Caramel tertegun. Tatapan matanya memandangi sebuah kotak berukuran sedang dan berlapis kain beludru berwarna merah. Ada secarik kertas notes di atasnya yang bertuliskan "Kau adalah jantungku, hidupku, dan satu-satunya yang aku pikirkan." Benda itulah yang membuatnya mau gak mau harus mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Apa mungkin ini dari Arjuna?, batin Caramel.
Semenjak pulang dari Lembang, sikap Arjuna memang berubah. Dia jauh lebih hangat dan perhatian dari sebelumnya, walopun sebenernya Caramel belom sepenuhnya memaafkan soal kejadian itu.
"Itu hadiah buat kamu. Gimana, kamu suka gak?" Tiba-tiba terdengar suara khas Arjuna membuyarkan lamunan Caramel dan membuat Caramel mengalihkan pandangannya ke arah asal suara. "Spesial buat kamu."
"Selamat pagi, Pak," sapa Caramel ramah. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
Arjuna mengangguk. "Ada. Tolong bantu jaga hati saya supaya tetap tertuju ke kamu."
Caramel tersipu malu. Entah kenapa dia merasa terharu. Sepagi ini dia udah dapetin kejutan sekaligus rayuan gombal dari Arjuna.
"Ciyeee ..." Entah kenapa Arjuna sangat menikmati momennya saat ini. Ini kali kedua dia melihat Caramel blushing karna godaannya. "Inget ya, itu blushing cuma buat aku loh. Bukan buat cowok laen."
"Maaf ini apa ya, Pak? Kalo ini semacam gratifikasi, mohon maaf. Sepertinya saya harus menolak pemberian dari Bapak ini." Caramel menghempaskan bokongnya dengan kesal. Kenapa sih makhluk di depannya ini kembali berubah jadi menyebalkan lagi? "Anyway, tumben jam segini udah sampe kantor. Rapat direksi kan masih tiga jam lagi, Pak."
"Saya gak pulang semalem. Saya tidur dan mandi di sini," sahut Arjuna pelan.
"Tumben. Ada masalah, Pak?" Tanya Caramel hati-hati. Caramel sangat yakin, kalopun ada masalah dengan Arjuna udah pasti itu berhubungan dengannya.
Arjuna menggeleng pelan. Gak kayak biasanya, raut wajahnya langsung sedikit berubah gelap. "Lagi bosen aja di apartemen sendirian. Lagian juga masih kepikiran sama kamu."
Caramel mengangguk-anggukan kepalanya. Ucapan Arjuna berusan emang ada benernya juga. Apartemen semewah itu bakal jadi membosankan kalo kita tinggal sendiri di dalamnya. Meskipun fasilitasnya lengkap bak hotel bintang lima, tapi suasananya jauh berbeda dengan suasana di lingkungan perumahan biasa. Kesan individualis antarpenghuninya kelihatan banget. Tapi memikirkan Caramel, itu hal lain. Caramel sama sekali gak tau soal yang satu itu.
Caramel memandangi wajah Arjuna lekat-lekat. Gak ada yang salah sebenernya dengan cowok di hadapannya ini. Dia ganteng, cerdas, dan kaya raya. Bukankah itu kriteria yang mayoritas sangat diidamkan oleh para kaum hawa? Tapi hatinya terlanjur terluka parah dengan apa yang dilakukan olehnya di malam itu. Caramel bersumpah, dia gak bakal melupakan kejadian itu.
"Cintaaaaaaaaaaa!" Tiba-tiba terdengar suara khas Romeo yang bikin Caramel dan Arjuna menengok ke arah asal suara. Gak perlu waktu lama buat Romeo menghambur diri ke pelukan Caramel dan menyisihkan Arjuna. "Gue kangeeennn!"
"Kok di sini?" tanya Caramel bingung sekaligus senang. Apalagi momennya yang sangat-sangat gak pas. Secara di hadapannya masih berdiri sang direktur.
"Ini gue disuruh nyerahin materi rapat buat Pak Arjuna sekaligus mewakili bos gue," ucap Romeo dengan gaya khasnya yang lenjeh-lenjeh gitu. "Doi hari ini cuti."
Caramel mengangguk-anggukan kepalanya dengan pelan. Selintas dia melirik ke arah Arjuna dan seketika itu juga dia mati-matian menahan tawa. Gak disangka, Arjuna yang selama ini terlihat perfeksionis dan sempurna, sekarang kelihatan kayak jones alias jomblo ngenes. Kegelian Caramel juga bertambah satu. Rupanya Romeo belum sadar kalo sosok cowok yang berdiri di sebelahnya adalah Arjuna, sang direktur.
"Anyway, ini dokumen untuk Pak Arjuna gue kasih ke elu aja ya, Cin?" lanjut Romeo. "Kan elu asprinya."
"Boleh." Caramel melirik selintas ke arah Arjuna. Air mukanya semakin terlihat keruh. Udah bisa ditebak pasti yang bersangkutan bete banget. Caramel tau, Arjuna gak pernah menampilkan muka sebete itu saat di hadapannya sekalipun tindak tanduk Caramel yang mengaduk-aduk emosinya.
"Gimana bos lo, Mel? Enak gak orangnya? Dia gak macem-macem kan sama lo? Gak naksir elo kan?" Cecar Romeo.
Caramel memasang senyum terbaiknya sesaat sebelum melirik selintas ke arah Arjuna. "Tenang aja, Ro. Walopun bos gue agak-agak sensitif dan suka galak kayak singa laper, tapi baik kok. Nanti juga cepet ato lambat lo bakal ketemu sama dia."
"Ah ogah kalo galak mah. Percuma ganteng kalo galak. Bukan selera gue keles, Mel. Tapi seriusan kan dia gak macem-macem sama lo?"
Sekali lagi Caramel menggeleng. "Enggak say. "
"Anyway, gue denger-denger bos lo itu baru kewong loh. Hasil perjodohan katanya."
Gleg! Apa katanya barusan? Caramel berusaha menelan ludahnya dengan susah payah. "Lo tau dari mana, Rom?"
"Dari temen gue. Kalo gak salah dulu Pak Arjuna jadi dirut di perusahaan temen gue itu. Katanya sih killer gitu cin! Semuanya kudu perfect. Ya gak heran sih, kalo doi kewongnya juga kudu dijodohin dulu. Secara gak ada cewek yang sempurna. Yaa kan, Mel?"
Caramel mengangguk pelan.
"Cuma elo satu-satunya cewek yang menurut gue sempurna, Mel." Lanjut Romeo lirih.
Caramel langsung melirik wajah Arjuna begitu mendengar ucapan Romeo barusan. Dugaannya bener, air muka Arjuna masih terlihat sesantai tadi walupun dia mengeraskan rahangnya. Hal itu jelas membuat Caramel agak merinding.
Arjuna membungkukan badannya membuat tingginya sebatas telinga Caramel. "Jangan terlalu dekat sama orang ini. Saya gak suka."
Caramel menoleh. Apa-apaan coba ini? See? Arjuna baru aja melarangnya untuk dekat dengan Romeo. Yang bener aja! Caramel jauh lebih dulu kenal Romeo ketimbang Arjuna. Malahan, dia udah menganggap Romeo sebagai bagian keluarganya. Dan sekarang?!
"Mel, sorry nih, saya ke toilet dulu. Tolong persiapkan bahan meetingnya segera ya." Arjuna melirik selintas ke arah Romeo dengan eskpresi datar. Ucapan Arjuna barusan telak membuat air muka Romeo mendadak tegang.
"Rom, orang yang dari tadi kita omongin yang baru aja pamit ke toilet." Caramel melebarkan senyum khasnya.
"Kok lo gak bilang sih, Mel?" Romeo mengusap mukanya saking malunya. Seumur hidupnya, baru sekali ini dia membicarakan pemilik perusahaan tempatnya bekerja tepat di saat seseorang yang bicarakannya masih berdiri di hadapannya. "Mati deh gue, Mel. Kalo gue dipecat gara-gara tadi gimana?"
"Tenang, lo aman kok." sahut Caramel sambil menepuk bahu Romeo.
*
"Laba bersih perusahaan kita di semester ini meningkat hampir tiga puluh persen. Peningkatan ini justru melebihi ekspektasi kita. Begitupun dengan hasil penjualan produk terbaru kita, langsung melonjak dua puluh persen dari hasil penjualan bulan lalu."
Caramel menatap lekat-lekat laptop kerjanya. Sebagai seorang asisten dan sekretaris direktur, dia harus fokus dengan segala tugasnya, termasuk membuat notulen meeting kayak yang sekarang dikerjakannya. Sesekali diliriknya sang atasan yang duduk di hadapannya. Entah kenapa Caramel merasa pesona Arjuna jauh lebih kelihatan kharismatik saat memimpin rapat kayak sekarang.
"Kalo gitu, rapat kita lanjut minggu depan. Saya ada beberapa urusan penting. Pak Dev, tolong di follow up terus untuk penjualan kita dan persiapkan untuk grand opening store ketiga kita. Usahakan akhir bulan udah bisa dilaksanakan."
Devando, adalah VP alias Vice President Divisi Sales and Marketing. Satu-satunya VP di perusahaan yang selalu gercep alias gerak cepat dan punya hasil yang sangat memuaskan. Selain prestasi kerjanya yang selalu outstanding, wajah gantengnya juga sukses membuatnya sebagai bachelor target di perusahaan ini, tentunya dari pada karyawati.
Caramel langsung bergegas meninggalkan ruang rapat begitu Arjuna beranjak dari ruangan yang sama. Sebagai seorang asisten dan sekretaris, dirinya udah kayak bayangan bagi sang direktur. Dimana ada Arjuna, disitu pula pasti ada Caramel.
"Ayah!!" Tiba-tiba terdengar suara seseorang menghentikan langkah Caramel dan Arjuna, membuat Caramel mengernyitkan dahinya. "Ayah, Diva anen!"
Sepasang mata Caramel memandangi sosok seorang gadis kecil berambut lurus. Selintas wajahnya emang mirip Arjuna, terutama mata, hidung, dan bibirnya. Sesaat kemudian dialihkan pandangannya ke sosok Arjuna. Seketika itu juga Caramel merasa ada yang disembunyikan olehnya.
"Halo anak cantik, nama kamu siapa?" Sapa Caramel ramah. Mau gak mau Caramel harus berlutut agar tingginya setara dengan anak kecil itu.
"Nama aku Diva, Tante," sahutnya dengan suara gemas khas anak kecil. "Nama Tante siapa?"
"Diva ngapain di sini? Sama siapa ke sini?" Tanya Arjuna tiba-tiba.
"Sama Uus, Yah," jawab Diva pelan sambil menundukan wajahnya.
"Harus berapa kali Ayah bilang sama Diva? Diva gak boleh nakal. Diva gak boleh dateng ke kantor Ayah. Kalo ada perlu, Diva kan bisa telepon Ayah."
Caramel mengunci mulutnya rapat-rapat. Pandangannya nyaris gak berkedip melihat Arjuna yang menyebut dirinya sebagai "Ayah" dari seorang anak kecil bernama "Diva".
"Diva kangen, Yah. Diva pengen ketemu Ayah." Diva menjawab pelan sambil menundukan wajahnya dalam-dalam.
Arjuna menghela nafas. Dia sama sekali gak nyangka dengan kedatangan Diva tiba-tiba kayak sekarang. Dia sama sekali gak punya persiapan. Dia juga selama ini gak pernah menyinggung soal Diva dihadapan Caramel.
"Diva tau kan Ayah gak suka kalo Diva bersikap kayak gini? Di sini kan Ayah kerja buat Diva. Diva mau Ayah marah lagi sama Diva?"
Diva menggeleng pelan. "Maapin Diva ya Yah. Diva kangen."
"Sekarang Uus mana, Diva? Kamu pulang aja ya sama Uus. Ayah telepon Uus ya?" Arjuna merogoh saku celananya dan menekan sederet angka.
Caramel masih diam di tempat. Entah kenapa otaknya kali ini lambat mencerna kejadian di hadapannya. Semuanya terjadi terlalu cepat.
"Diva mau pulang sama Ayah aja!!" Tiba-tiba terdengar suara tangisan Diva. Tangisan Diva seketika itu juga membuat Caramel mengalihkan pandangan dan bikin amarah Arjuna memuncak.
"Diva pulang sama Tante aja gimana?" Caramel langsung menggendong Diva dan berusaha meredakan tangisnya. Selintas Caramel melihat tatapan sinis sekaligus tanda tanya orang-orang di sekelilingnya. "Nanti sekalian Tante beliin es krim dan buku bacaan. Gimana?"
Diva mengangguk sambil menyeka air mata dengan punggung tangannya.
*
Caramel memasang senyum semanis mungkin saat Diva menoleh ke arahnya. Gadis kecil itu terlihat sangat menikmati es krim yang dipegangnya. Sebuah pemandangan sederhana yang entah kenapa sanggup bikin hati Caramel meleleh dengan sempurna. "Us, udah lama ngasuh Diva?" Tanya Caramel berusaha memecah keheningan.
"Dari Diva baru lahir Bu," sahut Suster Wati. "Kasihan Diva, dari bayi sampe sekarang gak pernah tau ibunya siapa. Dia cuma tau kalo Pak Arjuna sebagai ayahnya."
"Maksudnya gimana, Us?"
"Ibunya Diva meninggal waktu melahirkan Diva, Bu. Dan semenjak saat itu cuma Pak Arjuna satu-satunya keluarga yang dimiliki Diva. Saya pun akhirnya berhenti kerja di rumah sakit karna diminta Pak Arjuna untuk merawat Diva."
Caramel mengangguk pelan. Melihat gadis kecil sepintar Diva bikin hati Caramel pilu. Gadis kecil ini gak pernah tau siapa ibunya. Yang dia tau cuma Arjuna. Itupun mereka jarang ketemu. Sangat wajar kalo pada akhirnya Diva merengek minta dianter ke kantor Arjuna.
Tapi bukan itu yang daritadi mengusik pikirannya. Kenapa selama ini Arjuna gak pernah singgung soal Diva? Siapa Diva sebenernya? Ada apa sebenernya? Apa yang selama ini Arjuna sembunyiin darinya? Kenapa ini malah terjadi di saat dirinya memutuskan untuk berubah demi dirinya?
"Maaf, Bu, kalo boleh tau, Ibu siapanya pak Arjuna?" Pertanyaan Suster Wati menyadarkan Caramel dari lamunannya. "Maaf kalo saya lancang bertanya kayak gitu ke Ibu."
Caramel menggeleng pelan sambil diulasnya seutas senyum. "Saya asisten pribadi sekaligus sekretarisnya."
"Oh, saya pikir Ibu pacarnya ato calon istrinya Pak Arjuna."
"Bukan, Us. Kebetulan, saya juga baru dua bulan jadi asisten pribadinya beliau," sahut Caramel ramah. Sebisa mungkin dia memakai topeng dan berpura-pura. "Arjuna sering dateng nengok Diva, Sus?"
"Dulu sih sering, Bu. Bisa hampir setiap hari. Kalo sekarang hampir gak pernah. Makanya ini Diva rengek minta dianter ke kantor Pak Arjuna."
"Uus dapet alamat kantor dari mana?"
"Dari Pak Arjuna. Beliau selalu info ke saya alamat kantor yang baru dan nomor teleponnya."
"Beliau selalu marah kayak tadi kalo Diva ke kantor?" Caramel masih inget dengan jelas gimana merahnya muka Arjuna tadi saking menahan amarahnya. Caramel berani bertaruh, kalo aja saat itu mereka posisinya bukan di kantor, pasti udah meledaklah itu amarah Arjuna.
"Sebenernya justru baru kali ini Diva ke kantor beliau, Bu. Biasanya Diva cuma telepon kalo kangen," sahut Uus pilu. "Saya kasihan sama Diva. Kehadiran Diva seolah gak diinginkan oleh beliau, Bu. Kayak disembunyiin dan gak boleh ada orang lain yang tau."
Mendengar ucapan Suster Wati barusan bikin hati Caramel tiba-tiba nyeri. Tatapannya beralih memandangi sosok Diva yang masih begitu asik mengulum es krim berbentuk cone itu.
"Diva, mau gak tinggal sama Tante?" Caramel gak bisa menahan dirinya. Naluri keibuannya menginginkan Diva tinggal bersamanya. Toh biar gimanapun, gadis kecil itu pasti membutuhkan figur seorang ibu. Kalo Arjuna gak setuju, biar aja itu jadi urusan nomor dua.
Diva menghentikan aktivitasnya. Sepasang mata mungilnya memandangi Suster Wati beberapa saat seolah meminta persetujuan darinya, namun sayangnya yang dipandangi juga terlihat galau.
"Diva juga bisa panggil Tante dengan sebutan Mama kalo Diva mau," lanjut Caramel lembut.
"Diva pengen punya Mama, Tante." Jawaban polos Diva barusan serta merta bikin Caramel semakin pilu. Tanpa sadar dirinya menitikkan air mata.
Caramel langsung merengkuh tubuh mungil Diva ke dalam pelukannya dan menghilangkan segala celah di antara mereka. Diam-diam Caramel berjanji dalam hatinya bakal berusaha sekuat mungkin menjadi ibu sambung terbaik untuk Diva.
*
Kalo kalian suka sama chapter ini, pliiiis banget vote dan koment. Terima kasih