Chereads / Pulau yang Hilang / Chapter 47 - Bedah ulang

Chapter 47 - Bedah ulang

Pintu kamar dibuka oleh Andre. " Ada apa Max?", tanya Andre.

Tanpa mengucap sepatah katapun untuk menjawab pertanyaan Andre, Max pun masuk begitu saja ke dalam kamar itu.

Max melihat beno yang terbaring. Dan Dr. Ben duduk tersenyum manis menatapnya. " Beno sepertinya kelelahan. Tapi tenang saja aku sudah memberinya obat. Biarkan dia istirahat kali ini", ucapnya pada Andre dan Max.

" Ya tenang saja. Hari ini aku liburkan semua pekerja di bunker ini agar bisa ikut di pestaku. Tapi jika kau sakit, kau bisa gunakan hari liburmu untuk istirahat. Semoga lekas sembuh Beno", ucap Max yang kemudian kembali menuju pestanya. Ia tak mendapati hal yang mencurigakan disana. Atau mereka hanya berpura-pura saja untuk menutupi itu.

" Huh... Aman..", ucap Andre setelah menutup pintu dan memastikan Max sudah jauh dari kamarnya. Beno kembali terbangun dan Dr. Ben menyandarkan tubuhnya di dinding belakang ranjang.

Belum juga masuk ke lift, ia balik lagi ke kamar Andre. Ia membuka pintu tanpa mengetuknya.

Ia menatap ke arah ranjang. Dan ia masih mendapati Beno tertidur dengan Dr. Ben yang setia di sampingya. Lalu ia menatap Andre dan berkata, " Ndre, kamu ikut ke pestaku". Setelah mengatakan itu pada Andre, ia segera keluar dari kamar dan menuju pestanya kembali.

" Ahh.. Untung saja aku mendengar langkahnya tadi. Kalau tidak, bisa bahaya ini", ucap Andre yang kemudian meninggalkan Beno dan juga Dr. Ben. Tapi sebelum pergi, ia berkata pada Beno, " Aku pergi dulu Beno. Jaga Dr. Ben ya. Dan... Hati-hati".

Beno mengangguk pelan sambil terbangun dari tidurnya. Ia membaringkan Dr. Ben kembali. Membiarkannya istirahat. Ia mengunci pintu masuk kamarnya. Saat itu juga ia melihat sesuatu di gagang pintunya. Benda semacam kepik yang menempel di kalung Andre dulu. Lantas ia segera mencabutnya.

' Kenapa ada benda ini, disini?', gerutunya dalam hati sambil menatap benda itu. Ia segera meletakkannya di atas meja. Dan membedahnya, mencabut beberapa kabel, agar itu tak berfungsi. Lalu agar Max tak curiga, ia memasangnya kembali di gagang pintu.

Setelah ia rasa semuanya aman, Beno membaringkan tubuhnya di samping Dr. Ben. Lelah juga bekerja diam-diam. Saat ia hampir terlelap, ia terlupa satu hal. Ia tadi mematikan semua sistem di lab. Ia harus menyalakannya kembali. Bisa-bisa Max curiga nanti kalau dia tidak bisa menyalakan sistem itu.

Segera ia melangkah menuju ruangannya. Masuk lift. Keluar lift. Masuk ruangannya. Dan Membuat sistem itu bisa diakses bebas oleh Max seperti dulu. Tapi, tak semuanya bisa diakses Max. Hanya hal-hal yang sifatnya umum saja. Lalu ia kembali ke kamarnya lagi.

Setelah ia masuk lift, ia melewati semua lantai di bunker. Termasuk ruang makan yang digunakan tempat Max berpesta. Dan saat ia melewati ruangan itu. Tanpa sengaja ia melihat sepasang mata yang tak asing baginya itu melihatnya. Sepertinya memanggilnya juga. Tapi tak terdengar Beno karena terhalang pintu lift yang terbuat dari kaca ditambah lagi lift itu terus melaju.

Setelah lift terhenti di lantai paling dasar, Ia pun segera keluar dari sana. Berjalan setengah lari menuju kamarnya. Ia tahu Max tadi melihatnya. Ia segera memikirkan berbagai alasan yang akan ia gunakan jika Max menginterogasinya.

Dan benar saja, saat Beno hendak membuka pintu kamarnya, ada seseorang memanggilnya, " Beno! Tunggu!".

Itu suara Max. Ia mendekat ke arah Beno. Beno segera membalikkan badannya. Wajah lemas segera ia pasang saat berbalik. " Ada apa Max?", tanyanya polos.

" Darimana kamu? Katanya sakit", tanya balik Max curiga.

Beno menghela napasnya terlebih dahulu sebelum ia menjawab, " Aku dari mejaku. Benda ini tertinggal disana". Sambil menunjukkan sebuah pena cantik berukirkan namanya.

" Waw.. Cantik sekali, itu milikmu?", kagum Max.

" Ya, ini pemberian ayahku. Hanya benda ini dan jaket pemberiannya juga yang bisa membuatku merasa dekat dengannya", jelas singkat Beno.

Max tersenyum kecil pada Beno. Ia melihat wajahnya memang sedikit pucat. " Yasudah, kembali istirahatlah. Wajahmu pucat", ucap Max yang kemudian meninggalkan Beno.

' Wajahku pucat?', tanya Beno pada dirinya sendiri. Kemudian ia masuk kamarnya, menemui Dr. Ben didalam. Tapi sebelum ia kembali berbaring di kasur ternyamannya, ia menuju cermin yang juga sekaligus pintu. Ia mendapati wajahnya pucat. 'Apa karena pembedahan tadi? Tapi Andre sepertinya baik-baik saja', gumamnya.

Setelah bercermin cukup lama, ia kembali ke ranjang. Mencoba mengistirahatkan tubuhnya. Berharap setelah istirahat, ia bisa kembali pulih dan pucat di wajahnya hilang.

Saat hendak menutup matanya, tiba-tiba dia mendengar suara adzan berkumandang, sepertinya dari ruang ibadah. Tapi, biasanya tak sampai terdengar ke kamar. ' Apa Max memasang speaker di lantai ini?', tanya hatinya. Kumandang adzan itupun membuatnya kembali terbangun. Tapi, ia memilih shalat di kamar saja. Ia merasa lelah harus keluar kamar.

Lantas ia masuk ke kamar mandi, membersihkan diri dan mengambil air wudhu. Lalu menggelar sajadah dan kemudian menunaikan shalat dzuhur 4 rakaat. Sehabis itu, dia tak buru-buru merapikan sajadah, tapi ia memanjatkan banyak doa pada Alloh SWT, Tuhannya. Do'anya masih sama. Ia selalu berharap agar bisa kembali bertemu orangtuanya.

Seusai shalat, Beno melanjutkan niatnya untuk istirahat di samping Dr. Ben. Sebelum akhirnya terlelap, ia berbaring telentang di atas kasur sambil menatap langit-langit kamar yang bersih putih. Hingga akhirnya dia benar-benar terlelap. Tenggelam dalam dunia mimpinya sendiri.

Tidur lelapnya terbangunkan oleh Andre yang memanggil-manggil namanya. Segera terbangunlah Beno. Jam dinding adalah benda yang pertama kali ia lirik saat bangun. Denting jarum menunjukkan pukul 3. Ya sekarang pukul 3 sore.

Setelah meratapi jam dinding, segera ia meloncat ke arah cermin kemudian menatap bayangan wajahnya disana. Ia tersenyum sendiri dibuatnya.

Andre yang melihat tingkahnya, ia keheranan lalu bertanya, " Kamu kenapa? Bangun tidur langsung madep cermin terus senyum-senyum sendiri lagi".

Masih di depan cermin, ia melihat bayangan Andre sedang berdiri di depan tirai penghalang jendela kaca yang mana itu tepat dibelakangnya. Ia hanya tersenyum kala Andre memperhatikannya. Tanpa banyak bicara lagi, ia berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh mukanya, sekaligus berwudhu untuk selanjutnya menunaikan shalat.

Sajadah digelarnya di tempat yang ia anggap bersih. Di depan ranjang. Lalu Shalat ditunaikannya menghadap kiblat yang kebetulan menghadap cermin besar di depannya. Semua gerakan shalat dilakukan lengkap dengan bacaannya. Dan kini ia sudah mencapai tahap akhir dalam shalat. Tahiyat Akhir.

" Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarakatuh", ucap dari mulutnya yang kemudian dihadapkan ke kanan. Disambung dengan menghadap ke kiri. Saat itu juga, dia melihat ke arah ranjang yang memang ada disampingnya kala itu. Tapi.. Sepertinya ada yang hilang. " Dr. Ben mana?", cetusnya kala itu juga dengan nada yang cukup keras.

Andre yang saat itu tengah merapikan pakaiannya di lemari dekat kamar mandi langsung berbalik ke arah suara Beno. "Kan tadi sama kamu tidur . Aku baru dateng pas bangunin kamu. Mana ku tau dia dimana", jawabnya.

" Iya tadi memang dia lagi tidur di sampingku. Tapi kenapa tiba-tiba gak ada", jelasnya singkat.

" Mungkin dia kembali ke kamarnya", ucap Andre yang berusaha membuat Beno tenang.

Tanpa banyak tingkah lagi, Beno segera berlari keluar kamar. Mencari Dr. Ben yang sebenarnya ia tak tahu harus kemana mencarinya. Tapi tujuan pertamanya adalah kamar Dr. Ben.

Ia segera masuk lift dengan tujuan lantai paling atas. Saat ia keluar lift, ia mendapati semua ruang masih saja kosong. Ruang pengendali pun sama. Hanya petugas kebersihan dan penjaga. Beno segera keluar menuju pintu utama. Dan melewati jalanan aspal. Matahari yang hendak terbenam bersinar menyoroti jalanan itu. Lengang. Tanpa kendaraan yang biasanya ada beberapa sebagai pengangkut barang.

Ia menghabiskan waktu kira-kira 1 menit untuk melewati jalanan aspal yang sepertinya panas karena tersorot matahari. Selanjutnya ia masuk ke dalam gudang penyimpanan semua barang yang mana disana juga lah kamar Dr. Ben. Tapi di bagian atas. Hanya berjarak 50 meter dari pintu masuk gudang, ia menaiki tangga besi yang mengarah ke kamarnya. Menapaki lantai yang terbuat dari besi juga. Lalu mengetuk alah satu pintu disana.

Setelah beberapa ketukan dan sapaan ia lontarkan, tapi tak ada jawaban sama sekali. Ia mencoba membuka pintu yang sepertinya tak dikunci itu. Perlahan.... Karena terdengar bunyi decitan yang bersumber dari pintu itu bila dibuka terlalu kencang.

Matanya sedikit disipitkan melihat tubuh wanita di kamar Dr. Ben yang sepertinya ia kenal. " Arash?", sapa Beno sembari melangkah masuk.

Sosok wanita yang tadi dipanggil Beno membalikkan badannya. Dan benar saja itu arash. 'Arash? Bukannya dia di penjara?', batinnya.

Dan bukan hanya Arash saja yang ada disana, tapi Dr. Ben juga. Dia sedang membedah tengkuk Dr. Ben. Lagi. ' Dibedah lagi? Kenapa?', tanya lagi dalam batinnya.

" Hai Beno! Tutup kembali pintu itu", pinta Arash yang tengah sibuk menjahit kembali tengkuk Dr. Ben.

Beno menuruti perintah Arash untuk menutup pintunya. Kemudian mendekati mereka. " Kenapa...", tanya Beno yang belum juga ia selesai bertanya sudah dijawab Dr. Ben, "Tadi aku kembali saat kau masih tidur. Aku kembali ke kamar mencoba mengecek apakah penanda ini sudah hilang atau belum. Tapi ternyata belum. Karena situasi aman, aku ajak Arash lewat ventilasi dan kemudian memintanya membedah ini kembali. Dan benar saja, masih ada sesuatu dari penanda itu yang tertinggal".

" Aku minta maaf, aku tak ahli membedah manusia", sesal Beno.

" Sudah selesai", ucap Arash, kemudian dia menempelkan pendeteksi itu di tengkuknya dan ia sudah benar-benar tak terdeteksi.

Dr. Ben bangun dari tengkurapnya, duduk di samping ranjangnya. Kemudian tersenyum manis pada Beno.

"Tak apa Beno. Aku mengerti", jawab Dr. Ben untuk permintaan maaf Beno.