Chereads / Cinta Yang Tersesat / Chapter 3 - Surat misterius

Chapter 3 - Surat misterius

Dering bel tanda istirahat dapat terdengar.

Ardi beranjak dari tempat duduknya dan mengambil selembar uang kertas sepuluh ribu rupiah dari tasnya.

"Ke kantin yuk!" ajaknya.

Tapi sayangnya aku harus menolak tawaran itu. Ini bukan seperti aku tidak mau ke kantin atau apa, hanya saja aku perlu mengulang kembali pelajaran yang baru saja disampaikan.

Lagipula aku masih memiliki beberapa gorengan di bekalku, sayang kalau tidak dihabiskan.

"Siswa teladan seperti biasa ya. Ok deh, aku duluan," dia pergi setelah melayangkan tamparan lembut di punggungku.

Ugh, meskipun aku bilang lembut, bagian yang dia tampar terasa sedikit panas dan berdenyut kesakitan.

Itu orang menampar lembut saja pakai niat, gimana kalau serius?!

Ya, setidaknya begitulah aku menghabiskan waktu istirahat. Terkadang aku tidak membawa bekal apapun dan hanya menahan lapar sambil terus mengulang kembali apa yang aku pelajari. Hari ini aku cukup beruntung karena diberikan beberapa bekal oleh orang-orang.

Aku melirik jam dinding di depan kelas, ini masih pukul 09.45, aku masih punya waktu lima belas menit sebelum bel masuk berbunyi.

Setidaknya aku berterima kasih kepada aturan sekolah karena tidak melebihi waktu belajar yang efektif.

Cara belajar yang efektif adalah 45 menit belajar lalu memberi jeda 15 menit sebelum melanjutkan sesi belajar selanjutnya.

Dan begitulah penyusunan jam belajar di sekolahku, satu jam pelajaran adalah 45 menit dan memiliki istirahat dua kali saat pukul 09.45 untuk istirahat pertama dan 12.15 untuk istirahat makan siang sekaligus waktu untuk melaksanakan salat Zuhur.

Untungnya sekolahku memiliki mushola sendiri, jadi kami tidak perlu repot untuk mencari tempat salat.

Banyak siswa di kelasku yang pergi ke kantin dan ada juga yang mengobrol di dalam kelas.

Selain aku, mungkin hanya Vina yang belajar sendirian. Kami berdua biasanya menempati peringkat satu dan dua, mungkin itu karena kami cukup rajin belajar.

Aku hanya memiliki sedikit teman karena selain selalu sibuk untuk belajar, aku selalu membantu pekerjaan di sawah. Aku tidak punya banyak waktu yang bisa dihabiskan dengan teman-temanku.

Karena rumah Ardi tidak jauh dari rumahku, biasanya dia akan berkunjung dan bermain bersamaku.

Kami berdua memang telah menjadi teman sejak SD, jadi kami sudah sangat dekat.

Tentu saja aku paham dengan posisiku sendiri, aku perlu bekerja untuk bisa tetap sekolah.

Buruh petani memang bukan pekerjaan yang disegani, tapi itulah yang membuatnya miris.

Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Agraris karena hasil pertanian yang melimpah. Jika pekerjaan petani dianggap sebagai pekerjaan yang rendahan, lama kelamaan jumlah petani akan menurun dan membuat negara ini tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan penduduknya.

Akibatnya kita terpaksa harus mengimpor hasil pertanian dari negara lain. Itu tidak terdengar bagus.

Negara ini perlu berubah, hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan merubah pandangan masyarakat terhadap pekerjaan sebagai petani. Mereka bukan budak, bukan pula alat, mereka adalah pahlawan yang sebenarnya.

Sedikit miris bahwa nasib guru tidak jauh berbeda dari petani. Mereka tidak dipandang sebagai pahlawan meski dengan jasa yang begitu besar untuk memajukan generasi muda.

Seringkali ada siswa yang justru balik memukul guru hanya karena ditegur atas kesalahannya.

Wali murid hanya membela anaknya dan pada akhirnya guru yang disalahkan. Apakah itu perilaku yang benar?

Tidak, seharusnya kita menghargai mereka seperti orang tua kedua.

Nah, itu hanya pendapatku tentang bagaimana masyarakat luas memandang pekerjaan yang begitu mulia ini.

Aku hanya harus berusaha keras dengan terus belajar dan memperbaiki kesan masyarakat.

Ah, benar, aku baru ingat. Kemarin aku mengirimkan pesan cinta kepada Risa. Pagi tadi saat masuk kelas, dia hanya bersikap acuh seperti biasanya.

Aku sedikit bersyukur dia tidak melakukan sesuatu yang berlebihan kepadaku.

Saat aku sedang fokus belajar, sebuah gulungan bola kertas mengenai kepalaku. Aku berusaha melihat sekitar untuk mencari pelakunya, tapi semua orang bersikap biasa.

Setelah membuka lipatan, aku menemukan sebuah tulisan.

[Temui aku di lapangan sepulang sekolah nanti. Jika kamu tidak datang, aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi padamu selanjutnya]

Menakutkan! Menakutkan! Menakutkan! Apakah ini surat tantangan atau semacamnya. Tinta yang merembes luntur menambah kesan teror pada surat ini.

Bisakah aku menolak?! Aku bahkan tidak diberi pilihan untuk menolak di sini!

Satu-satunya kesan yang aku dapatkan tentang penulis surat ini adalah 'kejam'. Apakah aku akan dibunuh atau semacamnya?!

Tidak! Tunggu dulu, tenanglah Diriku!

Mari kita pikirkan ini dengan kepala dingin—.

Sepertinya aku harus mencari bongkahan es untuk melakukannya.

Tunggu, bukan 'dingin' itu yang aku maksud!

Ini adalah waktu istirahat, semua orang bebas keluar masuk kelasnya sendiri atau berkunjung ke kelas lain. Karena bel istirahat baru saja berbunyi, seharusnya lokasi awal pelaku pengiriman surat ini tidak berjarak terlalu jauh dari kelasku.

Kelasku berada di lantai dua, membutuhkan sedikit waktu untuk menaiki tangga. Maka aku bisa mengeliminasi kelas yang berada di lantai bawah. Ada tiga kelas lain yang bersebelahan dengan kelasku. Maka aku bisa mempersempit pilihan menjadi empat kelas, termasuk kelasku sendiri.

Sekarang bagaimana aku mengeliminasi kelas lain?

Jujur saja, sangat sulit untuk mencari satu dari seratus dua puluh orang. Katakan saja rata-rata jumlah laki-laki di kelas adalah 60%, atau 18 siswa dari 30 orang. Maka ada 72 laki-laki dan sisanya adalah perempuan.

Ah tunggu sebentar, aku harus mengoreksi hitungan laki-laki menjadi 70 siswa. Tidak mungkin aku menghitung diriku sendiri.

Memangnya seberapa bodoh aku untuk menulis surat ancaman untuk diriku sendiri?

Dan juga, aku akan mengeliminasi Ardi dari pilihan. Kau bisa menyebutnya sebagai bentuk dari akumulasi kepercayaan dalam waktu yang cukup lama. Bagaimanapun, teman baikku yang aku kenal tidak akan mengirimkan surat ancaman semacam itu.

Nah, ada cukup waktu hingga pulang sekolah. Setidaknya aku ingin menemukan pengirim surat ini sebelum waktu pertemuan yang ditentukan.

Kalian mungkin bertanya-tanya kenapa aku mau repot-repot mencari tahu pengirim surat ini. Bahkan aku akan tau hanya dengan menunggu dengan sabar waktu yang ditentukan.

Baiklah, aku tidak masalah jika tidak ada resiko di baliknya. Tapi aku sedikit khawatir jika ini menjadi adegan pembully-an.

Aku hanya siswa normal tanpa kemampuan bertarung yang mencukupi, dan bahkan jika aku bisa bertarung, sekolah tidak mengizinkan adanya perkelahian. Bahkan jika aku mencari bantuan orang lain, aku hanya mempunyai Ardi di sisiku.

Haruskah aku melaporkan ini ke guru?

Ya, setidaknya aku bisa aman ketika berada di lingkungan sekolah… dan berubah menjadi pengeroyokan di luar sekolah.

Tidak banyak pilihan dan metode yang bisa aku gunakan.