Chereads / Main Love / Chapter 58 - Curiga

Chapter 58 - Curiga

Agung melangkah lebar setelah mendengar ucapan Andre.

Andre mengabarinya jika Randy pernah menjadi direktur utama di grup Wings selama hampir enam tahun, untuk Randy yang hanya seorang supir dulunya rasanya sangat mustahil jika Randy mendapatkan posisinya dengan jalan yang benar.

Sebenarnya Agung berniat menunggu Raden menghubunginya dan mengajak Raden ke Indonesia bersamanya namun kini ia menjadi tidak sabar dan memilih untuk kembali ke Indonesia tanpa menunggu Raden.

Tanpa membuang waktu begitu tiba ke Indonesia Agung segera menemui Randy di penjara.

"Lihat siapa yang menemuiku sekarang? Kenapa? Kamu menyesali karena telah salah menuduhku?" Randy tertawa dari balik kaca penyekat antara dirinya dan Agung.

Agung sama sekali tidak bergeming dengan tawa ejekan Randy, ia masih dengan ekspresi dinginnya dan tatapan matanya tajam.

"Kamu dapat tertawa dengan baik, sepertinya kematian Mina tidak membuatmu terluka sama sekali." Agung mencoba santai dengan duduk bersandar dikursinya.

Mata Randy memerah, ia mengeoakkan tangannya laku menggebrak meja dengan sangat keras hingga membuat petugas kepolisian yang mengawasi mereka hendak menghampiri Randy tapi Agung memberikan kode agar polisi itu tetap diam ditempatnya.

"Mengapa kamu marah? Aku hanya mengatakan sesuatu yang aku lihat saat ini."

"Omong kosong. Jiwa ku telah mati bersamanya.. berani sekali kamu mempertanyakan perasaanku padanya?" Sergah Randy dengan mata memerah dan air mata yang menetes ia mendejatkan wajahnya pada penyekat kaca yang membatasi mereka.

Agung menautkan tangannya lalu tersenyum "Buktikanlah.. "

"Perasaanmu pada Mina, buktikanlah.. "

...

Maya meletakan ponselnya dan sinar matanya kembali meredup, ia baru saja mendengar kabar dari Agung jika kemungkinan Kania terlibat dalam kebakaran yang menimpa Mina dan Arya.

Ia tersenyum getir sambil meraih sisir dan menyisir rambutnya yang sebenarnya sudah rapih sambil menahan air matanya, ia menatap pantulan dirinya pada cermin.

"Kania..." Maya menahan nafasnya, ia memejamkan matanya menahan air matanya agar tidak menetes, rasa sakit dihatinya menjalar keseluruh tubuhnya dan dendamnya semakin kuat. Ia berjanji pada dirinya sendiri jika ia akan menghancurkan Kania bagaimanapun caranya.

"Dek..."

Maya mengangkat kepalanya saat Marve menyentuh bahunya, dengan cepat Maya mengubah ekspresinya saat menoleh pada Marve dan tersenyum lembut padanya.

"Yuk.. Nanti kita terlambat." Marve mengulurkan tangannya, dan dengan senyum lembut Maya menyambutnya.

Marve telah dapat kembali berjalan kini, namun tangannya masih belum sembuh total.

Saat ini mereka telah bersiap untuk menghadiri acara pesta salah satu rekan bisnis Marve.

Maya telah mengenakan gaun berwana hitam yang membuat kulitnya terlihat semakin bersinar dengan rambut yang ia biarkan tergerai lurus dan juga riasan tipis yang menambah kecantikan alami dirinya.

"Kamu sangat cantik, sayang." Puji Marve, ia membelai rambut Maya lembut.

Maya tersenyum dan menjawab, "Kamu juga sangat tampan malam ini, sayang."

Marve mungkin mengalihkan kepedihan hatinya tapi Maya masih dapat merasakan jika hatinya terus menerus terluka.

"Jadi selama ini aku tidak tampan?" Gurau Marve, Maya hanya tersenyum tipis, ia tidak bisa tertawa saat nama Kania terus muncul di benaknya terlebih menyangkut tentang kematian Mina dan Arya seolah Kania masih belum puas membuatnya menderita setelah mengambil segalanya yang ia miliki sebelumnya.

Maya sebenarnya ingin memberitahu Marve tapi ia menunggu Agung membawa Raden bersamanya agar semua ucapannya tidak terdengar seperti omong kosong.

***

Marve menggandeng tangan Maya memasuki hotel tempat pesta yang berlangsung sangat meriah. 

Banyak wanita anggun yang memakai gaun indah dan mewah bersama dengan pasangannya yang menggunakan setelan jas edisi istimewa dari perancang busana ternama.

Ini jelas pesta orang kaya, Maya bergumam dalam hatinya yang sebenarnya membuatnya merasa kurang nyaman karena ia takut akan mempermalukan Marve karena ia masih belajar banyak tentang lingkungan para kaum bangsawan.

Ini pertama kalinya Marve memperkenalkan Maya secara resmi setelah pesta pernikahan mereka yang gagal.

Semua tamu menoleh ketika Marve datang bersama dengan Maya, mereka terlihat seperti pasangan putra mahkota dan putri mahkota yang mempesona dan aura yang terpancar dari mereka berdua tidak ada satu orangpun yang dapat menandinginya.

Andre yang sedang menyesap wine langsung mengeraskan rahangnya ketika ia melihat Maya dan Marve sambil menatatap nanar bagaimana Maya tersenyum pada Marve, ia datang ke pesta sebab tiffany mengajaknya bersama dengan Kania tapu ia tidak tahu jika ia akan melihat Maya di pesta yang sama, menggandeng suaminya dan tersenyum seolah ia adalah wanita paling bahagia.

Bukannya ia tidak ingin melihat Maya bahagia seperti itu, tapi rasanya terlalu menyakitkan karena yang membuat Maya bahagia bukanlah dirinya.

"Kamu sedang melihat apa?" Tanya Tiffany, ia menyentuh dada Andre dengan lembut dan berdiri sangat dekat dengan Andre sehingga tubuh Tiffany menghalangi pandangannya.

Karena tidak mungkin jika ia terang-terangan mengatakan jika ia sedang merasa cemburu karen acinga pertamanya terlihat bahagia dengan pasangannya jadi Andre dengan lembut menyentuh wajah Tiffany dan membelainya lembut. "Aku tidak melihat apapun, aku hanya sedang memikirkan mu."

"Jangan bohong, aku berada di dekatmu sejak tadi."

Andre tersenyum dengan tenang dan menatap kedua mata Tiffany dalam.

"Kamu meragukan ku?"

"Bukan begitu, aku hanya merasa perasaanmu tidak nyata."

"Tidak nyata?" Andre meletakkan gelas wine-nya dan menyetuh tangan Tiffany lembut.

"Lalu bagaimana denganmu? Apa perasaanmu palsu juga?"

Tiffany memalingkan wajahnya saat Andre nyaris menciumnya. Jantungnya memompa sangat kencang, Andre bahkan tidak sungkan menciumnya didepan banyak orang. Haruskah aku masih merasa ragu, disaat aku yang memulai semua ini?

"Mereka terlihat saling mencintai sekali.. Aku selalu iri dengan pasangan seperti itu." Ucap Tiffany mengalihkan pembicaraan.

"Siapa?" 

"Marven dan istrinya, ibuku menyuruhku untuk mendekati Marven agar Grup Wings bisa mendapatkan investasi dari Grup Cakra, tapi bagaimana bisa aku tega menghancurkan rumah tangga mereka yang sangat manis, itulah mengapa ibuku terkadang merasa kesal padaku." Cerita Tiffany, ia kembali menatap Andre dan tersenyum. "Mereka membuat iri bukan?"

"Ya aku iri." Gumam Andre pelan dengan senyum getirnya, bagaimana bisa itu terjadi ketika musuh Maya sendiri mendukung pernikahannya.

Apa yang Marve miliki yang tidak ia miliki? Bukankah kenangan dimasa lalu harusnya cukup untuk membuat Maya hanya memandangnya? Tapi kenapa Maya malah tidak mengenalinya sampai detik ini?

***

Sementara itu Kania menjadi sangat tegang sekaligus gugup karena Marve telah memperkenalkan Maya kepada semua orang maka sudah dipastikan pernikahan mereka berjalan lancar dan itu artinya ia bisa sangat terancam.

Karena perasaan gugupnya, Kania memilih memalingkan wajah dari pemandangan yang membuat nafasnya sesak terutama ketika Maya menatapnya dan mata mereka tidak sengaja bertemu dan senyuman Maya seakan membuat jantungnya tertembus belati panas.

Tangannya bergetar, ia mulai mengeluarkan keringat dingin "Tenanglah Kania..." Ucapnya pada dirinya sendiri sambil meneguk wine-nya sekali tegukan. Tangannya bmasih gemetaran bahkan ketika ia sudah merasa berada cukup jauh dari Maya dan suaminya.

"Kendalikan dirimu, Kania... Tenanglah!"

"Seseorang yang memiliki dosa besar dalam hidupnya tidak akan bisa tenang."

Kania menoleh saat mendengar suara yang sama sekali tidak ingin ia dengar.

Kakinya mundur selangkah karena perasaan takut tiba-tiba merasukinya terlebih ketika ia membalikkan tubuhnya dan Maya sudah berdiri dihadapannya dan tersenyum dingin padanya. 

Maya menoleh kebelakang untuk memastikan jika Marve masih sibuk mengobrol dengan beberapa rekan bisnisnya dan ia dapat sedikit lebih leluasa kini tentunya dengan rubah licik yang sangat ingin ia hancurkan.

"Apa yang kamu bicarakan? Setiap manusia pasti memiliki dosa." Jawab Kania gugup, Maya menyeringai dan melangkah lebih dekat lagi pada Kania.

"Ya sayangnya kamu bukan manusia tapi iblis. Kamu pasti bisa membedakan seberapa beda dosa manusia dan iblis." Ucap Maya, suaranya terdengar pelan dan tenang tapi matanya menatap tajam dan tidak membiarkan Kania bergerak sedikitpun.

"Aku tidak memiliki urusan denganmu!" Sergah Kania, ia baru akan melangkah pergi saat Maya kembali berbicara.

"Kamu tidak mencari salah satu antingmu yang jatuh di halaman rumah bibiku yang terbakar... Kania!"

Nafas Kania tercekik, ia memang mencari kemana satu antingnya yang hilang sejak beberapa minggu yang lalu jika benar-benar terjatuh disana pada malam ketika ia membakar rumah Mina maka ia akan mendapatkan masalah besar terlebih anting itu adalah anting keluaran terbatas dari perusahaan perhiasan ternama yang hanya ada lima di dunia dan di indonesia hanya ada satu yaitu miliknya.

Ia menelan salivanya yang rasanya seperti kerikil beasar yang mengganjal dikerongkongannya, "Ada banyak anting yang memiliki bentuk segitiga yang sama... Ada banyak di dunia ini yang memiliki anting berwarna merah seperti itu jadi apa yang kamu bicarakan? Bukankah pelaku pembakaran itu telah tertangkap?" Ucap Kania, ia masih berusaha tersenyum dan bersikap tenan,g "Jadi jangan gelap mata hanya karena kita saling membenci dan kamu menuduhku dengan mudah." Lanjutnya, ia tersenyum senang karena wajah Maya mulai meredup, pasti ia tidak tahu harus membalasnya seperti apa, Kania kamu memang cerdas.

Sudah dipastikan. Maya mengepalkan tangannya dan kemudian mengangkat kepalanya "Aku tidak pernah mengatakan anting seperti apa yang aku temukan bukan? Seorang pemilik yang kehilangan barangnya pasti akan langsung mengenali miliknya saat seseorang mengatakan menemukannya."

Kania tidak dapat membalas ucapan Maya kini, ia hanya berdiri nematung dengan nafas tercekik.

"Bersiaplah Kania, karena aku dapat merasakan karma sudah berlari kearahmu... Kamu tidak akan dapat kabur, Kania. Kamu akan mati terkubur semua dosa-dosamu padaku dan keluargaku." Ucap Maya, diakhir kalimatnya Ia berbisik tepat ditelinga kania yang membuat air mata Kania menetes seketika.

Maya kemudian tersenyum, dan berjalan kembali kepada Marve yang menyambutnya dengan tangan terbuka dan senyuman penuh cinta.

Maya menoleh kembali kearah Kania yang masih berdiri mematung dengan mata memerah, Maya memperlihatkan bagaimana ia memiliki Marve disisinya, ia tahu betul jika suaminya sangat berpengaruh jadi ia memanfaatkannya sedikit untuk mempengaruhi Kania dan membuatnya takut seperti saat ini.

***