kencang. Rasanya aku suka sikap Ali yang biasanya cuek dan dingin kepadaku karena akan membuatku tak akan merasa canggung saat bersamanya.
Meski jalan yang kami lalui hanya jalan setapak selebar pematang sawah, untungnya Ali cukup lihai mengemudikan kendaraannya. Jaalan yang kami lalui cukup landai sehingga aku tak perlu bersusah payah agar tubuhku tak terdorong maju sehingga menyentuh tubuhnya. Tak ada percakapan dalam perjalanan ini karena kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ali tampak berkonsentrasi dengan jalan yang kami lalui.
Sebenarnya kalau kami kembali melalui jalan yang curam tadi dari rumah bu Tutik sampai rumah mak Ijah mungkin akan butuh waktu sekitar tiga puluh hingga empat puluh lima menit dengan jalan kaki tapi kalau lewat jalan sini hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit tapi pakai motor, kalau jalan kaki jelas butuh waktu lebih lama lagi. Kebetulan orang-orang yang rumahnya berada di sekitar rumah bu Tutik mempunyai sepeda motor sehingga memudahkan mereka untuk lewat jalan ini meski harus memutar jauh.
Sepanjang perjalanan aku berusaha meredam bunyi jantungku yang berdetak lebih cepat dari biasanya dengan menghirup nafas panjang dan mengeluarkannya sangat pelan. Aku berharap Ali tak mendengar detak jantungku yang bertingkah dan untungnya dia tak cerewet seperti biasanya ketika dia menyindirku.
Suara adzan ashar sayup-sayup terdengar tak lama setelah kami meninggalkan rumah bu Tutik. Ali menghentikan motor yang kami tumpangi saat melihat sebuah dangau yang tak jauh dari jalan yang kami lewati. Ada tempat yang cukup lebar bagi Ali untuk memarkir sepeda motornya di sekitar dangau sehingga tak mengganggu pengendara lain yang mungkin lewat.
Ali segera turun dan menuju pancuran kecil yang ada tak jauh dari dangau. Aku pikir dia mau buang air kecil karena itu aku mengalihkan pandanganku pada panorama indah yang terbentang sepanjang jalan ini. Aku bisa melihat horizon yang begitu cantik, mengambil beberapa foto sambil melakukan selfie.
"Zie," panggilnya setelah beberapa saat.
Aku menoleh, mungkin Ali selesai dengan hajatnya, Aku membalikkan tubuh dan melihatnya sedang berjalan menuju dangau. Butir-butir air menetes dari wajahnya memancarkan pesona tersendiri.
Aku terpana menatapnya.
"Kamu gak sholat?" tanyanya sambil melangkah menaiki tangga menuju dangau. Ali tersenyum saat mata kami bertemu. Sampai di atas dangau dia mengeluarkan sesuatu dari ranselnya, sebuah sajadah! Aku tak menyangka dia selalu membawa barang itu kemanapun dia pergi.
"Aku sedang halangan,"
"Oke, kamu tunggu sebentar, kamu sholat dulu," Ali tersenyum dan mulai menggelar sajadahnya.
Aku terpaku menyaksikan ketika dia mulai melakukan sholat ashar, meski sering mendengarnya tapi melihatnya langsung melakukan ibadah membuat perasaanku bergetar.
Tiba-tiba ponselku berdering membuatku mengalihkan tatapanku pada sosok Ali yang tengah bersujud.Aku tersenyum saat menemukan nama Harsya di layar ponselku dan segera mengangkatnya.
"Halo....,"
(Halo, sayang.. Lagi ngapain?) suara merdu Harsya memenuhi gendang telingaku.
"Hehe.."
(Kok ketawa?)
"Baru saja selesai pendataan, ini mau pulang."
(Pendataannya sama siapa?)
"Ali."
(Dia gak ngajak kamu ribut, kan?)
Aku tertawa, Harsya pasti hapal kalau Aku dan Ali selalu ribut karena aku selalu cerita kepadanya apa yang terjadi antara aku dan Ali.
"Tenang saja! Dia sudah jinak, kok."
(Hehe, kamu apain?)
"Aku ikat pakai tali!" Aku tertawa membayangkannya." eh, nggak, dong! Di depan masyarakat masak kita mau berantem, gak enak. Sudah selesai, kok."
Harsya tertawa.
(Di mana Ali? Kok ga kedengaran suaranya?)
"Lagi sholat."
(Wah, aku malah belum ini. Oke Zie, semangat ya. Aku masih di jalan ini. Sudah dulu, ya
Dah, sayang..)
" Daah..."
Aku kembali menatap Ali yang sedang menjalankan sholat dengan khusyuk. Aku mengarahkan kamera ponselku ke dangau, mengambil beberapa fotonya dalam berbagai gerakan. Dadaku terasa berdesir.
Aku membuka grup chat yang sudah menumpuk. Yang grup desa sudah mulai membicarakan masalah tabulasi data, sedang grup dusun menanyakan keberadaanku dengan Ali.
(Lagi pacaran, jangan ganggu!) seseorang menulis itu di grup, aku tak tahu siapa karena aku menyimpan nomornya.
Aku segera menatap ke arah dangau saat menyadari kalau satu-satunya nomor telpon yang tidak ku simpan adalah milik Ali. Aku melihatnya tengah tersenyum menatap ponselnya.
***