Hari damai kembali seperti biasa.
Atau setidaknya begitulah yang aku harapkan.
Semua kedamaian berubah ketika guru masuk ke kelas kami pagi ini.
"Anak-anak, hari ini kita akan mengadakan ujian, kalian punya waktu empat puluh lima menit untuk belajar kembali"
Aaaaaaaaa! Aku lupa bahwa hari ini ada ujian! Kemarin malam aku terus mendapatkan teguran dari ibuku karena beliau menerima laporan bahwa aku berkelahi dengan kelompok Ivan.
Selama aku dimarahi, Bapak tidak mengatakan apapun, beliau hanya mengacungkan jempol padaku secara diam-diam.
Bahkan ketika aku meminta bantuan pada Bapak untuk menenangkan kemarahan Ibu, beliau justru memanas-manasi.
Memang sesuatu sekali bapakku ini.
Ah, aku berharap masih bisa mengingat pelajaran yang selalu aku ulangi selama ini.
Aku sedikit melirik Ardi yang duduk di sampingku.
?!
Dia duduk di sana dengan ekspresi kosong seperti tidak mempercayai apa yang baru saja dia dengar.
Bertahanlah Ardi! Kuatkan hatimu!
Aku terus berusaha mengguncang tubuhnya untuk menyadarkannya kembali, tapi tidak ada reaksi, seolah dia telah menjadi tubuh kosong tanpa jiwa.
Memangnya seberapa buruk dia menganggap ujian itu sebagai mimpi buruk?!
Ah, jika aku ingat kembali, selama ini Ardi selalu membenci belajar di sekolah karena dia sudah selalu dipaksa untuk belajar di rumah.
Mungkinkah karena itu?
…
Ujian berakhir dengan lancar, setidaknya untukku. Yah, aku tidak tahu dengan Ardi, tapi tidak ada yang bisa kulakukan untuk saat ini.
Saat jam istirahat, aku ingin menghabiskan waktu bersantai di tempat dudukku, namun aku menerima pesan dari Arin untuk segera menemuinya di tempat yang jarang dilalui orang ketika jam istirahat.
Aku berjalan perlahan, jantungku berdegup cepat, aku penasaran dengan alasan Arin, namun hatiku lebih gugup dari yang kukira.
Tidak lama kemudian, aku melihat Arin sedang berdiri sendirian di tempat parkir belakang sekolah.
Wajah cantiknya terlihat cerah disinari cahaya matahari. Rambut hitam mengalir lembut hingga bahu dan figur yang sedikit pendek itu terlihat imut di mataku.
Namun, entah kenapa hatiku terasa sedikit sakit ketika melihat senyuman itu. Seolah, dia sedang menunjukkan perasaan yang mungkin menyakitkan untukku.
Arin menoleh ke arahku, rambut hitam membelai tubuhnya dengan lembut, benar-benar figur gadis cantik yang mempesona.
"Satria"
Aku terdiam di tempat dan tidak menjawab panggilan suara menawan itu.
Sekarang aku mulai berpikir… mungkin tidak seharusnya aku berada di tempat ini sejak awal.
"Hei, kok kamu diem aja? Kenapa?"
Aku… merasa sedikit sakit. Itu bukan reaksi dari tubuh, tapi sesuatu yang lain.
"Enggak apa-apa"
Aku masih menjawab meskipun enggan.
"Kalau kamu ada masalah, cerita aja, kita temen, kan?"
… beberapa kata sederhana terkadang lebih menyakitkan daripada kalimat yang dramatis. Dan aku baru saja menyadari hal itu.
Arin, hanya tersenyum dan mulai berbicara kembali meskipun aku tidak menjawab.
"Eh, kamu tahu kan Kak Bayu kelas 12E? Belakangan ini dia…"
Arin terus berbicara banyak hal tentang Bayu yang merupakan kakak kelas kami.
Ah, aku tahu ke arah mana pembicaraan ini berjalan.
Seiring dengan semakin banyaknya hal yang diceritakan Arin tentang Bayu, senyuman di wajahnya perlahan luntur. Matanya basah oleh air mata.
"… dan kamu tahu? Pagi ini banyak berita dari teman-temanku yang bilang kalau dia sudah pacaran dengan seseorang…"
Ah, pemandangan ini menyakitkan. Melihat orang yang aku cintai menangis di hadapanku terasa sangat menyakitkan.
Arin mulai berjongkok dan menangis tersedu-sedu.
Aku tidak mampu berbicara sesuatu saat ini. Aku tidak terlalu mengenal Arin dengan baik sehingga bisa mengetahui hal yang bisa menenangkan dirinya.
Aku masih berdiri di sampingnya dan memastikan ia bisa mengeluarkan semua emosi dengan bebas.
Sekitar satu menit telah berlalu, dan Arin masih belum berhenti menangis. Sekarang mungkin aku harus melakukan sesuatu.
Aku berlutut di depan Arin dan menggenggam kedua tangannya yang masih mengusap air mata yang terjatuh.
Arin berhenti menunduk dan mendongak ke arahku.
Aku sedikit tersenyum dan mengusap air mata di wajahnya.
Aku berkata dengan lirih, "Tidak apa-apa, aku ada di sini untukmu"
Arin melihatku dengan terkejut dengan mata yang masih basah. Air mataku telah jatuh, aku benar-benar tidak tahan melihatnya menangis. Rasanya hatiku sedang diiris pisau.
Entah bagaimana, Arin mulai terlihat tenang, kami kembali berdiri dengan tangannya masih kugenggam erat.
"Satria, kamu mau bantuin aku?"
"Bantu apa?"
"Jadi pacar palsuku"
Dalam kondisi normal, seharusnya aku sedikit bahagia saat ini.
Tapi nyatanya, hatiku remuk.
Kenapa…
Ah, aku mengerti.
Aku bukan orang yang dicintai. Aku hanya alat untuk dimanfaatkan. Aku tidak memiliki tempat di hatinya sejak awal.
Seharusnya aku menyadarinya sejak awal.
Seharusnya aku tidak pernah jatuh cinta jika hanya patah hati yang menungguku.
Semangatku untuk terus mengejarnya hampir saja hancur lebur.
Tapi… meskipun menyakitkan untukku, Arin masih membutuhkan bantuanku.
Aku hanya mengangguk pelan, mulutku tidak mampu berbicara.
Arin sedikit tersenyum.
Awalnya dia berniat hendak pergi dari tempat ini, tapi entah mengapa dia masih berdiri di sini dan membiarkanku menggenggam tangannya lebih lama.
Terima kasih, setidaknya biarkan aku memulihkan hati yang sedang rapuh ini.
Aku menatap lekat matanya, ia hanya tersenyum kecil, tapi matanya perlahan menjadi sedikit basah.
Arin segera berlari pergi.
Aku diam mematung dan menghela napas.
"Hah… apa yang sedang aku lakukan?"
Aku mungkin akan menyesali keputusanku saat ini. Jalan yang menungguku adalah perjalanan penuh luka dan kesedihan.
Mungkin aku harus segera melupakan Arin dan membuka hati untuk orang lain.
Tapi… apa benar semudah itu?
Apakah mungkin bagiku untuk mencintai orang lain saat ini?
"Aku harus kembali ke kelas sekarang"
Aku kembali dengan berat hati.
…
Arin berlari, namun dia tidak sedang menuju ke kelas, melainkan gedung olahraga yang telah sepi.
"Idiot! Idiot! Idiot! Kenapa kamu ikut menangis?! Kalau kamu sampai seperti itu… aku…"
Arin merosot ke dinding dan mulai menangis kembali.
Di gedung olahraga yang kosong, suara tangisan yang menyedihkan seolah menggema.
Salah satu teman Arin tidak sengaja melihatnya sedang menangis dan berusaha menenangkannya. Namun Arin tidak menceritakan apa pun tentang dirinya dan Satria.
Awalnya Arin hanya berniat memanfaatkan Satria untuk memastikan perasaannya sendiri terhadap Bayu. Namun, perasaan itu sekarang sedikit melenceng karena rasa bersalahnya.
Ini mungkin bukan keputusan terbaik, tapi hanya ini yang bisa dia lakukan terhadap perasaannya sendiri.