Chereads / Pulau yang Hilang / Chapter 43 - Kaburnya Dr. Ben (flashback)

Chapter 43 - Kaburnya Dr. Ben (flashback)

Beno dan Andre kembali ke kamar mereka, tapi bukan lewat jalan besar melainkan lewat lorong yang menuju cermin di kamarnya. Hingga mereka tidak akan ketahuan.

Sekembalinya Beno dan Andre ke kamar. Dr. Ben sendirian di kamarnya. Lelah rasanya, kemarin terjebak kejar-kejaran dengan Prof. Wizly.

'Rasanya tubuhku sangat lelah. Aku mau mandi dulu. Mungkin akan sedikit meringankan kelelahan ini', ucap batinnya.

Di kamarnya itu, ada satu kamar mandi. Hanya berukuran 6m². Didalamnya ada sebuah cermin berukuran 20x30 cm. Yang dibaliknya adalah sebuah penyimpanan obat dan peralatan mandi miliknya. Ia menatap wajahnya di cermin. Lalu ia memegang tengkuk yang ia rasa sedikit berbeda dari biasanya. Terasa agak berat. 'Apa mungkin karena kelelahan?', tanya yang ada dalam otaknya.

Ia kembali meraba tengkuknya itu. Oh, ya ia baru ingat kalau ia punya alat pendeteksi penanda itu di balik cerminnya. Semoga saja masih berfungsi, harapnya. Kemudian ia membuka cermin itu, dan mengambil sebuah alat. Untuk mengetahui apakah ada penanda atau tidak di tengkuknya, ia harus menempelkan alat itu ke tengkuknya. Tapi ia terlihat kesulitan melakukannya. Sembari bercermin, ia mencoba meletakkannya tepat di tengkuknya.

Dan..Tritt..bunyi yang keluar dari alat itu jika seseorang punya penanda di tengkuknya. 'Jadi benar, Prof. Wizly memasangkan penanda di tengkukku', ucap dalam hatinya.

Layar di atas alat itu menunjukkan data-data tentang Dr. Ben. Mulai dari namanya, umurnya hingga golongan darahnya, dan juga sebuah kode yang mana kode itu berbeda setiap orangnya.

"3024-A653", ucapnya pelan. " Aku harus hilangkan data kode itu", lanjutnya lagi.

___________________________________

Jadi, dulu ia pernah mendapat penanda itu di tengkuknya waktu ia masih bekerja di bunker Max.

Saat ia pergi dari sana bukanlah hal yang mudah, ia harus melewati beberapa rintangan dan tantangan. Awalnya ia berkata jujur pada Max kalau ia akan keluar dari bunkernya itu, tapi Max tak pernah mengijinkannya.

" Max, aku mau berhenti bekerja denganmu", tegasnya pada Max.

" Kenapa? Gajimu kurang? Atau.. Ada apa? Sebutkan saja", tanya Max yang ingin tahu alasan Dr. Ben.

Dr. Ben mencoba mengatakan perihal alasannya ingin keluar dari bunker Max itu, " Aku pikir aku sudah lama bekerja untukmu, membangun semua ini, sudah cukup untukmu membutuhkanku. Aku ingin memberikan kesempatan pada orang lain untuk tugasku ini. Apalagi kau memang sudah mendapat yang lebih baik dariku kan?".

Saat sudah kira-kira 4 tahun Dr. Ben mengabdikan dirinya disana. Rela meninggalkan Arash, istri tercintanya. Dulu ia diiming-imingi uang yang begitu banyak, hingga ia mengikuti Max karena memang sedang butuh uang itu. Awalnya ia belum tahu untuk apa rencananya bunker itu, tapi setelah beberapa kali mengikuti instruksi Max untuk melakukan percobaan, bahkan sampai membuat desa yang tadinya aman damai menjadi kacau balau. Ia merasa bersalah telah membantu Max. Hingga ia memutuskan untuk pergi dari Bunker setelah datang Prof. Wizly sebagai rekan kerja yang lebih ahli di bidang yang dipegang Dr. Ben. Dan Itu bisa ia jadikan alasan untuk keluar dari bunker.

Dengan berbagai alasan Dr. Ben mencoba meminta izin pada Max, namun tak kunjung dapat izinnya itu. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk melarikan diri tanpa diketahui Max. Ia tak tahu sebelumnya kalau penanda yang ada di tengkuknya itu bisa melacak keberadaannya. Ia pergi begitu saja, tanpa menghiraukan penanda itu. Hanya beberapa kilometer dari gerbang bunker, ia telah dikejar para penjaga. Hingga ia pun kembali gagal untuk keluar dari bunker itu.

Tapi ia tak pernah putus asa untuk mencoba lagi. Ia mencoba mencari tahu tentang alat yang digunakan Max untuk mencari keberadaanya dan memuat semua data-datanya. Ia selalu mencuri-curi kesempatan untuk bisa masuk ke lab Prof. Wizly. Ia mau mencoba mendekati Prof. Wizly untuk meminjam alat itu. Hingga akhirnya mereka berteman baik.

Pendekatan antara Prof. Wizly dan Dr. Ben berjalan sesuai rencana. Ia berhasil mencuri sebagian ilmu Prof. Wizly. Tapi berbeda dengan Prof. Wizly yang menganggap kalau sikap Dr. Ben itu tanda ia punya perasaan padanya. Hingga akhirnya Prof. Wizly benar-benar jatuh cinta pada sosok Dr. Ben.

Hingga suatu hari, Dr. Ben bertanya tentang cara menghilangkan penanda itu. Dan senang hati, Prof. Wizly memberitahukan apa yang ditanya oleh Dr. Ben tanpa rasa curiga sedikitpun. Hingga saat Prof. Wizly selesai menjelaskan caranya itu. Dr. Ben berkata. " Bisakah kau melepaskan penanda ini dari tengkukku?".

Dari sana, Prof. Wizly mulai curiga tapi karena ia mulai jatuh hati pada Dr. Ben, ia melakukan yang Dr. Ben minta. "Tentu saja", tegas Prof. Wizly.

Kaos hitam yang digunakan Dr. Ben dibukanya. Kemudian ia tengkurap di brankar yang ada di lab. Melihat betapa menggodanya tubuh Dr. Ben, ia makin kagum dengan sosoknya itu. Meski bertubuh mungil, tapi tetap saja menggoda. Tanpa pikir panjang lagi, Prof. Wizly mengeluarkan peralatan bedahnya. Penanda itu semacam tatto. Dan untuk di bunker ini, salah satu cara untuk menghilangkannya adalah dengan pembedahan. Prof. Wizly dibantu seorang perawat kepercayaannya melakukan pembedahan itu.

" Tahan, ya mungkin tahap ini akan terasa agak sakit", ucap Prof. Wizly saat hendak menjahit bekas penanda itu.

Beberapa kali Dr. Ben menjerit. Baru kali ini ia merasakan rasanya dijahit di bagian tubuhnya. Biasanya ia yang menjahit luka-luka pasien, kini ia merasakannya.

"Tapi kenapa kamu mau melepaskan penanda ini?", tanya Prof. Wizly yang ingin tahu alasan jelas dari Dr. Ben sembari membereskan alat-alatnya itu karena memang pembedahan itu sudah selesai.

" Aku ingin pergi dari sini. Aku rindu istriku. Dan aku pikir sudah ada kamu penggantiku di bunker ini yang lebih profesional untuk membantu Max", jawab Dr. Ben.

Mendengar kata 'rindu istri' dari mulut Dr. Ben, hatinya seketika itu redup. Sesak dada yang ia rasakan. Ternyata, Dr. Ben mendekatinya selama ini bukan karena punya perasaan padanya. Melainkan hanya ingin kabur dari sini. Ia diam tak berkata bahkan berkutik.

" Terima kasih, Prof", ucap Dr. Ben setelah mengenakan kembali pakaiannya.

" Sama-sama", jawab Prof. Wizly singkat. "Aku akan melaporkanmu pada Max, dokter", tambahnya pelan.

Meskipun pelan, Dr. Ben masih bisa mendengarnya, hingga dengan cepat ia menimpali ucapan Prof. Wizly, " Jangan bicarakan ini pada Max. Kumohon. Aku disini sudah tidak dibutuhkan lagi. Max akan banyak membutuhkanmu. Jika aku pergi, maka kemungkinan kamu akan jadi orang kepercayaan Max, dan tentunya punya banyak keuntungan juga".

" Tapi aku mencintaimu, Ben", jawabnya.

Mendengar jawaban itu, keheranan memenuhi otak Dr. Ben. " K..Kenapa?", tanyanya.

" Aku pikir kamu setiap hari mendekatiku, ingin mencari tahu tentang semua alat yang aku gunakan, setiap hari datang ke labku. Aku pikir itu karena kau punya perasaan untukku", jelasnya memelas. " Aku mohon tetaplah disini", lanjutnya.

" Tapi, istriku sudah menungguku sejak lama. Aku harus pulang. Akan kulakukan apapun, asal kau jangan pernah bilang pada Max", ungkap Dr. Ben.

Mendengar jawaban itu yang dilontarkan Dr. Ben, Prof. Wizly akan coba manfaatkan itu, ia srdang butuh banyak uang saat ini, ia akan mencoba memeras Dr. Ben. Sebagai uang tutup mulut juga, pikirnya. " Aku tak akan bicara pada Max. Asalkan kamu mau memberiku uang tutup mulut", kata Prof. Wizly.

Setelah cukup lama berpikir, akhirnya Dr. Ben menerima apa yang dipinta Prof. Wizly. Apapun itu, asal ia bisa bertemu Arash. Ia segera mengambil sebagian tabungannya di kamar untuk kemudian diberikan pada Prof. Wizly. Semoga dia bisa menjaga amanatnya.

Malam hari setelah sepi, Dr. Ben melancarkan aksinya. Dan jalan yang ia tempuh untuk keluar dari bunker itu adalah lorong yang sama yang ia lewati sewaktu masuk bersama Arash dan Andre.

Sampailah ia di ujung lorong, kemudian membuka penutup lorong itu yang menempel di benteng.

Cklet... Brug...pintu itu didorong keluar oleh Dr. Ben. Kepalanya nongol dari balik lubang pintu itu. Melirik kesana kemari. Memastikan tak ada orang yang mengawasinya atau melihatnya. Aman. Ia pun segera keluar dari lorong itu. Menutup kembali penutupnya. Tak lupa ia memakai sarung tangan. Agar sidik jarinya tak menempel di benda yang disentuhnya.

" Akhirnya", lirihnya pada dirinya sendiri.

Dengan cepat ia berlari menjauh dari benteng itu. Hanya berbekal ransel berisi sebagian tabungannya, dan sedikit makanan kaleng serta air minum. Sesaat setelah ia sampai di padang pasir Maxian, ada helikopter melintas tepat diatasnya. Hanya terang bulan yang jadi penerang bagi penglihatannya. Tak tahu pasti helikopter milik siapa itu, ia segera meminta pertolongannya. Siapa tahu bisa membantunya. Dr. Ben berlari menyamai kecepatan helikopter itu. Kebetulan saat helikopter itu terbang rendah, Dr. Ben berteriak minta tolong.

" Hei!! Tolong aku!!"Hei!!", teriaknya sambil berlari-lari.

Salah satu penumpang yang ada didalamnya mencari-cari suara teriakan minta tolong. Penumpang itu menyoroti setiap sudut. Hingga akhirnya, ia melihat seorang pria tengah berlari-lari mengejar helikopter mereka.

" Pak! Turun pak!", pinta penumpang itu.

Tak lama kemudian, helikopter itu turun. Penumpang yang tadi melihat Dr. Ben juga turun dan menghampiri Dr. Ben yang lelah mengejar mereka.

" Kamu kenapa?", tanya seorang penumpang paruh baya.

" Bolehkah saya menumpang?", pinta Dr. Ben.

Dengan senang hati, penumpang itu mengijinkan Dr. Ben untuk ikut di helikopternya.