Marve menurunkan tubuh Maya tepat dibawah shower saat perlahan air mulai membasahi mereka, Maya masih memegangi selimutnya dengan erat karena perasaan gugup yang merasukinya.
Marve tersenyum, ia mendekat dan dengan otomatis Maya melangkah mundur.
"Mengapa masih ditutupi saat aku telah melihat semuanya dengan jelas semalam.." Bisik Marve, ia melihat bagaimana tanda merah banyak tersebar disekitar tengkuk dan leher Maya membuatnya kembali memanas.
Dan tanpa dibantu Maya, ia melepaskan bajunya dengan mudah dan menunjukan dada bidangnya dan beberapa bekas kecupan yang menempel ditubuhnya akibat ulah Maya.
"Siapa yang membuat ini semua.. aku rasa nyamuk disini sangat besar dan juga ganas." Bisik Marve kembali, ia menunjukan bahwa dada dan tengkuknya terdapat bekas esapan hangat Maya.
Maya hanya dapat menunduk malu saat Marve terus menekannya seperti ini dan sedetik kemudian Marve telah berhasil menanggalkan selimut yang melingkar ditubuh Maya lalu kemudian mengecup bibirnya lembut penuh tuntutan.
Mata Maya terpejam, ia hanya dapat mencengkram lengan Marve saat Marve mukai menguasai tubuhnya.
"Mas.. " Maya mulai mengerang dan Marve menunjukan senyum kemenangannya kini.
"Sayang... mari kita dapatkan Marve junior.." Bisik Marve membuat wajah Maya memerah seketika.
....
Marve tengah menonton tv saat Maya diam-diam mengendap turun dari kamarnya dengan membawa sprei yang didekapnya erat.
"Kamu mau kemana sayang?" Tanya Marve tanpa menoleh, ia dapat mendengar suara langkah kaki Maya yang beradu dengan lantai kayu.
"Tidak.. aku hanya merasa bosan dan memutuskan untuk mencuci." Jawab Maya gugup, tanpa menunggu respon Marve, Maya segera berlari kearah halaman belakang.
Mengapa Villa ini tidak ada mesin cuci ataupun detergen? Maya mendumal kesal dalam hati.
Tapi untung saja ada sebuah wadah besar dan kini ia telah menuangkan air kedalam wadah itu.
Maya baru akan memasukan sprei yang sejak tadi didekapnya namun kemudian Marve datang menghampiri.
"Memangnya spreinya kotor sayang?" Tanya Marve, ia menyandarkan tubuhnya di ambang pintu dan memperhatikan bagaimana Maya merasa malu saat ini.
"Biar mas bantu.." Marve baru akan meraih sprei dalam dekapan Maya namun Maya menariknya agar Marve tidak dapat menyentuh sprei yang kini didekapnya.
"Mas lanjutkan saja menonton tv sana.. jangan mengangguku." Ucap Maya mengusir Marve tapi Marve tidak menurut, ia malah memeluk Maya dari belakang.
"Ada yang kamu sembunyikan dari balik sprei itu sayang?" Bisik Marve menggoda.
Maya kemudian menghela nafas, ia menyerah toh Marve telah melihat segalanya tentangnya jadi tidak ada lagi yang perlu disembunyikan bukan..
"Ada bercak.." Maya kemudian berbisik pelan.
"Aku rasa, aku datang bilan mas.. tapi kenapa sedikit sekali dan membuatku bingung." Lanjut Maya dengan polosnya.
Marve kemudian melepaskan Maya dan tertawa.
"Tidak ada yang lucu mas.." Protes Maya kesal, ia kemudian melemparkan sprei yang sejak tsdi didekapnya kedalam wadah berisi air dihadapannya.
"Menyebalkan.." Gerutu Maya kesal saat mulai menginjak-nginjak sprei didalam wadah itu, tapi Kemudian Marve mendekat dan memasukan kakinya kedalam wadah itu, Wadah itu tidak terlalu besar untuk mereka berdua hingga Maya nyaris terjatuh tapi Marve kemudian dengan sigap meraih tubuh Maya dan mendekapnya.
Marve kemudian berbisik, sambil mulai menginjak-injak sprei itu dan membawa Maya dalam irama kakinya.
Wajah Maya berubah memerah seperti tomat saat mendengar bisikan Marve yang mengatakan jika bercak darah di sprreinya bukanlah darah datang bulan melainkan darah keperawanannya.
"Astaga mengapa aku dapat menikahi wanita sepolos ini." goda Marve mengejek.
" Ayolah mas.. aku mana tahu." Protes Maya, ia memukul dada Marve pelan dan kembali menyembunyikan wajahnya dibalik dada Marve.
Marve tersenyum, ia kemudian meraih wajah Maya dan menciumnya lembut.
"Aku mencintaimu dek dengan semua kepolosan dan kegalakanmu.." Ucap Marve, ia mengecup singkat puncak kepala Maya.
"Aku tidak galak mas.." Protes Maya kesal, ia kemudian mencubit perut Marve dan membuatnya meringis.
"Benarkan kataku.." Ucap Marve sambil mengusap perutnya yang terasa sakit akibat ulah Maya yang mencubitnya.
Maya hanya menunduk malu dan terus menginjak-injak spreinya begitupun dengan Marve yang bahkan meletakan tangan Maya diatas bahunya dan tangannya dilingkarkan dipinggang Maya membuat mereka seakan tengah berdansa saat ini.
"Aku akan bernyanyi.." Marve kemudian berdehem dan membenarkan pita siaranya lalu kemudian mulai bernyanyi tapi Maya malah tidak sapat menahan tawanya.
"Mas.. mas suaramu mirip suara kenalpot motor dipasar." Cibir Maya menertawai.
"Ayolah sayang.. suaraku tidak seburuk itu.."
Maya akhirnya hanya dapat tertawa saat Marve kembali bernyanyi dan suaranya terdengar seperti falset dan hanya falseto tidak ada nada rendah ataupun melodi, membuat Maya tidak dapat berhenti tertawa.
....
Sementara itu, Andre menunggu dengan perasaan cemas saat mebgunduh data rahasia perusahaan yang sudah diberikan aksesnya oleh Tiffany.
Sebenarnya Andre merasa tidak tega memanfaatkan kebaikan Tiffany padanya namun dosa masalalu Kania harus dibayar agar Maya tidak semakin menderita.
"Sayang.. ayo kita makan bersama.." Tiffany tiba-tiba saja datang dan sontak membuat Andre begitu terkejut dan dengan ceoat mencabut usbnya dan menyimpannya dibalik saku celananya.
"Apa yang sedang kamu kerjakan?" Tanya Tiffany, ia melihat layar komputer Andre.
"kontrak dengan pihak Grup Dirga memang menyebalkan.. sudah hampir dua tahun aku menanganinya dan masih tidak menemukan kesepakatan." Ucap Tiffany berceoh, ia tidak tahu jika saat ini Andre tengah menahan detak jantungnya yang seakan-akan ingin meloncat saat Tiffany tiba-tiba saja datang.
"Sayang.. ayo kita makan.." Ajak Tiffany kembaki dengan manjanya ia duduk dipangkuan Andre dan seketika membuat Andre menegang.
"Baiklah.." Ucapnya, entah mengapa ia tidak menemukan sebuah alasan untuk menolak ajakan Tiffany.
....
Kantung mata terlihat dengan jelas diwajah Kania, ia hampir putus asa mencari dimana Randy meletakan rekaman itu dan kini akhirnya ia menyerah dan memilih untuk menemui Randy.
Randy berjalan malas saat melihat sosok wanita berpakaian ketat berwarna merah itu duduk dengan menyilangkan kakinya.
"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Randy ketus setelah duduk dihadapan Kania.
"Randy mengapa kamu begitu marah, aku hanya ingin menemui sahabat lamaku.." Jawab Kania dengan tenang.
Randy mendengus, ia kemudian meletakan kedua tangannya yang kini terikat borgol diatas meja.
"Bahkan disaat seperti ini kamu masih bersandiwara dihadapanku? Kania.. Kania.. angkatlah kepalamu tinggi-tinggi karena saat aku keluar, aku akan memisahkan kepalamu dari tubuhmu." Ucap Randy mengancam dengan tatapan seriusnya.
Kania mengkerut, ancaman Randy membuatnya ketakutan seketika.
"Randy.. apa yang kamu bicarakan? bukankah kita ini sekutu?" Ucap Kania mencoba menenangkan Randy.
"Sekutu?" Randy tertawa dan kemudian ia kembali menggebrak mejanya.
"Jadi aku dipenjarakan oleh sekutuku sendiri? Kania ingatlah.. aku memiliki apa yang tidak kamu miliki.."
Kania menahan nafasnya, Randy terlihat sangat marah kini, jika saja tidak ada kaca penyekat diantara mereka maka sudah pasti Randy akan mencekiknya.
"Itukah yang mau aku katakan.. kamu tahu, Maya memikiki siapa dibelakangnya saat ini bukan? pewaris grup Cakra adalah suaminya, ia pasti menjebak kita dengan semua situasi yang menyukitkan kita saat ini." Ucap Kania berkilat lidah.
"Aku tidak mungkin menghianatimu.." Lanjutnyabdengan wajah oenuh perasaan menunjukan kesedihannya.
Randy terdiam.. sejujurnya ia sedikit percaya dengan apa yang dikatan oleh Kania.
"Aku menguburnya.. semua rekaman itu . aku menguburnya, carilah.. sebuah rahasia harua di kubur dengan rahasia itu sendiri." Ucap Randy, ia kemudian beranjak bangun dan kuar dari ruangan yang kini hanya menyisakan Kania dengan kepusingannya yang disebabkan oleh jawaban ambigu Randy.
.....