Chereads / Dikala Cinta Menyapa / Chapter 7 - Bab 7 ( Calon Tunangan - Bryan Ardiora )

Chapter 7 - Bab 7 ( Calon Tunangan - Bryan Ardiora )

Kakek duduk dengan raut wajah yang serius menatap ke arah Monica. Sementara Monica hanya bisa terpaku di tempat. Ia mencoba mencerna situasi yang sedang terjadi ini. ia menatap Kakek dan pria yang ada di sampingnya itu secara bergantian.

Apa-apaan ini? Kenapa ia kembali ke sini? Bukankah ini adalah ruangan tempat Kakeknya seharusnya bertemu dengan laki-laki yang akan ditunangkan dengannya?

Lantas mengapa pria asing ini bisa secara kebetulan dan acak membawanya kemari? Ke tempat dimana seharusnya Monica tidak berada. Sekaligus tempat dimana ia seharusnya kabur.

Monica menyentuh keningnya yang mendadak terasa berat.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya menuntut penjelasan. Ia sekali lagi menatap Kakek dan pria itu secara bergantian.

"Laki-laki yang membawamu kemari adalah Bryan. Bryan Ardiora Lomus. Calon tunanganmu," jelas Kakek dengan singkat tapi cukup berhasil membuat Monica terperangah

"Apa? Dia orang yang akan ditunangkan denganku?" tanya Monica tak percaya.

Apa yang baru saja dikatakan Kakek jelas sangat tidak bisa ia terima. Bagaimana mungkin pria ini adalah calon tunangannya? Jadi sejak awal, pria ini sudah mengenal Monica.

Dan dia sengaja tidak mengatakan apapun padanya dan terus saja membawa Monica kemari?

Jadi dia bekerja sama dengan Kakek untuk mengelabuinya? Monica benar-benar merasa tertipu.

Seolah bisa membaca pikiran Monica, laki-laki itu berkata, "Kau tidak pernah bertanya padaku. Jadi jangan salahkan aku, kau baru mengetahuinya sekarang."

Monica tak bisa berkata-kata. Walaupun ia tahu itu adalah jawaban yang benar dan masuk akal. Tapi baginya itu jelas tidak bisa dianggap benar. Ia menatap pria itu dengan sinis.

Pria ini jelas sengaja.

"Duduk dan tenanglah," seru Kakek sambil menyeruput minumannya.

Pandangan Monica beralih ke Kakek, "Tenang? Darimana aku bisa tenang. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menyetujui perjodohan ini. Karena itu, Kakek tidak bisa memaksaku!"

Kakek langsung memberi bantahan.

"Suka ataupun tidak kau harus menerimanya. Kakek sudah memilihkan pria terbaik untukmu. Dan dia adalah Bryan. Tidak hanya cakap secara fisik, tapi dia juga sangat pintar. Bryan adalah lulusan terbaik di akademi Oxford University. Kemampuannya berada di atas rata-rata. Dan kau harusnya berbangga diri karena dia bersedia ditunangkan denganmu," balas Kakek yang malah membanggakan oranglain dan bukan cucunya sendiri.

Monica tersenyum kecut.

"Aku tidak peduli. Mau dia pintar, cerdas atau apapun itu aku tidak akan peduli. Perusahaan kita tidak sedang membutuhkan karyawan dengan IQ yang melambung tinggi. Dan kita juga tidak sedang membicarakan ujian ataupun kompetisi. Karena itu, tidak peduli seberapapun pintar dan cerdasnya, pria pilihan Kakek, aku tidak akan pernah merubah keputusanku. Aku tidak menyukainya bahkan saat pertama kali kami bertemu," Monica membalas dengan penuh keyakinan. Bryan menatapnya sejenak. Tapi Monica mengabaikannya.

"Kau hanya bertemu dengannya sekali. Darimana kau bisa menyimpulkan bahwa kau tidak menyukainya?" seru Kakek masih tidak menerima ucapan Monica.

"Kakek, tolong jangan mempersulit keadaanku. Saat ini aku sedang tidak ingin bertunangan atau berbuhungan dengan siapapun. Aku-ingin-sendiri. Jadi tolong… tolong mengertilah," pinta Monica dengan sangat.

Ia tak berharap banyak dari Kakeknya. Tapi ia ingin Kakeknya bisa setidaknya memahami kondisinya saat ini. Ia baru saja patah hati. Dan jelas Kakeknya tahu akan hal itu. Jadi sangat tidak mungkin untuknya berpaling ke lain hati semudah membalikkan telapak tangan. Ia benar-benar butuh sendiri.

Kakek tetap menatapnya dengan dingin. Sama sekali tidak mau mendengar dan mengerti apapun. Dan ini sukses membuat Monica semakin kecewa pada Kakeknya. Ia tahu Kakeknya melakukan semua ini demi dirinya. Tapi ia benar-benar tak menginginkan ini.

Bryan menatap Monica. Ia tahu wanita cenderung memiliki fantasi sendiri mengenai sebuah pernikahan. Dan mereka tentu saja tidak akan suka jika ada seseorang yang merusak paksa semua angan-angan mereka itu. Walau sebenarnya Bryan tidak terlalu peduli, tapi ia rasa dirinya perlu untuk mulai bicara.

"Kakek.. aku rasa aku dan Monica perlu untuk berbicara berdua. Apa itu tidak apa-apa?" tanya Bryan, meminta izin.

Monica mengerutkan kening. Kenapa pria ini bicara seolah mereka ini akrab? Berbicara? Memangnya apa yang perlu mereka bicarakan? Masalah pembatalan perjodohan? Jika iya, maka dengan senang hati ia akan menyetujuinya.

"Kau benar. Kalian sebaiknya saling bicara dan berkenalan terlebih dahulu. Itu sangat diperlukan dalam membangun sebuah hubungan. Kalau begitu Kakek akan pergi. Masih ada beberapa hal yang harus Kakek urus. Kalian bersantailah terlebih dulu," jawab Kakek setuju.

"Tentu. Jika sudah waktunya.. aku akan mengantarkan Monica kembali. Kakek tidak perlu khawatir. Aku akan menjaganya," ucap Bryan dengan ramah dan itu cukup membuat Monica merasa geli.

Ia tidak tahu ternyata pria ini memiliki rasa humor yang menurutnya sama sekali tidak lucu.

Kakek tertawa.

"Hoho.. baiklah. Baiklah. Kalau begitu aku akan pergi," seru Kakek kemudian berlalu meninggalkan mereka berdua.

"Aku tidak tahu apa tujuanmu sebenarnya dengan menyetujui perjodohan ini. Tapi aku katakan sekali lagi padamu. Sampai kapanpun aku menolak untuk bertunangan atau menikah denganmu," seru Monica dengan tegas setelah mereka akhirnya benar-benar hanya berdua dan duduk saling berhadapan.

Bryan bersikap santai. Ia meminum sepoci tehnya dengan tenang. Tidak ada sama sekali kekhawatiran atau kekesalan yang muncul di wajahnya. Ekspresi wajahnya datar. Dan Monica tidak bisa menebak apa yang ada di pikiran pria itu.

Monica memperhatikan pria itu dengan lebih seksama. Ia jelas merasa pernah bertemu dengan pria ini entah dimana. Wajah itu terlihat tidak asing baginya. Tapi ia juga tidak yakin dengan apa yang dirasakannya ini. Hanya saja, aura yang dipancarkan oleh pria ini seolah mengingatkannya akan sesuatu. Tapi, monica tak ada niat untuk bertanya.

Sejujurnya Monica punya kesulitan dalam mengenali wajah orang yang baru ditemuinya pertama kali. Dan ini cukup menyusahkannya dalam beberapa situasi. Monica masih ingat. Pernah ada seorang teman Hendrik yang marah padanya karena ia tak mengenali orang itu pada saat mereka berpapasan.

Padahal mereka baru saja bertemu satu kali di suatu pesta saat Hendrik mengajaknya ikut. Lalu kemudian mereka bertemu lagi beberapa hari setelahnya, saat Monica mengunjungi kantor tempat Hendrik bekerja.

Ya, memang. Masalah itu terselesaikan dengan baik karena Monica menceritakan padanya soal kesulitannya dalam mengenali wajah orang. Teman Hendrik itu tentunya akhirnya bisa memahami itu.

Tapi tetap saja, itu tidak membuat perasaan Monica menjadi lebih baik. Terkadang ia menjadi sedikit paranoid saat bertemu dengan orang-orang baru. Ia takut jika sikapnya itu akan menyinggung mereka atau bahkan menimbulkan kesalahpahaman lain yang tidak diinginkannya.

Itu sebabnya ia jarang ingin bertemu dengan orang-orang baru, selain jika itu adalah urusan pekerjaan atau urusan yang benar-benar penting lainnya.

***