Maya menahan setiap desahan yang lolos begitu saja dari bibirnya setiap kali Marve menyentuhnya dengan kelembutan dan kecupan penuh kasih sayang.
"Mas.. aku.."
Maya menggigit bibir bawahnya menahan gelora didadanya membakarnya penuh hasrat.
"Aku sungguh tidak tahan.." Maya ingin sekali berteriak mengatakan semua itu pada Marve tapi ia begitu malu hingga ia harus merasakan rasa teraiksa yang menjalar keaeluruh tubuhnya akibat ia harus menahan diri sementara Marve tidak melepaskannya sedetikpun.
"Mas.."
Setiap Maya memanggilnya dengan suara serak seperti itu membuat jantungnya berdegup kencang seakan-seakan ingin meledak saat ini juga.
Ia akhirnya melepaskan kecupamnya setelah berusaha sekuat tenaga, nafasnya terengah.
Wajah Maya telah memerah, ia sangat mencintainya..
Wanita yang berbaring dibawah tubuhnya ini begitu disayanginya.
Ia sangat beruntung,, Tuhan menjodohkannya dengan Maya.
"Maya... "
"Ya sayang.." Dengan suara serak dan mata sayupnya membuat Maya sungguh menggodanya.
"Bolehkah?" Tanya Marve hati-hati, ia sudah sangat siap sekarang dan hanya menunggu persetujuan dari Maya,
Maya tersenyum, ia kemudian menyentuh wajah Marve yang kini penuh dengan coretan akibat ulahnya, lalu menarik lembut wajah Marve dan membawanya mendekat dengan wajahnya, ia mengecupnya dan menyesapnya.
"Aku milikmu sayang.. tidak perlu bertanya aku adalah milikmu seutuhnya.." Ucap Maya lembut.
Marve begitu bahagia, kalimat yang diucapkan Maya membuatnya sangat bersemangat hingga menjadikannya tidak sabar dan tanpa sengaja menekan tangannya yang masih terbalut perban.
Marve meringis dan segera duduk seketika sambil memegangi tangannya.
"Mas.. kamu baik-baik saja?" Maya segera duduk dan memeriksa keadaan Marve.
"Aku baik-baik saja sayang." Jawab Marve berbohong, terlihat jelas wajahnya memerah karena begitu kesakitan.
"Sungguh?"
Marve mengangguk, ia kemudian kembali merebahkan tubuh Maya tapi Maya dapat membaca wajah kesakitan Marve sehingga ia menutup bibirnya menggunakan jarinya dan membuat Marve tidak dapat menciumnya.
"Mas.. kita menikah bukannya untuk waktu sebulan, dua bulan. Kita akan menghabiskan hari hingga tua jadi menunggu sampai kamu sembuh bukanlah waktu yang begitu lama bagiku.. Kesahatanmu yang utama sayang." Ucap Maya, ia tidak ingin Marve memaksakan tubuhnya dan membuatnya kesakitan.
Marve sangat kecewa, ia kemudian beranjak duduk. "Maafkan mas.." Ucapnya sedih.
Ia menyesali keadaannya saat ini, karena membuatnya sungguh tersiksa.
"Sayang.." Maya menyentuh bahu Marve lembut, ia mengecupnya singkat dan menyandarkan kepalanya.
"Jangan bersedih.. " Ucapnya memeluk Marve dari belakang.
Marve kecewa tapi semua ini gagal karena keadaannya, ia tidak patut untuk marah, jadi dengan bebesar hati Marve menyentuh tangan Maya dan merasakan pelukan hangatnya menenangkannya.
"Biar aku bersihkan riasan diwajahmu sayang." ucap Maya.
Ia meraih kembali bajunya yang telah terjatuh kelantai lalu mengambil cairan pembersih makeup di meja riasnya.
Maya telah memakai bajunya namun ia tidak mengancingkan bajunya hingga Marve dapat melihat bra berwarna merah dibalik bajunya menutupi indahnya lekuk tubuh Maya.
"Kamu sengaja menggodaku?" Marve tersenyum, ia menyentuh leher Maya dengan jarinyan terus turun menyusuri dadanya hingga nyaris menyentuh branya tapi kemudian Marve mengancingkan kembali baju Maya.
"Kamu yang menggodaku.." Bisik Maya, dengan lembut ia menyeka setiap riasan yang telah ditorehkan diatas wajah tampan Marve.
"Aku tidak akan melepaskanmu ketika aku sembuh.."
"Aku menantikan saat itu."
Marve kemudian menarik tubuh Maya lebih dekat lagi dengannya.
"Sayang.. Aku ingin mandi.." Bisik Marve.
Maya hanya dapat terkekeh pelan, ia tahu Marve pasti sangat tersiksa saat ini, jadi ia membantu Marve berjalan menuju kamar mandi.
Ia mendudukan Marve diatas kursi yang sudah tersedia semenjak Marve sakit, lalu bergegas pergi tapi Marve manahan tangan Maya.
"Apa lagi mas?" Tanya Maya dengan lembut.
"Kita sudah pernah mandi bersama sayang.. mandilah bersamaku."
Wajah Maya memerah, wajah Marve sangat menggodanya tapi Maya takut menjadi kecewa seperti tadi jadi ia melepaskan tangan Marve lalu menutup tirai.
Marve sangat kecewa, bahkan Maya tidak mau mandi bersamanya padahal ia tidak bermaksud mengajaknya bercinta karena ia sadar betul atas kondisi terbatasnya saat ini.
Ia hanya ingin menghabiskan setiap waktu bermesraan dengan Maya tanpa batasan.
Tapi kemudian tirai kembali terbuka, Maya hanya mengenakan sehelai handuk menutupi tubuhnya kini.
Wajah Marve yang telah redup menjadi cerah seketika.
"Apa aku lama?" Tanya Maya menghampiri.
"Seribu tahunpun aku mampu menunggumu sayang." Marve menyambut Maya dengan senyuman dan mendekap pinggangnya erat.
"Kamu berlebihan mas.. aku tidak mau hidup selama itu." ucap Maya tertawa.
"Astaga sayang.. kamu selalu tidak dapat menangkap ucapan manisku.. " Protes Marve, Maya tidak menjawab ia hanya terus tertawa.
"Aku ingin terdengar romantis.." gerutunya kesal.
"Tidak perlu berkata romantis, sikapmu lebih dari apa yang disebut romantis sayang."
Marve tersenyum, ia mengecup lembut bibir Maya sedangkan tangannya melepaskan sempurna handuk yang dikenakan Maya.
Maya menyalakan air dan kucuran air dingin membasahi mereka kini namun tidak membatasi mereka untuk bermesraan seperti saat ini.
...
Agung telah mendapatkan alamat perusahaan saudara laki-laki Rahayu, ia ternyata memiliki sebuah perusahaan besar di Beijing yang bergerak dalam bisnis elekronik.
Itulah sebabnya ia bahkan tidak memperdulikan tentang harta yang dimiliki Rahayu saat kabar kematian Rahayu dan suaminya tersebar dan juga kemudian ketika kedua anak Rahayu dikabarkan mengalami kebakaran, ia hanya datang ke acara pemakaman mereka.
Agung telah menunggu cukup lama, setelah membuat janji beberapa kali, akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk menemui saudara laki-laki Rahayu.
Pria berbadan tegap dan terlihat gagah itu berjalan dengan langkah lebarnya menghampiri Agung yang sudah berdiri menyambut.
"Lama tidak jumpa." Ucap saudara laki-laki Rahayu yang memiliki nama Raden Pamungkas itu, ia tersenyum ramah menyambut Agung.
Keramahannya membuat Agung sungguh senang, kesempatannya untuk mendapat bantuannya akan berjalan lancar.
"Apa yang membawamu jauh-jauh kesini?" Tanyanya setelah mempersilahkan Agung untuk duduk.
"Aku langsung saja pada poinnya,, Maya masih hidup." Ucap Agung.
Raden tersenyum tanda tidak percaya "Katakan saja apa yang kamu butuhkan, dan jangan membual atau mencoba menipuku. Maya sudah meninggal enam tahun yang lalu." Jawab Raden dengan tegas.
"Kematian Maya dan Arya telah dipalsukan.." Jelas Agung kembali.
Raden tertawa, dan sedetik kemudian ia meraih kerah baju Agung.
"Jangan menjadikan keluargaku sebagai bahan lelucon, bukankah kamu sendiri yang menghubungiku pada saat kematian Maya dan Arya." Sergahnya, tatapannya begitu tajam seakan mampu untuk membuat jantung Agung berhenti berdetak tapi Agung tidak gentar meskipun harus diakui jika Raden sungguh menakutkan.
Raden kemudian melepaskan kerah baju Agung dan beranjak bangun.
"Jika kamu tidak percaya, selidiki kasus kebakaran ini, salah satu korbannya adalah Arya." Ucap Agung, ia meletakan sebuah map diatas meja.
Ia kemudian beranjak bangun "Seseorang telah membunuh Arya.. kemungkinan adalah orang yang sama yang melakukan pemalsuan kematian Maya dan Arya enam tahun yang lalu." Jelas Agung, ia terlihat begitu serius dengan ucapannya sehingga membuat Raden sedikit goyah.
"Aku sudah tua. Aku tidak akan bermain-main dengan ucapanku." Lanjutnya dengan tegas.
"Maya hanya tinggal sendirian disini, ia telah kehilangan segalanya. Keluarga dan hartanya, hanya anda satu-satunya harapannya."
"Jangan sampai menyesal." Ucap Agung setelah merapihkan tasnya dan kemudian beranjak pergi meninggalkan ruangan, dimana Raden tengah berdiri mematung saat ini.
...