Chapter 23 - 22

Arjuna meninggalkan mobilnya terparkir begitu aja di sisi lain pantai sakura. Dia pengin menyatu dalam damai bersama dengan ombak yang saling berlomba untuk terhempas bebas di bibir pantai.

Drtdrt ...

Arjuna merasakan smartphone kesayangannya bergetar, tapi sengaja diabaikan. Dia bener-bener pengen merehatkan isi kepalanya. Dari beberapa hari yang lalu dia malah nyaris gak punya waktu istirahat. Meeting demi meeting semua harus dihadirinya secara marathon. Bahkan, kadang dia harus berpindah dari satu kota ke kota lainnya demi rapat-rapat itu. Ya seenggak itu jauh lebih baik daripada harus lari marathon demi menghindar dari tatapan lapar para cewek-cewek matrealistis yang silih berganti mendekatinya.

"Nak ..." Terdengar suara lembut seseorang yang membuat Arjuna menoleh ke arah asal suara. "Tolong saya. Tolong antarkan saya ke rumah sakit. Rasanya saya mau melahirkan."

Arjuna memandangi sosok seorang wanita muda dengan perut membuncit. Wajahnya penuh bulir-bulir keringat dingin dan ... Astaga! Ada darah segar yang mengalir di kakinya. Gak perlu babibu lagi, Arjuna langsung memapah sang ibu masuk ke mobil dan melesat menuju rumah sakit terdekat.

*

Arjuna langsung bangkit dari posisi duduknya. Rasa kantuk yang sedari tadi membekapnya langsung buyar begitu melihat sang dokter keluar dari ruang operasi. Meskipun bukan siapa-siapa si pasien, tapi Arjuna merasa harus memastikan dengan baik bahwa si pasien bakal tetep baik-baik aja setelah ini.

"Gimana Dok?" Tanya Arjuna gak sabar. "Ibu dan bayinya selamat kan?"

Dokter Julius menghela nafas. Raut wajahnya jelas menyiratkan kesedihan. "Bayinya selamat, tapi ..." Dokter Julius terpaksa menggantung kalimatnya. Rasa kemanusiaannya pun tersayat memikirkan nasib sang bayi kelak.

"Tapi apa, Dok?" tanya Arjuna gak sabar.

"Ibu sang bayi mengalami pendarahan hebat. Kami udah berusaha semampu kami, tapi Tuhan punya kehendak lain.", sahut sang dokter lirih.

Arjuna menghela nafas. Entah kenapa tiba-tiba lututnya terasa lemas dan tubuhnya melorot gitu aja di lantai. Entah gimana nasib sang bayi nantinya tanpa sang ibu? sedangkan ayah sang bayi pun enyah.

"Jun ...", Dokter Julius memandangi Arjuna dengan raut serius. Ada sorot permohonan di tatapan beliau. "Tolong, kamu adopsi bayi ini. Bayi ini gak berdosa, dan saat ini cuma kamulah satu-satunya orang yang kelak bakal menjadi pelindungnya."

Apa? Adopsi? Arjuna mengusap mukanya. Dia belom sesiap itu untuk menjadi seorang ayah. Lagipula, gimana dia harus jelasin ke keluarganya nanti? Dia gak mungkin menyembunyikan bayi ini selamanya. Tapi meninggalkannya sendiri di rumah sakit ini sebatang kara juga gak mungkin. Alhasil, Arjuna berdebat sendiri dengan nuraninya.

"Kalo kamu bersedia, saya akan pastikan keluargamu gak mengetahuinya, Jun. Dan saya bakal siapkan satu perawat khusus untuknya. Tolonglah, Jun." Dokter Julius memandangi Arjuna dengan penuh pengharapan.

Bismillah ... Arjuna mengangguk setuju.

*

Arjuna mendekatkan mulutnya ke telinga sang bayi. Dilafazkannya adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kirinya. Dokter Julius benar. Bayi ini sebatang kara. Cuma Arjuna yang membantunya terlahir sempurna ke dunia meskipun tanpa pernah melihat sosok ibu yang melahirkannya. Arjuna gak bakal seegois itu menentang kehadirannya meskipun dia harus pasang badan untuk melindunginya.

"Diva. Kuberi kamu nama Diva.", bisik Arjuna di telinga sang bayi. "Semoga kamu menjadi anak yang soleha dan berbakti, tangguh, dan kuat. Jangan takut. Aku bakal selalu ada untukmu dan melindungimu."

Seolah mengerti dengan ucapan Arjuna, Baby Diva tersenyum lebar. Dan entah kenapa senyuman itu memberi rasa bahagia dan damai di hati Arjuna.

*

Arjuna menutup penjelasannya dengan pandangan mata yang menerawang dan wajah tersenyum. Tangan kanannya masih membelai kepala Caramel dan tangan kirinya masih menggenggam tangannya.

"Kita akan jadi keluarga paling bahagia, Mel. Aku janji bakal bikin kalian bahagia."

"Gak usah sesumbar janji.", sinis Caramel.

"Bukan sesumbar, Sayangku. Tapi itu memang tanggungjawab aku sebagai suami untuk bikin kalian bahagia, dan aku juga bakal bahagia dengan melihat kalian bahagia."

"Tapi lo juga gak bisa sembunyiin Diva dari keluarga besar, Jun."

"Aku tau. Aku udah pikirin semua solusi terbaiknya. Aku yakin, keluarga besar kita bisa menerima Diva jadi bagian keluarga kita dan menyayangi Diva sama kayak nanti mereka menyayangi anak-anak kita."

Caramel mengangguk pelan. Dipejamkannya lagi matanya. Entah kenapa dia mendadak merasa mengantuk.

*

*