"Kalian memang pasangan yang serasi, pasti senang ya dapat tempat praktek satu lokasi jadi bisa sambil pacaran." kata suami bu Tutik sambil menepuk-nepuk bahu Ali membuat wajah cowok itu memerah.
Aku lebih tersipu lagi, wajahku terasa panas dan warnanya pasti lebih merah dari wajah Ali. Kami hanya tersenyum malu tak tahu bagaimana mau harus mengelaknya.
"Sebentar!" kata suami bu Tutik saat kami hendak melangkah. Ia masuk ke dalam garasi dan keluar lagi dengan sebuah sepeda motor."Kalian pakai ini saja! Kalau jalan nanti kelamaan"
"Pak...,"
"Gak apa-apa, pake saja selama kalian di sini. Ini punya anak pertama bapak, cuma dipakai kalau dia pas pulang saja."
"Iya, dipakai saja," bu Tutik tersenyum di sisi suaminya
Kami hanya melongo mendapat kebaikan suami istri itu, suara dering panggilan dari ponsel Ali terdengar menyadarkan kami.
" Ya?"
(Sudah selesai belum pendataannya? Kita sudah mau selesai tabulasi,) sepertinya suara Ria yang ada di ujung panggilan, Ali membesarkan volume suaranya sehingga aku bisa mendengarnya walau agak samar.
"Sudah, ini mau pulang, kenapa? Sudah kangen, ya? Baru saja ditinggal sebentar!" Ali tertawa, matanya menatap ke arahku.
Bu Tutik sudah masuk ke dalam rumah karena salah seorang anaknya menangis sementara suaminya tengah menghidupkan motor agak jauh dari tempat kami berdiri.
(Kangen? Ih, sorry, ya! Airin kali yang kangen sama kamu, nich dari tadi nanyain terus)
"Hahaha,"
(Eh, si Zie enggak kamu apa-apain, kan? Awas kalau kamu sampai ngebully si Zie!) ancam Ria.
"Aku bully dia? Ya nggak, lah. Biasanya juga dia yang bully aku," jawab Ali santai, matanya mengarah kepadaku lagi. Aku mendelik dan segera mencubitnya.
"Nich, dia baru saja nyubit aku. Wah, ternyata kalau gak ada orang Zie lebih ganas sama aku! Sekarang dia malah mukul bahu aku." Kata Ali sambil menanakap tangan kananku yang hendak memukul bahunya. Tangan kiriku bergerak dengan cepat mematikan panggilan dari Ria.
Pak Irman, Suami bu Tutik mendekati kami dengan terkekeh melihat tingkah kami, dia menyerahkan kunci motor pada Ali.
"Biasa, Pak. Dia cemburu kalau ada cewek yang nelpon," Ali tersenyum sambil menjawab saat Pak Irman menanyakannya. Dia pasti melihat saat aku mematikanpanggilan di ponsel milik Ali.
Aku mendelik. Dia bilang aku cemburu saat dia dapat telpon dari cewek? Yang benar saja!
"Dulu Ibu juga sering begitu, dia bisa marah seharian kalau ada perempuan yang mendekati Bapak, hahaha!" kedua lelaki itu tertawa, "tapi bapak tahu, dia marah itu berarti dia memang cinta sama bapak,"
"Iya, Pak. Dia cuma malu mengakuinya, " Ali terkekeh saat melihat wajahku yang semakin gelap.
Pak Irman membenarkan pernyataan Ali, kedua pria itu tersenyum penuh arti.
"Sudah semakin sore, Pak. Kami pamit dulu karena kami harus mengolah data kami, terimakasih pinjaman sepeda motornya." Ali pamit pada Pak Irman, dia juga pamit pada Bu Tutik yang baru saja keluar dari dalam rumah.
Aku juga pamit pada keduanya, Bu Tutik menyerahkan sebuah tas kresek warna hitam dan memaksaku untuk menerimanya. Aku mengucap terima kasih menerima kresek hitam dari Bu Tutik. Setelah menyalami sepasang suami istri itu kami segera menuju sepeda motor yang sudah disiapkan Pak Irman untuk kami pakai.
Aku terkejut saat Ali menggandengku menuju sepeda motor berada dua meter di depan kami, aking terkejutnya aku bahkan tak melepaskan genggamannya di tanganku.
Ali melepas genggamannya dan menaiki sepeda motor itu dan menyuruhku untuk segera naik juga. Ali memindah ransel di punggungnya ke dadanya. Perlahan aku menaiki sepeda motor itu dan duduk di atas jok di belakang Ali. Aku merasa kurang nyaman karena posisi jok yang belakang lebih tinggi yang membuatku jadi lebih mendekat ke tubuh Ali, membuat dadaku seketika berdebar kencang.