Ini adalah sebuah hari yang tenang.
Benar-benar tenang.
Di hari liburku yang berharga, aku menghabiskan waktu di sebuah bukit tempat padepokan yang biasa aku gunakan untuk berlatih berada. Tapi aku tidak sedang berlatih, aku berada agak jauh dari padepokan untuk menyendiri.
Di atas bukit yang cukup tinggi, padang rumput yang subur, angin sepoi-sepoi bertiup pelan dan aroma rumput yang samar memenuhi hidungku. Matahari tidak terlalu terik karena masih pagi, tapi suasana ini benar-benar menyegarkan pikiranku.
Pemandangan indah pedesaan dapat terlihat dari atas sini, setiap rumah terlihat kecil dan sawah yang telah ditanami bibit padi terlihat subur dan hijau dari sini.
Di sekitar tempatku duduk saat ini, masih terdapat pepohonan yang rindang dan tumbuh subur, sebagian ditumbuhi buah dan yang lainnya hanya memiliki batang yang besar.
Burung-burung terbang meninggalkan sarang, awan bergerak pelan di langit.
Aku mulai berbaring dan mengagumi pemandangan alam yang indah ini.
Sungguh sangat disayangkan, aku tidak pernah menyadari keindahan ini sebelumnya.
Tanah tempatku berbaring tidak terlalu empuk layaknya kasur, namun rumput yang menggelitik kulitku terasa menenangkan.
"Di sini kamu rupanya"
Aku menoleh ke sumber suara itu sambil berbaring.
"Ayang?"
Tiba-tiba sebuah sandal melayang dan tepat mengenai wajahku.
Bletak!
Ugh, rasanya seperti ditampar.
"Ngomong apa kamu barusan hah?!"
Mayang terlihat marah.
"Uh, 'Ayang'?"
Wajahku dilempari sandal untuk kedua kalinya.
Kali ini lebih keras.
"Duh, kenapa aku dilempari sandal sih?"
"Lagian kenapa juga kamu panggil aku dengan 'Ayang', aku bukan pacar kamu"
"Uh, banyak temen seperguruan yang nyuruh aku manggil kamu 'Ayang', kirain kamu biasanya dipanggil gitu"
"Hadeh, mana ada, kamu dikerjain mereka"
Eh, jadi aku dibohongi?
Mayang mendekat dan berdiri di sampingku, dia kembali mengambil sandal miliknya.
Mayang bertanya, "Ngapain kamu di sini?"
"Jadi gini Yang—"
Mayang dengan cepat mengambil kembali sandal miliknya dan telah mulai bergerak untuk menampar wajahku dengan sandal.
"Woa… woa, tunggu! Jangan dilempar lagi"
Mayang berhenti dan kembali memakai sandalnya.
"Ok, ok, aku cuma lagi bersantai sambil menikmati pemandangan. Duduk sini, hari ini gak ada jadwal latihan kan?"
"Em, gak ada sih, kakek ada urusan"
Mayang duduk di sampingku, aku juga bangun dan duduk dengan damai.
Aku melirik ke samping. Tidak seperti biasanya ketika kami berlatih, Mayang tidak mengikat rambutnya. Rambut hitam memanjang hingga punggungnya, itu terlihat seperti benang sutra yang lembut. Wajahnya cantik disinari mentari pagi yang hangat dan aroma harum dari tubuhnya memikat hatiku.
Melihatnya sedikit tersenyum manis membuat hatiku merasa hangat dan sedikit melupakan kesedihan yang sedang aku alami.
Meskipun dia begitu cantik dan mempesona, aku penasaran kenapa dia masih belum memiliki pacar hingga hari ini.
"Hei," panggil Mayang dengan lembut.
"Hmm?," Aku menoleh.
"Aku dengar kamu berkelahi lagi"
Ahhh, jadi soal itu. Aku memang menang kali ini, tapi tidak ada yang bisa dibanggakan tentang itu.
"Jangan bilang kalau kamu yang mulai"
"Enggak kok, mereka duluan yang mulai"
Suasana menjadi sunyi untuk beberapa saat, Mayang tersenyum tipis.
"Kamu harus tahu, kita belajar ilmu bela diri bukan untuk menyakiti orang lain, tapi untuk melindungi diri sendiri dan orang lain"
Aku diam dan memperhatikan.
"Dulu saat aku pertama kali belajar bela diri, aku sangat sombong dan mulai menantang banyak orang yang seumuran denganku, tentunya aku menang dan menganggapnya sebagai sebuah pencapaian. Tapi kakek memarahiku habis-habisan setelahnya, sekarang aku mengerti kenapa dia begitu cerewet saat itu"
Mayang menatap langit di kejauhan, "Yah, kita pasti benci ketika ada orang terdekat yang dilukai dan sangat mungkin untuk merasa dendam, dengan begitu pasti menciptakan perselisihan yang tidak pernah selesai. Layaknya api yang terus menyebar dan membakar rumput sekitar"
"Dasar pertama menjadi seorang ahli bela diri—, tidak, seorang manusia adalah rendah hati untuk mencegah perselisihan dan iri hati, lalu berusaha melihat dari berbagai sudut pandang sebelum memutuskan sesuatu"
… Itu kata-kata yang sangat bermakna.
"Ah, maaf, aku mengatakan hal yang aneh"
Aku menggeleng pelan, "Tidak, kamu sama sekali tidak aneh, aku menyukainya (kata-kata)"
Mayang sedikit tersipu malu, dia segera memalingkan wajah.
Eeeeeeeeeeh, apakah aku mengatakan sesuatu yang aneh?
Berharap mendapatkan respon yang feminim, Mayang justru mengambil sandalnya dan melemparnya ke arahku.
Aku secara refleks bangun dan mengambil kuda-kuda layaknya siap tarung.
"Hei, tenang, kali ini apa salahku?"
Mayang menunduk dan menyembunyikan wajah di balik rambut panjangnya, masih ada sandal lain di tangannya yang siap dilemparkan, tapi dia tidak melakukannya.
Dia segera pergi setelah memakai kedua sandalnya.
Apa yang salah darinya?
Matahari sudah semakin tinggi, sudah waktunya untuk turun bukit dan pulang.
…
Ketika aku sampai di rumah setelah berlari pagi, aku segera mandi dan mengganti bajuku.
Ketika aku membuka ponsel milikku, sudah ada beberapa pesan yang tidak terbaca di sana.
Aku memang meninggalkan ponselku di rumah, tapi sangat tidak biasa untukku menerima pesan sebanyak ini.
Biasanya hanya akan ada pesan dari operator yang selalu setia mengirimi pesan padaku.
Yah, aku adalah seorang yang tidak memiliki pacar, memang apa yang kau harapkan?
Bahkan meskipun ada orang yang mau mengirimi diriku pesan, mungkin itu hanya Ardi atau Ethan.
Dan pesan pertama yang aku kirimkan pada seorang gadis adalah pesan cinta yang salah kirim ke nomor Risa, bagian yang menyedihkan dari itu adalah bahwa aku belum mendapatkan balasan hingga sekarang.
Sepertinya pesan itu tidak berarti bagi Risa.
Tapi kali ini berbeda, aku menerima sejumlah pesan dari seorang gadis.
Ini adalah pesan dari Arin!
Wohooooooo!
Aku berteriak dalam hati, namun aku juga segera merasakan rasa kecewa. Yah, sepertinya hatiku masih terluka, dan sangat sulit untuk segera menyukai orang lain saat aku masih mencintainya.
Mari kita mulai membaca pesan ini.
[Hai, selamat pagi]
[Ini aku, Arin. Kamu simpan kontak aku enggak sih?]
[Siang nanti aku ada rencana mau ke panti asuhan, kamu mau ikut?]
[Hei, kamu ke mana, kok gak balas?]
[Kamu lagi sibuk ya? Maaf udah ganggu]
… Aku tidak tahu harus berkata apa.
Bukankah kita hanya pacar palsu? Mengapa kamu begitu peduli? Dilihat bagaimanapun, pacar palsu tidak akan mungkin mengirimkan pesan semacam ini.
Karena aku tidak ingin membuatnya salah sangka, aku segera membalas pesannya.
[Maaf baru bales, aku habis lari pagi, ponselku aku tinggal di rumah]
Aku menghela napas, semoga ini bisa sedikit menghilangkan kesalahpahaman.
Tanpa menunggu waktu lama, aku segera mendapatkan balasan.
[Oh, iya, gapapa. Jadi gimana? Kamu mau ikut?]
Aku segera membalas.
[Aku bisa sih, tapi aku cuma punya sepeda ontel loh, mungkin butuh waktu lama buat sampai ke sana]
Tidak seperti sebelumnya, aku tidak menerima pesan lagi setelahnya. Bahkan hingga menjelang siang.
Tunggu, dilihat bagaimanapun, bukankah dia kecewa?