Episode 17
Afzam berdiri di depan pintu kamar Arsy, ia menggerakkan tangan bersiap mengetuk pintu namun ada keraguan dalam hati takut kalau nanti gadis itu tidak akan menerimanya.
Di dalam kamar Arsy duduk di atas ranjang sambil mendengarkan omelan Ezra, sahabatnya itu tidak berhenti berbicara meski dirinya sudah tidak menanggapi.
"Asry, sebentar lagi kau akan menjadi seorang Permaisuri Pangeran Mahkota. Artinya kau akan menjadi calon Ratu, kau harus pikirkan baik-baik sebelum semua terlambat!"
"Aku sudah memikirkan semua itu, Ezra. Aku tahu sekarang Pangeran tidak memiliki perasaan apapun terhadap ku, tapi aku menyukainya. Aku selalu hilang akal setiap kali bertemu dengannya, aku tidak akan keberatan kalau aku hanya akan menjadi Istri di atas kertas. Setidaknya aku memiliki hak untuk duduk di sampingnya," tegas Arsy.
Di depan pintu, Afzam mendesah kecewa. Ia pun membalikkan tubuh mengurungkan niatnya untuk berbicara dengan gadis itu, karena dirinya sudah ditolak bahkan sebelum mengungkapkan perasaan.
"Ternyata Arsy sangat menyukai Kak Zein, lebih baik aku menjadi temannya saja. Kalau aku mengungkapkan perasaan padanya, mungkin kita akan canggung," batinnya.
"Ezra…" Arsy menahan ucapannya ketika melihat bayangan sosok pria berdiri di depan pintu.
"Arsy, apa yang kau lihat?" Tanya Ezra.
"Coba kau lihat, siapa orang yang berdiri di depan pintu itu? Kenapa tidak masuk atau mengetuk pintu?" Pinta Arsy.
Ezra mengangguk, ia pun melangkahkan kaki menuju pintu kemudian mengulurkan tangan membuka pintu tersebut.
Gadis itu mengamati sosok pria yang berdiri sambil memunggungi pintu, tak berani menebak tapi merasa yakin kalau itu adalah Afzam.
"Tuan."
Afzam membalikkan tubuhnya, seketika Ezra langsung berlutut karena memanggil seorang Pangeran dengan sebutan Tuan.
"Bangunlah."
Arsy penasaran dengan siapa yang datang, ia pun melangkahkan kaki menghampiri sang sahabat dan terkejut melihat Afzam di depan pintu.
"Salam, Yang Mulia."
"Arsy, tidak perlu terlalu sungkan. Kau tidak lama lagi akan menjadi Permaisuri Pangeran Mahkota, aku akan memberi salam penghormatan setiap kali bertemu dengan mu," kata Afzam berusaha tersenyum meski rasa sakit dalam hati.
"Kasihan Pangeran Afzam, pasti sangat sedih," batin Ezra.
"Ada gerangan apa hingga Yang Mulia Pangeran ke 8 datang menemui saya?" Tanya Arsy sopan.
"Ah, tidak ada. Aku hanya ingin mengucapkan selamat karena kau akan menjadi keluarga Istana. Tapi …" Afzam menggantungkan ucapannya.
"Tapi apa, Yang Mulia?" Tanya Arsy penasaran.
"Kak Zein adalah orang yang jarang suka di istana, apakah kau tidak akan keberatan kalau dia kembali berkelana?" Tanya Afzam.
"Anda bicara apa, Yang Mulia? Sebagai seorang Istri, tentunya saya akan selalu menyertai Suami saya. Kemanapun dia pergi, bagai mana pun keadaannya, saya tidak akan meninggalkan sisinya," jawab Asry tulus.
"Kau sangat mencintai Kak Zein, bahkan kalau pun dia hanya memanfaatkan mu," gumam Afzam.
"Yang Mulia, apakah Anda berbicara sesuatu?" Tanya Arsy samar mendengar Afzam seperti mengatakan sesuatu.
"Ah, tidak. Aku tidak mengatakan apapun, baiklah kalau begitu aku pamit. Semoga pernikahan kalian lancar ," jawab Afzam berdusta.
"Terimakasih, Yang Mulia," balas Arsy.
Afzam mengangguk, setelah itu ia membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat tersebut.
Ezra menatap Afzam iba."Arsy, aku yakin dia pasti sangat sedih."
"Sudalah, pura -pura saja tidak tahu," balas Arsy tidak ingin terlalu ambil pusing.
"Terserah kau saja, Ezra. Tapi sebenarnya Pangeran ke 8 itu lumayan tampan," kata Ezra sambil menutup pintu kamar.
"Tapi tetap lebih tampan Pangeran Mahkota," balas Arsy sambil membalikkan tubuhnya berjalan ke arah meja rias.
*****
Afzam berjalan dengan malas menuju kamarnya, di tengah jalan dia bertemu dengan Zein dan Mahesa.
Ke dua pria tersebut seakan sedang menunggu jawaban dari dirinya."Kakak."
"Sepertinya dia memberikan jawaban yang salah," tebak Zein.
"Aku bahkan tidak berani menyatakan perasaan ku, tapi aku tau kalau dia tidak akan memilih ku," balas Afzam kecewa.
"Maafkan aku, Afzam. Aku tidak menyadari kalau kau menyukainya, kalau tahu kau menyukainya, aku tidak akan mengajaknya menikah," sesal Zein merasa bersalah pada sang Adik.
"Kakak jangan bicara seperti itu, aku juga yang salah terlambat mengatakan. Lagipula … perasaan orang juga tidak bisa dipaksakan," balas Afzam.
"Baguslah kalau kau paham, aku masih ada urusan," kata Zein hendak pergi namun ditahan oleh Afzam.
"Kak Zein, tunggu."
Zein mengurungkan niatnya, ia kembali menatap sang Adik.
"Kak, ini mengenai pasukan iblis," kata Afzam.
"Apa? … Kita bicara di ruang kerja ku." Zein membalikkan tubuhnya diikuti oleh Mahesa dan Afzam menuju ruang kerja.
Ruang kerja Zein…
"Katakan, apa yang kau ketahui?" Tanya Zein tanpa menyuruh Afzam duduk terlebih dahulu.
"Saat aku berada di desa Endas Gundul, keadaan di sana sungguh menyedihkan," kata Afzam.
Zein mengerutkan kening."Apa yang terjadi di sana? Bukankah kau di sana hanya menyampaikan pesan Ayah pada Adipati Raimu?"
"Kakak benar, aku memang melakukan itu. Tapi ada kejadian aneh, aku sendiri bahkan tidak mengerti," kata Afzam.
Zein diam menunggu Afzam melanjutkan ceritanya.
"Saat malam, kehidupan mereka sangat mencekam seperti sedang dilanda penjajahan. Banyak pembuahan tapi tidak tahu siapa yang melakukan, menurut pemerintah setempat, pembunuhan itu dilakukan oleh penganut aliran sesat dan bersekutu dengan iblis, jadi mereka menyebut dengan pasukan iblis," lanjut Afzam.
Zein meraih berkas yang ada di meja belajarnya."Sepertinya ini tentang kasus teros iblis, beberapa saat yang lalu aku menemukan laporan itu di mejaku. Aku akan menghadap pada Ayah dan meminta surat tugas untuk ku, aku akan pergi ke desa Endas Gundul."
"Ha? Tapi Kakak akan segera menikah, mana mungkin Kakak bisa segera ke sana," balas Afzam.
"Aku akan pergi setelah atau sebelum menikah," tegas Zein.
Afzam tidak bisa membahtah lagi, ia tahu kalau keputusan Zein tidak akan bisa diganggu gugat.
"Baiklah, aku percaya Kak Zein tidak akan mengorbankan salah satunya."
"Kalau aku tidak kembali, kau bisa menggantikan ku menikahinya. Jangan khawatir lagi, aku akan pergi menemui Ayah sekarang." Zein bangkit dari tempat duduknya lalu meninggalkan ruang belajarnya.
Afzam menoleh pada Mahesa, pria itu terlihat diam seakan tidak peduli tapi dia yakin kalau pengawal pribadi Zein itu pasti akan ikut kemanapun Zein pergi.
"Mahesa, aku yakin kau tidak akan membiarkan Kak Zein pergi sendirian. Apalagi dengan kondisi tubuhnya sekarang."
"Pasti," jawan Mahesa.
Kamar Pangeran ke 7
"Yang Mulia, desa Endas Gundul sedang dalam masalah. Bagaimana kalau kita ke sana? Dengan begitu, Yang Mulia akan berkontribusi terhadap kerajaan dan mendapatkan gelar dari Raja." Arya seorang pengawal pribadi Jiao Hua memberi saran.