Ezra berlari tergopoh-gopoh dan berhenti di depan istana Pangeran Mahkota, terlihat dua orang penjaga berada di depan pintu gerbang, gadis itu mendekati salah satunya.
"Penjaga, mohon izinkan aku bertemu Pangeran Mahkota. Ada yang ingin aku sampaikan."
"Apa yang ingin kau katakan?" Tanya Mahesa tiba-tiba, pengawal pribadi Zein itu berjalan mendekati Ezra.
Ezra berjalan beberapa langkah mendekati Mahesa setelah para penjaga gerbang membuka jalan.
"Tuan, mohon izinkan saya bertemu Pangeran."
Mahesa mengamati Ezra, tidak ada kelicikan dan kebohongan dalam mata gadis itu akhirnya ia mengangguk dan menuntun sang gadis menuju taman belakang.
Di taman belakang dekat kolam teratai Arsy dan Zein saling berpandangan, gadis cantik itu terhipnotis dengan senyum manis sang Pangeran hingga tanpa sadar ia mendekatkan bibirnya ke bibir Zein.
"Apa yang kau lakukan?" Suara dingin dan datar Zein menyentakkan Arsy dari lamunan. Beberapa kali gadis itu mengerjapkan mata dan menyadari hal memalukan yang baru saja dilakukan, ia segera memalingkan muka menahan malu karena hampir mencium Seorang Pangeran Mahkota.
"Arsy." Ezra syok melihat sahabatnya tanpa sadar hampir mencium bibir seorang pria.
Arsy terkejut dan langsung bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan cepat mendekati sahabatnya."Ezra, kebetulan kamu di sini. Ayo ikut aku ke kamar."
"Tunggu."Mahesa mengalihkan perhatian pada Ezra.
" Bukankah kau ingin mencari Pangeran Mahkota?"
Zein mengalihkan perhatiannya pada Ezra dan menatap gadis itu penasaran.
"Ezra, ada apa?" Tanya Arsy juga penasaran.
"Arsy, jangan salah paham. Aku bukan ingin merebut Pangeran darimu," jawab Ezra.
Arsy kelabakan mendengar jawaban sahabatnya tersebut."Bu-bukan itu maksudku, kamu jangan bicara seperti itu."
"Ini tentang Pangeran Afzam dan Pangeran Jiao Hua," kata Ezra.
Dahi Zein berkerut mendengar nama tersebut, ia bangkit dari posisi duduknya lalu berjalan mendekati pelayan cantik tersebut.
"Apa yang ingin kau katakan padaku tentang mereka?"
Ezra menundukkan pandangan tak berani menatap iris safir tersebut. Menyadari sahabatnya ragu dan takut, Arsy menepuk pelan bahu sang sahabat membuat gadis itu tersentak dan memandang sahabatnya.
"Ezra, jangan takut. Kau bisa katakan yang sejujurnya, Pangeran Zein tidak akan menyalahkanmu."
Iris kecoklatan Ezra bergulir pada sosok pria bersurai kuning keemasan panjang tersebut."Yang Mulia, saya mendengar kalau Pangeran ke 7 meminta Pangeran ke 8 untuk kerja sama menyingkirkan Yang Mulia." Suara gadis itu bergetar takut kalau dirinya tidak akan selamat.
Zein menunggu kelanjutan cerita dari Ezra karena yakin pasti bukan hanya itu yang ingin disampaikan oleh pelayan tersebut.
"Pangeran ke 8 menyukai Arsy dan Pangeran ke 7 menginginkan tahta," lanjut Ezra.
Zein tersenyum tipis."Aku mengerti, jangan khawatir, anggap saja kau tidak pernah mengatakan ini padaku."
Arsy terkejut mendengar jawaban Zein, ia menoleh pada pria tersebut dengan pandangan penuh tanda tanya.
"Mahesa, ikut denganku." Alih-alih menjelaskan pada Arsy, Zein memilih meninggalkan kedua gadis itu bersamaan.
Arsy merasa kecewa dengan Zein, ia mengalihkan perhatiannya pada Ezra."Maaf."
"Kenapa kau harus minta maaf?" Tanya Ezra bingung.
"Yang Mulia justru meminta mu menganggap tidak pernah mengatakan apapun padanya," jelas Arsy merasa bersalah.
"Kau ini bicara apa? Aku hanya seorang pelayan, apa yang dilakukan Pangeran itu sudah benar. Dengan begitu aku akan selamat dari Pangeran ke 7," jawab Ezra dengan senyum manis.
Arsy tercengang, ternyata sahabatnya jauh lebih bersikap bijaksana daripada dirinya.
"Kau benar, aku sangat memalukan karena sempat kecewa dengan pangeran Zein."
"Tenanglah, meski Yang Mulia terlihat sangat dingin tapi dia sudah memilih mu," balas Ezra.
Arsy mengangguk meski begitu ia tetap merasa bersalah.
Sementara itu Zein melangkahkan kaki menuju istana Afzam, ia dan Mahesa berjalan melewati koridor panjang. Dari kejauhan terlihat Jiao Hua berjalan ke arahnya, raut wajah pria itu nampak bahagia seakan baru mendapatkan undian berhadiah.
"Salam, Kakak pertama," sapanya basa-basi.
"Apa yang kau lakukan disini, Hua?" Tanya Zein pura-pura tidak tahu.
"Hanya berjalan-jalan sekalian mengucapkan selamat pada Adik ke 8," jawab Jiao Hua.
"Hm." Zein mengangguk pelan.
"Kakak pertama, aku dengar kau dan pelayan itu akan menikah. Apakah kau tidak merasa menyakiti hati seseorang?" Tanya Jiao Hua pura-pura tidak tahu.
"Apakah maksud mu Afzam?" Balas Zein memastikan.
Jiao Hua pura-pura terkejut padahal dia sudah tahu."Oh? Apakah Kakak sudah menebaknya? Aku tidak tahu bagaimana kalau sampai kalian bermusuhan, bukankah Kakak sangat peduli pada Afzam?"
"Kenapa aku dan dia harus bermusuhan?" Zein berjalan beberapa langkah mendekati Jiao Hua lalu berkata,"Afzam bukan orang licik sepertimu, dia bisa datang padaku jika memang menginginkan Arsy."
Jiao Hua menyeringai."Kenapa Kakak sangat yakin? Segalanya bisa berubah, kita lihat saja ... apakah Afzam akan berpihak padamu atau padaku."
Jiao Hua bersama pengawal pribadinya berjalan melewati Zein, dari balik dinding Afzam terdiam mendengar ucapan Zein."Kak Zein sangat percaya padaku, tapi apakah Kak Zein akan membatalkan pernikahan itu?" Batinnya.
Pandangan mata Zein tertuju pada sosok kain di balik dinding."Rupanya Afzam mendengar."
Ia berjalan menuju dinding tersebut lalu berdiri di sampingnya."Usia 20 tahun masih suka menguping."
Afzam terkejut mendengar sindiran Zein, perlahan ia berjalan keluar dari persembunyian."Kakak," katanya canggung.
"Kakak pasti sudah dengar tadi, apakah Kakak serius akan melepaskan Arsy untuk ku?" Tanya Afzam penasaran.
"Aku tidak pernah mengikat Arsy, aku tidak memaksanya juga. Kalau kau menyukainya, kenapa tidak datang padanya dan bicara dengannya. Kalau dia memang memilihmu, aku akan membantumu menikah dengannya," jawab Zein tanpa memandang sang Adik.
Afzam tertegun mendengar jawaban Zein, ia salah menilai Kakaknya itu. Ternyata Zein bukan orang yang tidak peduli pada perasaan orang lain, tapi ia justru ragu dengan perasaan Arsy padanya.
"Lalu ... apakah Arsy menyukaiku?"
Zein mengalihkan perhatiannya pada Afzam."Kenapa tidak kau tanyakan saja langsung? Kau adalah Adik yang paling ku percaya, apapun keputusan kalian aku akan menghargainya, dan apapun keputusannya nanti kau juga harus menghargainya."
Afzam mengangguk."Kakak benar, tapi aku tidak berani. Kakak antarkan aku bertemu dengannya, Kakak tidak keberatan bukan?"
"Apa?" Zein terkejut sampai rasanya ingin memukul kepala Adiknya tersebut.
"Afzam, aku adalah calon Suaminya, dan kau meminta ku menemanimu menyatakan cinta pada calon Istri ku? Apakah kau sudah tidak waras?'
Afzam cengengesan."Baiklah, aku sangat berterima kasih pada Kakak. Kalau begitu aku akan datang padanya, aku berharap dia menerimaku."
Zein mengangguk meski ada perasaan tidak rela kalau harus melepaskan wanita tersebut.
Dengan langkah kaki ringan Afzam pergi meninggalkan Zein.
"Yang Mulia, apakah Anda rela?" Tanya Mahesa.
"Rela atau tidak rela, aku tetap tidak akan bisa memaksakan perasaan seseorang terhadap ku," balas Zein dengan senyum miring.