Chereads / Pulau yang Hilang / Chapter 46 - Melepas Penanda

Chapter 46 - Melepas Penanda

Pagi pun tiba kembali. Mentari kembali menyinari bumi yang mereka pijaki. Hangatnya menusuk tulang hingga hati. 'Terima kasih Tuhan masih memberi kami kesempatan', ucap Beno dalam hati.

Sekembalinya mereka dari kamar Dr. Ben, Beno dan Andre memutuskan untuk kembali tidur sebelum akhirnya bangun tepat pukul 9 pagi.

" Apa? Jam 9?", ucap Beno sambil melihat ke arah jam digital di meja sebelah kirinya.

" Dre!! Bangun dre!", teriaknya yang membuat Andre terbangun dengan terkejut.

" Ada apa sih Ben?", tanya Andre yang masih setengah terkejut.

Sembari menuju kamar mandi, Beno menjawab, " Lihat jam itu Dre!!".

Andre segera melihat jam digital di atas meja. " Apa? Kok udah jam 9?", kagetnya.

" Ben!! Mandinya jangan lama-lama", serunya pada Beno yang sedang membersihkan diri.

Setelah Beno keluar dari kamar mandi, giliran Andre yang membersihkan diri. Karena Beno sedang terburu-buru, ia segera menuju ruangannya. " Dre!! Aku duluan ya!", tegasnya sambil keluar dari kamar.

Langkah yang lebih cepat dari biasanya, semakin tampak kalau Beno sedang terburu-buru. Takutnya, semua orang bahkan Max curiga, kalau hanya dia yang bisa membuka akses IT disana. Kalau dia baru datang jam segini, mungkin tak ada orang disana yang bisa membuka aksesnya bahkan Max pun tak bisa. Bisa-bisa mereka curiga akan rencana Beno.

Pintu ruangannya terbuka lebar. Tapi tak ada seorang pun disana. "Kemana mereka?", tanya Beno pada diri sendiri.

Ruangannya kosong. Layar-layar masih mati. Meja dan kursi disentuhnya dan semua benda masih dingin.

" Baguslah kalau mereka belum datang", gumamnya.

Ia segera menyalakan semua layar dan akses sebelum orang-orang hadir di ruangan itu. Tiba-tiba, ada salah seorang pekerja disana masuk ke ruangan itu.

"Kemana yang lainnya? Kok belum kesini?", tanya Beno padanya.

" Lho, Bapak gak tahu? Kan semua orang ngumpul di ruang makan. Pak Max ulang tahun hari ini, ia meliburkan karyawannya dan mengadakan acara ulang tahun di ruang makan", jelas karyawan itu.

" Oh ya? Kok saya gak tau?", tanya Beno memastikan.

" Ya sudah, ayo ke ruang makan Pak", ajak karyawan itu sambil menuju ke luar ruangan itu.

Beno membuntuti karyawan itu yang menuju ke ruang makan. Sebelumnya, ia menutup dulu akses dan pintu masuk ke ruangan itu.

Setibanya di ruang makan. Benar saja, dekorasi ruangan yang elegan dan mewah, banyak orang berkumpul disana, bahkan Andre juga ada disana?

" Kok Andre gak ngasih tau sih", gumamnya.

Segera ia menghampiri Andre yang berdiri di dekat meja yang sudah terhidang banyak makanan di atasnya. " Lho, kok kamu gak ngasih tau sih?", tanya Beno saat ia sudah berdiri di samping Andre.

"Uhuk..", batuk Andre yang terkejut akan kedatangan Beno tiba-tiba. "Apaan sih Ben ngangetin aja. Oh ya aku lupa kasih tau kamu tadi. Kamu sih buru-buru", lanjut Andre.

Gemerlap lampu warna-warni menghiasi ruangan itu. Musik menggema disana. Goyangan badan terlarut dalam musik itu. Tapi berbeda dengan Beno, Andre dan juga Dr. Ben yang hadir disana.

Dr. Ben mengajak kedua temannya ke lab Prof. Wizly.

Lab Prof. Wizly?

Untuk apa?

Semua ruangan sepi. Karena semua orang berkumpul disana. Kecuali para penjaga. Mereka senantiasa menjaga setiap sudut ruangan di bunker. Beno, Andre dan Dr. Ben menuju lab Prof. Wizly dengan hati-hati.

Tapi untungnya, di Lab tempat para peneliti tak ada penjaga satupun. Hanya saja cctv pengaman sangatlah ketat yang sayangnya Beno dan kawan-kawannya tidak mengetahui hal itu. Lalu bagaimana jika mereka ketahuan? Tapi lupakan saja dulu hal itu. Lanjut dengan kisah Beno, Andre dan Dr. Ben menuju lab itu.

" Ayo ikuti aku", ajak Dr. Ben yang jalan di barisan paling depan.

Beno dan Andre mengikuti Dr. Ben dari belakang. " Mau apa sih kita kesini?", tanya Andre yang sepertinya dengan terpaksa harus meninggalkan pesta demi sebuah misi.

Dr. Ben tak menyahut apa yang ditanyakan Andre. Ia terus saja berjalan masuk ke ruangan Prof. Wizly diikuti Beno dan Andre. Hingga langkah Dr. Ben terhenti tepat di depan sebuah dental chair. Dan tangannya memegang salah satu benda yang tergeletak di atas meja Prof. Wizly.

" Apa itu?", tanya Beno yang mulai curiga pada benda yang dipegang Dr. Ben.

" Sini kalian! Biar aku cek, apa kalian terdeteksi benda ini atau tidak?", tegas Dr. Ben pada Andre dan Beno.

Andre dan Beno segera mendekat pada Dr. Ben. Dengan cepat pula Dr. Ben melekatkan benda di tangannya di tengkuk Beno dan Andre. Dan ternyata,

Trit...kedua temannya itu terdeteksi oleh benda tersebut.

" Kalian terdeteksi", ucap Dr. Ben santai.

" Apa maksudmu?", tanya Andre penasaran.

Sambil meletakkan kembali benda itu dengan rapi seperti semula, Dr. Ben menjawab pertanyaan Andre dan menjelaskan secara rinci tapi singkat tentang penanda di tengkuk mereka.

" Jadi kita harus menghilangkan penanda ini. Agar jika kita kabur, kita tidak akan terdeteksi", ucap Dr. Ben.

Pembedahan segera dimulai. Diawali dari Andre. Dr. Ben yang ahli dalam hal bedah membadah, membedah tengkuk Andre dibantu oleh Beno. Andre tidak dibius dulu. Ia langsung membedahnya. Sayatan demi sayatan dirasa perih oleh Andre. Tapi ia rela menahannya. Air mata juga ikut bercucur. Jeritan dari mulutnya ia tahan agar tak menimbulkan curiga. Hingga akhirnya bedah itu pun selesai. Sakit akibat sayatan pembedahan itu masih terasa. Tengkuknya ditutup perban dan ditetesi cairan khusus agar lukanya cepat mengering.

Kini giliran Beno yang dibedah oleh Dr. Ben dibantu oleh Andre. Dr. Ben meminta Andre dan Beno tadi memperhatikannya membedah. Agar mereka bisa melakukan hal tersebut juga pada Dr. Ben.

Giliran Beno beres, kini tinggal Dr. Ben yang akan dibedah. Tapi..

" Hei!! Sedang apa kalian?", tiba-tiba penjaga muncul dari lift yang membuat Andre dan Beno juga Dr. Ben terkejut. Dr. Ben yang hendak berbaring di atas dental chair dan melepas bajunya kembali terbangun dan segera mengenakan bajunya.

Andre segera menapis pertanyaan penjaga itu, "K...Kami..sedang..emm..". Beno segera melanjutkan ucapan Andre yang terbata-bata, " Memeriksa Dr. Ben, katanya dia kurang enak badan".

" Iya, badanku sakit semua. Makanya aku minta diantar mereka untuk memeriksa tubuhku disini", ungkap Dr. Ben.

Penjaga itupun percaya dan meninggalkan mereka. Kini mereka bisa melanjutkan kembali aksinya. Dr. Ben kembali melepas baju yang dikenakannya. Dan kembali berbaring menelungkup di atas dental chair yang diluruskan.

Baik Beno maupun Andre, mereka belum pernah membedah manusia. Hanya saja, Beno kan sering membedah alat-alat elektronik dan semacamnya. Jadi ia pikir itu tak jauh beda dengan membedah manusia. Andre juga pandai dalam pengetahuan anatomi manusia. Jadi mereka pikir, mereka bisa melakukannya. Ditambah lagi, tadi mereka telah menyaksikan Dr. Ben saat membedah.

Sayatan pertama di tengkuk Dr. Ben, Andre yang melakukan itu...

Sayatan kedua... Perih terasa, darah pun mulai menderas. Beno mengelap darah yang keluar itu.

Sayatan ketiga.... Benda semacam benang hitam tapi sangatlah tipis mulai terlihat...

Sayatan keempat... Kini giliran Beno yang bekerja. Ia menggunakan pinset untuk menarik perlahan penanda yang serupa dengan benang itu di tengkuk Dr. Ben. Benda itu cukup panjang. Beno berusaha terus menariknya secara hati-hati agar tidak putus.

Perlahan...

Tiba-tiba ponsel di saku Beno berdering. " Sial, siapa ini?", gerutunya. " Andre tolong ambilkan ponselku di saku jas", perintahnya pada Andre karena ia sedang menarik benda semacam benang itu dan menjaganya agar tidak putus.

Andre segera merogoh saku jas Beno, tapi sepertinya tangannya menyenggol siku Beno hingga menyebabkan benang penanda itu putus. " Argh... Andre. Ini putus. Dokter kita harus gimana?", tanya Beno khawatir.

" Maaf, aku gak sengaja. Ini Max", kata Andre.

" Angkat saja, bilang kita ada di kamar. Aku saja tidak enak badan", suruh Beno. Andre mengangkat telepon dulu dari Max.

"Halo? Max?", sapa Andre.

" Andre? Dimana kalian?", tanya Max di telepon.

" Kami ada di kamar. Em.. Beno gak enak badan katanya. Makanya aku antar dia ke kamar", jawab Andre.

___________________________________

" Coba kamu cari lagi putusan benang itu", ucap Dr. Ben. Dan tanpa sengaja ucapan Dr. Ben itu terdengar oleh Max lewat telepon.

" Iya aku sedang berusaha", jawab Beno.

___________________________________

" Itu suara Dr. Ben kan?", tanya Max pada Andre.

Tak ingin Max semakin curiga ia segera menjawab pertanyaan Max, " I..iya. Aku memanggilnya untuk memeriksa Beno".

" Oh.. Seperti itu. Ya sudah semoga cepat sembuh ya", ucap Max. Yang kemudian ia menutup teleponnya.

" Sudah. Aman", ucap Andre pada kedua temannya.

" Cepat Ben", lanjutnya.

Beno terus berusaha mencari putusan benang penanda itu. Dan ya... Akhirnya ia berhasil menjepitnya dengan pinset. Dan kembali menariknya.

Trap... Akhirnya semua benang berhasil tercabut dari tengkuk Dr. Ben. Kini tinggal menjahit bagian yang sudah disayat. Giliran Andre yang menjahitnya. Ia harus bisa menjahitnya dengan rapi.

Jahitan pertama... Jahitan kedua... Jahitan ketiga...

Tiba-tiba Beno mendengar suara yang samar-samar. Ia mendekati arah suara itu. Suara itu berasal dari speaker kecil di meja Prof. Wizly.

" Awasi setiap sudut ruangan!", suara Max dibalik speaker kecil itu. Sepertinya ia curiga saat Andre, Beno dan Dr. Ben bersama. Ia tak mau ambil resiko kalau mereka sedang merencanakan sesuatu. Dan memang mereka sedang merencanakan sesuatu itu.

" Gawat! Para penjaga disuruh mengawasi. Kita harus bergerak cepat menuju kamar! Ayo cepat!!", perintah Beno.

" Tapi Ben. Aku belum selesai menjahit ini", kata Andre.

Sembari membereskan barang-barang yang tadi mereka gunakan, Beno meminta agar Andre membawa saja alat yang akan dibutuhkan. Kita bisa melanjutkannya di kamar.

Setelah semua rapi kembali. Beno menarik kedua temannya itu untuk segera keluar dan menuju ke kamar. Dengan Jarum jahit masih tergantung di tengkuk Dr. Ben. Darah yang masih segar mengalir melewati punggung Dr. Ben.Mereka berlari menuju lift. Dan turun kebawah. Darah dari tengkuk Dr. Ben masih mengalir meski tak sebanyak tadi. Tubuhnya melemas karena aliran darah yang terus keluar. Andre dan Beno memapahnya keluar dari lift. Untung saja penjaga belum sampai kesana. Jadi mereka bisa leluasa masuk ke kamar.

Setibanya di kamar, Dr. Ben dibaringkan di atas ranjang. Andre kembali melanjutkan pekerjaannya tadi. Ia kembali menjahit luka sayatan di tengkuk Dr. Ben. "Tahan ya Dok", ucapnya.

Dr. Ben hanya bisa menahan rasa sakit jahitan itu dengan rasa lemas di seluruh badannya. Beno pergi ke kamar mandi. Mencari obat pereda nyeri dan penambah darah juga untuk Dr. Ben dalam lemari kecil di balik cermin kamar mandi. 'Pasti Dr. Ben lemas karena kehilangan banyak darah', pikirnya.

Andre selesai menjahit rapi tengkuk Dr. Ben. Lalu Beno memberikan obat yang tadi ia bawa pada Dr. Ben. Sebelum meminum obat itu, ia membaca aturan pakai dan kegunaannya serta kandungan didalamnya terlebih dahulu. Ia meminum dengan dosis yang cukup banyak. Ia seorang dokter, ia tahu apa yang ia lakukan itu.

Baru saja meminum obat itu, suara langkah kaki terdengar semakin dekat. Sepertinya ada orang yang menuju kamar mereka.

" Dre?", ucap suara dibalik pintu. Sepertinya itu suara Max.

" Itu Max", ucap Andre terkejut sambil menuju pintu. Ia meminta Dr. Ben dan Beno bersandiwara seperti yang Andre ceritakan di telepon tadi.

Beno segera berbaring. Dan Dr. Ben segera duduk di sampingnya meski ia masih merasakan lemas di tubuhnya.