Episode 12
Arsy menganggukkan kepala setuju."Baiklah, ayo kita masak."
Istana Huang Taizi
Taman belakang
Zein lebih suka menghabiskan waktunya di taman belakang, memperhatikan teratai indah di dalam kolam.
Pertandingan kemarin ditunda karena dirinya tidak sehat, hari ini pertandingan akan dilanjutkan pada tahap babak kedua.
Ia sengaja meminta pengawal pribadinya untuk membawakan dokumen negara ke taman belakang.
Sang Pangeran mengerutkan kening melihat ada yang tidak beres pada pengeluaran dalam buku kas kediamannya.
"Kenapa ada pengeluaran sebesar ini dalam istanaku? Apakah saat aku pergi ada yang melakukan kecurangan?"
Zein mengalihkan perhatiannya pada Mahesa."Mahesa, panggilkan kepala pelayan istana."
Mahesa mengangguk, dalam sekejap mata pria itu telah menghilang dari pandangan mata.
Tak lama kemudian, Arsy dan Ezra bersama beberapa pelayan datang.
"Salam, Pangeran. Kami datang mengantarkan sarapan Anda." Kepala pelayan bagian perdapuran menunduk hormat.
Diam-diam Arsy mencuri pandang pada Zein, surai kuning keemasan digerai tanpa ada hiasan apapun di kepalanya.
Jubah putih dan baju dalam hijau melekat pas dalam tubuhnya, ia merasa kalau sang Pangeran kebanyakan menggunakan perpaduan warna putih dan hijau meski motifnya berbeda-beda, Pangeran juga selalu menggunakan selendang kuning keemasan senada dengan warna rambutnya.
"Hm, taruh saja," balas Zein, ia sedikit mengangkat pandangan memperhatikan para pelayan tersebut. Iris safir terpaku pada sosok Arsy, gadis itu terus memperhatikan dirinya tidak seperti yang lain yang selalu menunduk.
Zein menegakkan kepala lalu menatap Arsy."Kau." Dia menunjuk Arsy dengan tatapan matanya.
Kepala pelayan mengalihkan perhatiannya pada Arsy, kemudian kembali menunduk di hadapan sang Pangeran.
"Maaf, Yang Mulia. Arsy hanya pelayan baru, mohon Yang Mulia bermurah hati, tidak memberi hukuman padanya."
Zein melirik kepala pelayan tersebut."Tidak ada yang bicara padamu." Ia kembali fokus pada Arsy.
"Temani aku memeriksa semua dokumen ini," perintah Zein.
Pupil Arsy mengecil, reflek ia mengangkat kepala menatap sosok tampan di depannya, iris safir itu bertabrakan dengan iris kecoklatan gadis tersebut.
"Bukankah sejak tadi kamu terus mencuri pandang padaku?"
Arsy semakin membulatkan matanya mendengar ucapan Zein, padahal ia pikir kalau dirinya tidak ketahuan telah mencuri pandang pada Zein, tapi rupanya pria itu mengetahui dan sekarang dirinya sangat malu.
Kepala pelayan bagian perdapuran terkejut dan tidak menyangka Arsy berani mencuri pandang pada Zein.
Bruk …
Kepala pelayan itu langsung menjatuhkan tubuh di atas lutut dengan kepala tertunduk."Yang Mulia, mohon ampuni Arsy. Saya akan mendidiknya dengan baik."
Zein mengalihkan perhatiannya pada kepala pelayan tersebut dengan alis sedikit bertaut." Kalian bisa pergi, bawa kembali juga semua ini."
"Jangan, Yang Mulia." Arsy reflek menyentuh lengan Zein. Sang Pangeran mahkota mengalihkan perhatiannya pada jemari mungil yang menyentuh lengannya.
"Kamu suka sekali menyentuhku."
Perlahan iris kecoklatan Arsy memperhatikan kedua tangannya, ia pun segera menarik kembali kedua tangannya tersebut, iris kecoklatan bergulir menatap wajah rupawan sang Pangeran.
"Maaf, Yang Mulia. Saya tidak bermaksud seperti itu." Pelayan itu kembali tertunduk, lagi-lagi dirinya sudah melakukan hal yang memalukan.
"Lalu?" Zein masih menunggu Arsy melanjutkan ucapannya.
"Saya hanya tidak berharap Yang Mulia hidangan yang sudah disiapkan," kata Arsy melanjutkan ucapannya. Ia semakin menundukkan kepala, takut kalau Zein murka.
"Baiklah, tinggalkan saja semua makanan itu di sini." Zein mengalihkan perhatiannya pada kepala pelayan. Kepala pelayan itu segera mematuhi perintah majikannya, ia menyuruh bawahannya untuk meletakkan semua makanan di atas meja, setelah itu mereka meninggalkan Zein berdua dengan Arsy.
Jantung berdebar kencang, tubuh panas dingin setiap kali berada di dekat pria tersebut. Hampir 15 menit mereka bersama, tidak ada percakapan sama sekali membuat gadis itu merasa canggung.
Ia menggulirkan pandangan pada makanan di atas meja, kalau lama tidak dimakan maka akan terasa dingin dan tidak enak dimakan.
"Yang Mulia, makanan akan segera dingin."
"Hm." Zein menaruh buku kas kemudian mengambil piring nasi dan sendok, ia mengurungkan niat makan ketika melihat Arsy hanya diam sambil memperhatikan makanan.
"Makanlah."
Arsy terkejut." Tidak, Yang Mulia. Makanan ini untuk Anda."
Zein menaruh kembali piringnya lalu mengalihkan perhatian pada gadis itu." Bukankah kau belum makan?"
Arsy tersentak, perlahan mengangkat kepala menatap paras tampan sang Pangeran.
"Berapa usiamu?" Tanya Zein.
Arsy sangat gugup tapi tatapannya sedikit pun tidak beralih dari sang Pangeran Mahkota.
"Apakah Pangeran akan memintaku menikah dengannya? Seperti yang ada dalam drama," batinnya.
"Aku hanya menanyakan usia, kalau kau tidak ingin menjawab juga tidak masalah," kata Zein kemudian mengalihkan perhatiannya ke arah lain.
"17 tahun," jawab Arsy semakin gugup.
Zein menyodorkan piring berisi makanan pada Arsy."Makanlah, aku tidak suka saat aku makan ada yang tidak makan."
"Ah, terima kasih, Yang Mulia. Anda sangat baik," balas Arsy sangat malu.
Zein tidak menanggapi ucapan Arsy, ia memakan makanan dengan tenang bersama gadis itu.
"Bagaimana kalau kau menikah denganku?"
Arsy tersentak seakan tak percaya dengan apa yang didengar.
"Aku tidak ingin menikah dengan Nawang Wulan, anggap saja ini hanya pernikahan pura-pura. Kau bisa bebas melakukan apapun bahkan mencintai siapapun, kau juga akan mendapatkan status sebagai Permaisuri ku," kata Zein lagi.
"Hanya pernikahan di atas kertas?" Tanya Arsy.
"Ya, aku tidak akan menuntutmu untuk melakukan apapun. Kau pikirkanlah baik-baik." Zein mengakhiri acara makannya.
"Aku akan pergi ke acara perjamuan, kalau kau setuju datanglah ke acara itu dengan gaun yang ku berikan." Zein meletakkan gaun warna putih di atas meja beserta hiasan rambut.
"Yang Mulia, apakah Anda akan mengikuti pertandingan?" Tanya Arsy khawatir.
"Tentu," jawab Zein.
"Tapi … saya lihat kemarin Anda kurang sehat, bagaimana kalau …" Arsy tidak tahu bagaimana harus mengatakan kalimat selanjutnya.
"Kau khawatir padaku? Aku akan baik-baik saja. Baiklah, kau pikirkan baik-baik tawaran ku tadi. Aku harus pergi sekarang." Zein bangkit dari tempat duduknya lalu meninggalkan gadis itu.
Arsy terdiam memikirkan tawaran Zein, dia tidak tahu apakah harus menerima atau tidak. Semua wanita ingin pernikahan yang sempurna, bersama pria yang mencintainya sedangkan Zein tidak mencintai dirinya.
"Aku harus bagaimana? Aku memang menyukai Pangeran Zein, tapi aku juga tidak ingin menikah hanya di atas kertas."
Zein melangkahkan kaki menuju kamar miliknya, segera berganti baju dengan pakaian formal untuk pertemuan kemudian keluar bersama beberapa pengawal menuju aula pertemuan.
Mahesa kembali ke halaman belakang kediaman Zein, tapi tidak mendapati sosok sang Pangeran, ia melihat gaun putih di atas meja."Rupanya Pangeran telah memilih pelayan itu."