Mereka segera keluar. Kepala desa mengantar Dr. Ben dan Pak Hendra melihat-lihat rumah yang dimaksud.
"Tapi saya minta maaf. Saya tidak bisa memberikan materi lain pada kalian. Tapi kalian bisa kerja jadi apapun. Pedagang, membuka usaha atau jasa", ucap Kepala desa sambil berjalan. " Oh, ya. Kamu kan Dokter, kamu bisa buka praktek mungkin disini", lanjutnya sambil menatap Dr. Ben.
Dr. Ben hanya mengangguk pelan. Dan setelah mereka tiba di rumah yang dituju. Kepala desa memberikan kunci pintu masuk rumah itu kepada Pak Hendra. Pak Hendra pun membukanya. Sedangkan Kepala desa pulang kembali ke rumahnya meninggalkan mereka.
Ngikk...
Suara pintu rumah yang lama tak ditinggali dibuka. Menggema hingga bagian belakang ruangan. Rumah itu tak terlalu besar untuk mereka berdua. Dengan dua kamar lengkap dengan segala perabotnya.
Sudah ada sofa nyaman lengkap dengan meja di ruang paling depan. Itu ruang tamunya. Pak Hendra segera merebahkan dirinya di sofa nyaman itu. Penat sekali rasanya berenang ke tepian kemudian dikejar sapi gila. Sungguh melelahkan. Benar benar melelahkan.
Dr. Ben pergi melihat-lihat ke bagian dalam kamar itu. Ia masuk ke kamar pertama yang terletak di samping ruang tamu. Kamarnya kecil, hanya berukuran 3 m x 3 m. Ada dipan lengkap dengan kasurnya. Ditambah satu lemari di sampingnya. Jendela tepat di depannya dilengkapi dengan gorden. Ia membuka lemarinya, dan kosong, tak ada apapun disana hanya ada satu baju bekas sepertinya. Kamar itu biasa saja baginya.
Lalu ia mencoba masuk ke kamar satunya lagi. Kamar itu ada di samping ruang keluarga. Ia melewati dahulu ruang keluarga dengan tv disana. Ia mencoba menyalakan televisi itu. Tapi sayang sekali, itu tak berfungsi. Hanya barisan semut dan suara kresek yang ada dalam televise itu. Lanjut saja ia masuk ke kamar berpintu kayu di samping ruang keluarga.
Hawa dingin terasa kala pertama kali ia masuk. Seperti masuk ke lemari pendingin. Tapi sejuk jika hari sedang panas. Ia semakin masuk ke dalam. Perabotnya sama saja. Ranjang lengkap dengan kasurnya dan sebuah lemari di salah satu sudutnya. Tapi jika di kamar tadi, lemarinya berwarna coklat kayu, di kamar ini, berwarna putih, semacam freezer tapi pintunya bukan terbuat dari kaca. Ia melangkah mendekat ke lemari itu karena penasaran.
Trap..
Trap...
Trap....
Cklek...
" Aa!! Dinginnya", kejutnya pelan yang saat itu juga ia melepaskan tangannya dari pegangan pembuka lemari. Pegangan itu terbuat dari stainless dan itu dingin sekali. 'Apa ini benar-benar freezer?', tanya hatinya.
Ia tak kehabisan akal, ia melepas sarung bantal di kamar itu, dan membungkus pegangan itu. Kemudian, ia membuka penutup itu perlahan.
Ngek....
" Waww...", takjubnya. Apa coba isi didalamnya?
Setumpuk obat-obatan yang tersusun di dalam lemari. Banyak sekali. Dan satu lagi, itu bukan lemari, tapi itu benar-benar freezer. Ada kabel di belakangnya yang terhubung dengan listrik. Dr. Ben mengambil salah satu obat itu, melihatnya, menciumnya, meraba teksturnya.
Ia menutup pintu lebih dulu. Menguncinya. Dan ia berteriak pada Pak Hendra yang berada di ruang tamu, " Pak? Aku istirahat di kamar ini ya?".
Pak Hendra melirik ke sumber suara Dr. Ben berasal. "Silahkan!!", jawab Pak Hendra dari ruang tamu tempatnya merebah.
Kembali lagi pada selemari obat-obatan. Dr. Ben menaruh kembali obat yang tadi diambilnya.
Melihat-lihat obat lain lagi. " Hmm... Ini obat-obatan yang biasa ada di apotik", gumamnya sendiri.
Kemudian ia membalik bungkusnya, dan ada tanggal kadaluwarsa disana.
" Apa? Obat ini sudah kadaluwarsa", ucapnya sambil mengernyitkan dahinya. Kemudian ia melihat tanggal-tanggal kadaluwarsa obat-obatan lainnya. Dan semua obat-obatan itu sudah kedaluwarsa.
" Sayang sekali", gerutunya.
Setelah tahu, ia duduk di atas kasur di kamar itu. Menatap dari sana ke arah setumpuk obat-obatan itu. Tak lama kemudian, ia merebah.
Tiba-tiba hati jahatnya terketuk dan berkata, "Uangmu kan sudah tidak ada. Hilang di lautan. Jual sajalah obat-obatan itu, nanti kamu bakal untung banyak, percaya deh".
Tapi hati baiknya tak mau kalah. "Jangan Ben. Itu gak baik. Biarin aja disitu. Atau laporkan ke Kepala desa", gerutu hati baiknya itu.
" Ya! Aku harus lapor ke Kepala desa", ucap Dr. Ben yag kemudian terbangun dari rebahannya. Hendak membuka kunci pintu.
Tapi saat hendak membuka pintu itu, hati jahatnya kembali merayunya dengan segala keuntungan yang akan didapat bila ia menjual obat-obatan itu, " Ayolah, Ben. Kamu butuh uang kan? Jual sajalah. Gak bakal ketahuan juga kan? Nanti kalau untung banyak kan bisa ketemu Arash".
Mendengar nama 'Arash' dalam bisikan jahat setan, ia menjadi tergiur. Baru saja ia keluar dari pintu, ia kembali masuk dan mengurungkan niatnya. Kemudian kembali masuk ke dalam kamar yang sudah ia klaim jadi miliknya.
"Aku akan jual obat-obatan ini. Tak semua obat-obatan ini buruk saat kedaluwarasa"
Sebenarnya, penduduk normal disana hanya sedikit, mungkin masih terhitung oleh jari. Tapi berbeda dengan para tahanan. Para tahanan disana, masihlah manusia normal, semuanya. Ditambah Para penjaga juga. Hanya penduduk yang bukan manusia normal. Mereka manusia abnormal, yang diracuni Max melalui udara.
Lantas jika melalui udara, mengapa para tahanan, para penjaga dan orang lain yang manusia normal masihlah normal, tidak menjadi abnormal?
Jadi, saat Max melancarkan aksinya, Kepala desa, putrinya, dan para penjaga sedang berangkat ke luar pulau itu. Semacam ada pertemuan para penjaga dengan pulau lain.
Lalu para tahanan?
Asal kalian tahu, awalnya desa itu aman-aman saja, tanpa harus membuat penjara. Masuk ke pulau tempat desa itu berada juga sangatlah mudah. Hanya tinggal melintasi laut. Jadi, jika ada penjahat, Kepala desa bisa menjebloskannya langsung ke penjara milik pemerintah. Tapi, semenjak Max mengurungnya dengan tembok, disertai dengan sapi gila, Kepala desa memutuskan untuk membuat desa yang bekerja layaknya sebuah kota. Ada penjara, rumah sakit meski kecil, pasar, pertanian, ladang, peternakan, dan lainnya. Mereka mengolah semuanya sendiri sejak saat itu. Ada juga para pekerja yang ia datangkan dari dunia luar.
Nah! Para tahanan itu, asalnya dari warga desa normal yang terpaksa melakukan kejahatan, karena tak tahan akan kehidupan disana. Tapi tak hanya warga, ada juga yang tadinya penjaga, Dokter, dan bahkan para pendatang seperti Beno kemudian dituduh manusia abnormal lalu dijebloskan ke penjara.
Kembali lagi pada kisah Dr. Ben. Keesokan harinya, ia berbicara pada Kepala desa untuk membuka praktik disini. Ia juga bicara, ia sudah punya izin praktik, tapi karena kecelakaan kemarin, jadi ia tak bisa tunjukkan izinnya itu. Kepala desa itu percaya begitu saja pada Dr. Ben, ia memberikan izin untuk buka praktik disana, kebetulan desa itu kekurangan Dokter, karena kebanyakan Dokter bekerja di penjara saja.
Saat setelah itu juga, Dr. Ben membuat tulisan "Praktik Dokter ". Ia membuat kamarnya kemarin menjadi kamar pasien. Tak menunggu lama, ada seorang warga berlari menggendong anak mengetuk pintu rumah yang ditempati Dr. Ben dan Pak Hendra.
" Permisi!! ", teriaknya panik.
Dr. Ben membukanya. " Tolong anak saya, Pak! Bapak buka praktik kan?", tanya wanita itu.
" Iya.. Iya mari masuk", ajak Dr. Ben pada wanita itu. Kemudian mereka masuk ke kamar Dr. Ben. Dengan cepat si Ibu menidurkan putranya diatas ranjang Dr. Ben.
Dr. Ben segera menempelkan stetoskop di atas dada dan perut anak itu. Stetoskop itu juga ia temukan di dalam lemari itu.
Dug..dug..dug..
Detak jantung anak itu terdengar lewat stetoskop yang ia tempelkan. Anak itu tak sadarkan diri. Kemudian Dr. Ben membuka mata anak itu, lalu menyorotkan senter ke matanya.
" Apa yang terjadi pada anak ibu sebelumnya?", tanya Dr. Ben.
Sambil menangis, Ibu itu menjelaskan kronologisnya secara singkat. Dari cerita si Ibu, Dr. Ben mengerti dan tahu apa yang anak itu idap. " Anak ibu mengidap asma. Saya tidak punya inhalernya, tapi saya ada obat-obatan untuknya", ucap Dr. Ben yang kemudian mengambil obat-obatan di dalam lemari lalu memberikannya pada ibu itu dengan dosis.
" Berapa harganya?", tanya ibu itu sambil membantu anaknya bangun dari siuman.
" 15 ribu aja Bu", jawab Dr. Ben.
" Murah sekali, biasanya kalau saya berobat minimal 50 ribu", kata Ibu itu sambil memberikan uang pecahan 10 ribuan dan 5 ribuan.
Senyuman manis muncul di atas wajah Dr. Ben.
"Terima kasih Bu. Semoga lekas sembuh", ucapnya. Si Ibu pergi dengan anaknya yang sudah siuman tapi kembali digendongnya karena anaknya itu terkulai lemas.
Seperginya ibu itu, Dr. Ben tersenyum sendiri. Diatas sebuah kursi yang sengaja ia bawa masuk ke kamarnya. " 15 ribu pertama", gumamnya.
" Kalau aku bisa dapat 10 pasien saja, aku sudah dapat 150 ribu. Dan itu tanpa modal", tambahnya lagi.
" Ben? Ayo makan!", ajak Pak Hendra yang tiba-tiba datang setelah menghilang semenjak tadi pagi.
Pak Hendra tidak tahu kalau Dr. Ben buka praktik.
Saat Dr. Ben dan Pak Hendra sudah ada di ruang makan baru Pak Hendra bertanya perihal praktik itu, "Kamu buka praktik, Ben?".
" Iya", jawab Dr. Ben yang kemudian segera menyantap makanan yang sudah terhidang di meja.
Pak Hendra tak lanjut bertanya tentang praktik yang Dr. Ben buka. Ia lanjut makan saja bersama Dr. Ben. Ia sudah anggap Dr. Ben seperti anaknya. Dulu anaknya hilang saat masih kecil. Entah kemana anak itu. Kalau anaknya itu masih ada, mungkin sudah seumuran dengan Dr. Ben. Anaknya yang hilang itu perempuan, kalau saja dia masih bersamanya, Pak Hendra berpikiran akan menjodohkannya dengan Dr. Ben.
Saat mereka tengah asyik makan. Tiba-tiba ada seseorang mengetuk pintu depan rumah mereka. Dr.Ben segera berdiri dan membuka pintunya. Sudah ada banyak penjaga dan ibu yang tadi datang padanya.
" Tangkap dia, Pak!", seru ibu itu.
Dr. Ben bingung. " Kenapa saya ditangkap? Apa salah saya?", tanya Dr. Ben. Tanpa menjelaskan apapun, Para penjaga segera menangkapnya.
" Kamu sudah membuat anakku meninggal! Anak saya minum obat darimu!! Tanggung jawab kamu!!", teriak ibu itu pada Dr. Ben dengan anak yang terkulai di gendongannya.
Mendengar teriakan itu, Pak Hendra keluar dari rumah itu dan agak terkejut saat dia melihat Dr. Ben sudah digiring oleh banyak penjaga menuju penjara. Kepala desa datang menghampiri Pak Hendra.
Pak Hendra yang menyadari kedatangan Kepala desa segera bertanya mengenai kejadian itu, " Ada apa ini, Pak?".
" Ia menjual obat-obatan kedaluwarsa, Pak", singkat Kepala desa yang kemudian masuk ke dalam kamar Dr. Ben diikuti dua orang penjaga. Mereka akan mengamankan obat-obatan itu.
" Apa? Aku pikir dia anak baik. Dia tak mungkin melakukan itu. Dari mana ia mendapat obat-obatan kedaluwarsa itu?", tanya Pak Hendra yang tak percaya sambil melangkah mengikuti Kepala desa masuk ke kamar Dr. Ben.
" Ikuti aku, aku akan menunjukkan sebuah buktinya", ucap Kepala desa yang kemudian dia membuka pintu kamar Dr. Ben.
" Cari obat-obatan itu!!", tambah lagi Kepala desa pada kedua penjaga yang tadi mengikutinya.
Mereka mencari obat-obatan kedaluwarsa yang Dr. Ben jual. Dan dengan mudahnya mereka berhasil menemukan obat-obatan itu.
"Ini Pak!", ucap salah satu penjaga yang menemukan obat-obatan dalam lemari putih.
" Lihat! Ini obat yang Ben jual", tegas Kepala desa.
Mata terbelalak, Pak Hendra tak menyangka Ben melakukan itu. " Tapi Ben tak mungkin melakukan itu, ia tak membawa apapun semenjak heli kita terjatuh", bela Pak Hendra.
Kepala desa tak menyahut. Ia tak peduli alasan apapun. Di desa itu, yang sudah terciduk melakukan kejahatan, ia akan menanggung resikonya. Masuk penjara.
Itulah awal mula mengapa Dr. Ben masuk penjara. Lalu Kepala desa mengusulkan agar kemampuan Dr. Ben dipakai di penjara ini. Ia mengusulkan agar Dr. Ben mengabdikan dirinya tanpa dibayar.