"Rapat ini kita sudahi. Jika diantara kalian ada yang sudah menyelesaikan pekerjaan yang aku perintahkan tadi, segera laporkan padaku. Ingat jangan berlama-lama dan jangan sampai membuat kesalahan!" ancamnya memperingatkan.
Monica melangkahkan kakinya keluar dari ruang meeting lalu berjalan menuju ruangannya diikuti oleh seseorang.
Semua orang dalam ruang meeting langsung bernapas lega. Seolah telah bebas dari kiamat yang mengerikan.
Monica merebahkan tubuhnya ke atas sofa begitu ia sampai di ruang kerjanya. Ia merasakan lelah yang amat sangat berlipat ganda daripada biasanya ia bekerja. Walaupun ia sering bekerja seperti orang gila. Tapi ia tidak pernah merasa selelah ini.
Tak hanya lelah secara fisik, tapi ia juga lelah secara pikiran dan mental. Seharian ini ia tidak bisa sepenuhnya fokus dalam bekerja. Padahal pekerjaanya sekarang sudah banyak dan menumpuk, tapi pikirannya telah melayang entah kemana.
Monica memijat kedua keningnya dengan satu tangan. Ingin rasanya ia meletakkan sejenak otaknya itu entah dimana agar ia bisa beristirahat walau hanya sebentar. Tapi mungkinkah itu?
"Apa kau baik-baik saja?" tanya sebuah suara. Monica tak menoleh. Ia tahu siapa yang sedang berbicara itu.
"Apa menurutmu aku baik-baik saja?" tanya Monica tanpa bergerak sedikitpun. Ia tetap memejamkan kedua matanya dan berusaha merilekskan dirinya.
"Aku tahu kau jarang sekali merasa baik-baik saja mengingat banyak sekali pekerjaan yang menumpuk yang harus kau kerjakan. Tapi tidakkah kau merasa bahwa hari ini kau seperti singa yang kelaparan dan berusaha mencari mangsa?" seru suara itu lagi tanpa perasaan takut seperti yang dirasakan para anak buahnya tadi di ruang meeting.
Orang ini adalah Martha. Teman curhatnya sekaligus asisten kepercayaannya di perusahaan. Hanya dia seorang satu-satunya diperusahaan yang berani berkata seperti itu di depan Monica. Dan tentu saja Monica juga sudah terbiasa dengan sikap blak-blakannya itu.
Monica mengangkat kepalanya. Ia menolehkan kepalanya pada Martha yang saat ini telah duduk di sampingnya.
"Apa aku sebegitu menakutkannya?" tanya Monica dengan wajah datar.
Martha mengangguk, "Tentu saja. Amat sangat menakutkan! Apa kau ini terbuat dari baja? Kenapa kau harus bersikap begitu membabi-buta seperti itu?"
Monica tak menjawab. Ia memilih bangkit lalu mengambil gelas minumnya kemudian meneguk habis semua isinya dalam satu kali tegukan dengan kasar. Ia berjalan dengan malas ke arah meja kerjanya.
Martha memperhatikan setiap gerak-gerik Monica itu.
"Apa kau sehabis bertengkar dengan Hendrik?" tebak Martha memperkirakan situasi apa yang kiranya terjadi pada bosnya yang memang sudah sering tidak terduga.
Monica berbalik.
"Jangan pernah menyebut nama itu lagi di depanku!!" Monica berteriak dengan keras. Membuat Martha langsung terkejut.
"Ada apa sebenarnya kali ini? Kenapa kau begitu marah? Selama ini sekalipun kalian bertengkar kau tidak pernah sampai mengatakan padaku untuk tidak pernah menyebut namanya. Tapi kali ini kau memintaku untuk melakukan itu? Sampai kapan? Sampai selamanya?" Martha mencoba mencairkan suasana dengan sedikit bercanda. Ia bisa memprediksi bahwa masalah antara kedua sejoli kali ini adalah masalah yang cukup serius. Tapi ia tak pernah menyangka Monica akan berkata seperti itu. Bahkan dengan raut wajah yang sangat dingin.
Monica menghelah napas panjang. Ini adalah salah satu spesialisasi dari Martha. Ia pintar dalam membaca raut wajah seseorang dan bahkan pintar dalam membaca situasi. Tidak akan ada yang bisa luput dari pengamatannya jika ia sudah mulai mengamati.
"Kami sudah putus. Dan aku sangat memohon padamu untuk tidak menyebut namanya lagi karena itu membuat seluruh isi perut dan kepalaku berputar," jelas Monica sambil memohon.
Ia tidak melebih-lebihkan ucapannya. Tapi ia benar-benar merasa mual dan pusing setiap kali nama itu terdengar di telinganya.
"Kalian sudah putus? Bagaimana mungkin? Bukankah kau bilang kau sedang mempersiapkan acara pertunangan kalian?" tanya Martha yang masih tidak mempercayai apa yang telah dikatakan Monica padanya.
Monica sejujurnya malas untuk membahas masalah ini lagi. Tapi ia juga butuh pelarian untuk mencurahkan seluruh kekacauan yang ada di dalam pikiran dan hatinya ini. Ia menatap lurus Martha. Berusaha membuat ucapannya tidak bergetar.
"Dia berselingkuh. Dan kau tahu dengan siapa dia berselingkuh?" tanya Monica dengan ekspresi mengejek dan menghina.
"Siapa?" tanya Martha penasaran. Ia jelas berpikir Hendrik adalah pria yang sangat bodoh karena sudah melepaskan wanita yang begitu sempurna seperti Monica demi wanita lain. Dan wanita gila mana yang berani bersanding melawan Monica?
"Sandra. Sandra Leriana." Monica menjawab dengan tidak bersemangat. Seolah raganya telah lepas dari tubuhnya.
Sebaliknya, kedua bola mata Martha justru membesar seakan matanya itu cukup elastis.
"Sandra Leriana? Bukankah dia itu sahabatmu?" tanyanya tak percaya.
Jika saja Monica tidak menyebutkan nama lengkap Sandra. Ia pasti masih mengira wanita itu adalah orang lain. Tapi ini adalah Sandra Leriana. Walau masih mungkin saja ini adalah orang lain, tapi melihat ekspresi Monica yang seakan ingin mati saat menyebutkan nama itu. Sudah dipastikan bahwa apa yang dipikirkannya tidaklah salah.
Anggukan Monica setelahnya pun langsung membenarkan semua praduga negatifnya itu. Monica duduk bersandar dan mulai maju dan mundur memainkan kursinya sambil memikirkan sesuatu.
"Aku menemukan mereka tidur bersama di apartemen Sandra. Kau tentu tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanku saat itu." ujar Monica dengan tanpa emosi di dalam nada bicaranya. Tapi sangat emosi di dalam hatinya.
"Ini luar biasa. Berani sekali ba****** te**** itu melakukan ini padamu? Apa dia sudah bosan hidup? Ingin sekali aku memelintir a*** *****nya itu dan membelahnya menjadi dua," seru Martha penuh semangat sambil memperagakan apa yang diucapnya.
Monica langsung tertawa. Memang tepat jika ia menceritakan masalahnya ini pada Martha. Wanita ini punya seribu macam cara untuk membuat perasaannya jauh lebih baik, walaupun hanya dengan mendengar kata-katanya saja.
"Ya, tentu saja aku tidak akan mungkin tahu bagaimana perasaanmu saat itu karena aku belum pernah mengalaminya dalam masa hidupku. Tapi aku yakin hatimu pasti sangat hancur saat itu. Kau tidak hanya ditusuk dari belakang oleh satu orang. Tapi oleh dua orang sekaligus secara bersamaan. Aku sungguh tidak menyangka bahwa Sandra akan melakukan hal seperti itu padamu. Kalian sudah saling mengenal selama bertahun-tahun dan dia adalah orang yang paling dekat denganmu. Sebenarnya ada dimana letak pikirannya itu?" ujar Martha panjang lebar dengan emosi.
Ini jugalah yang menambah nilai Martha di mata Monica. Martha tidak pernah sok-sokan mengerti bagaimana perasaan Monica saat Monica tertimpa masalah. Seperti yang mungkin dilakukan oleh sebagian besar orang.
Demi melakukan penghiburan, mereka cenderung berkata bahwa mereka bisa mengerti bagaimana perasaan orang yang sedang terluka apapun konteks masalah mereka. Padahal pada kenyataannya, mereka belum pernah mengalami hal tersebut. Jadi tentu saja mereka tidak tahu apa yang sebenarnya mereka ketahui tentang bagaimana rasanya mengalami hal tersebut.
***