Episode 14
Pendekar ikat kepala merah tersebut mengerutkan kening mengamati pedang di tangan Zein."Pedang itu sangat tidak biasa, aku belum pernah melihat sebuah pedang seperti memiliki nyawa seperti itu," batinnya.
"Ada apa? Apakah kau merasa pedang ini sangat bagus? Biar ku beritahu padamu nama pedang ini, ini adalah pedang Naga Langit. Ingatlah baik-baik, nama pedang ini," kata Zein datar.
"Pedang Naga Langit? Bukankah itu salah satu pusaka ghaib milik Raja Naga?" Balas Pendekar ikat kepala merah.
"Rupanya kau tahu juga tentang pusaka ini, tidak sia-sia kau mengalahkan mereka semua," jawab Zein.
"Yang Mulia Pangeran sangat meremehkan diriku, bagaimana kalau Yang Mulia merasakan serangan ku yang ini."
Pendekar ikat kepala merah tersebut merapal suatu mantra, tiba-tiba saja di telapak tangan pria tersebut muncul sebuah cahaya merah menyala.
Zein tetap tenang mengamati cahaya merah menyala tersebut sedangkan Arsy langsung berdiri seakan ingin menghalau bila ada serangan.
"Api Merah!" Pendekar ikat kepala merah menghempaskan serangan tersebut kearah Zein.
Secepat kilat Zein mengeluarkan kekuatan petir dari telapak tangannya lalu mengarahkan pada serangan Api Merah tersebut sambil berteriak.
"Raiton Sora!"
Sebuah aliran listrik putih kebiruan menghantam Api Merah milik pendekar ikat kepala merah.
Kekuatan api beradu dengan kekuatan listrik, cahaya putih kebiruan perlahan melahap cahaya merah menyala hingga menghantam langsung sang pendekar ikat kepala merah membuat pendekar tersebut terlempar keluar dari arena pertandingan dengan luka parah.
Zein menarik kembali kekuatan petir langit miliknya, sedikit mengernyit merasakan nyeri di tubuhnya setelah menggunakan kekuatan internal spiritual.
"Bukankah kau harusnya bisa mendapatkan Pedang Pelangi? Tapi karena kau menantangku hingga terlempar ke luar arena maka biarkan ku tunjukkan wujud sebenarnya pusaka pelangi tersebut."
Zein mengeluarkan sebuah pedang panjang dengan gagang berwarna biru bersinar dan bilang pedang putih namun bersinar seperti warna pelangi.
"Indah bukan? Karena sekarang kau kalah, maka jangan bermimpi mengharap pedang ini lagi," lanjut Zein.
Pendekar ikat kepala merah bangkit dari posisinya sambil menahan kemarahan."Sekarang aku kalah, tapi saat nanti kita bertemu lagi maka akan kupastikan kekalahanmu."
Zein tersenyum kecil, setelah itu ia membalikkan tubuh dan melompat terbang kemudian mendarat di tempat duduknya kembali.
Semua orang yang hadir menyaksikan betapa hebatnya sang Pangeran Mahkota Kerajaan Bintang Tenggara dan mereka yakin bahwa rumor tentang Zein terluka itu tidak benar bahkan pendekar ikat kepala merah itu pergi dengan kekalahan.
Arsy tersenyum lega atas kemenangan Zein, tapi senyum itu luntur kala melihat sapu tangan putih Zein terdapat noda darah.
"Yang Mulia."
"Jangan ribut, aku tidak ingin semua orang tahu kalau aku terluka," kata Zein pelan.
Arsy mengerti tapi tidak tahu alasan pria itu menyembunyikan lukanya.
Setelah pertandingan itu rumor tentang Zein terluka dan tidak bisa menggunakan kekuatan internalnya perlahan hilang bahkan kerajaan lain tidak ada yang berani mengirim pasukan di perbatasan untuk menantang.
Saat malam tiba, Arsy tidak bisa tidur karena terus memikirkan sosok sang Pangeran. Wanita itu duduk di atas tempat tidur sambil melamun, kini ia tidak lagi tinggal di kamar pelayan melainkan tinggal di istana Pangeran Mahkota serta memiliki seorang pelayan sendiri.
Arsy menoleh pada Ezra, gadis itu tidur dengan tenang menggunakan kasur tanpa ranjang di bawah ranjang miliknya.
"Huff, Ezra sudah tidur tapi aku masih tidak bisa tidur. Lebih baik aku ke kamar Yang Mulia untuk memastikan keadaannya, aku sangat khawatir." Arsy turun dari tempat lalu melangkahkan kakinya meninggalkan kamar dan pergi ke kamar Zein.
Dari jauh ia dapat melihat Mahesa berdiri di depan kamar sang Pangeran membuat perasaannya semakin cemas, namun ia tetap menguatkan langkah dan berjalan ke kamar sang Pangeran.
"Salam, Mahesa."
Mahesa mengalihkan perhatiannya pada Arsy menatapnya penuh tanda tanya."Nona, ada yang kau lakukan malam-malam seperti ini di sini?"
"Aku sangat khawatir pada Pangeran Zein, diriku hanya khawatir akan keadaan Yang Mulia Pangeran," jelas Arsy.
"Yang Mulia sudah tidur, lebih baik Nona kembali saja besok pagi," jawab Mahesa.
"Tapi …" Arsy masih enggan untuk meninggalkan tempat tersebut, hatinya masih sangat khawatir akan sosok pria yang paling dicintainya.
"Nona, aku tahu kamu sangat khawatir pada Yang Mulia. Tapi Nona harus percaya bahwa Yang Mulia akan baik-baik saja," kata Mahesa lagi.
Arsy mengangguk."Baiklah, kalau begitu aku akan kembali lagi besok pagi."
Mahesa mengangguk, setelah itu Arsy membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat tersebut.
Di dalam kamar Zein rupanya belum tidur, ia masih meditasi.
Keesokan harinya, Zein bangun pagi dan menunggu Arsy di depan kamar gadis itu.
Arsy terkejut melihat Zein sudah berdiri di depan pintu kamarnya."Salam, Yang Mulia. Kenapa Yang Mulia pagi-pagi sudah kemari?"
"Minggu depan kita akan menikah, karena itu aku ingin membawamu menemui keluargamu," jelas Zein.
Arsy menundukkan pandangan."Yang Mulia, orang tua ku sudah tidak ada. Setelah mereka meninggal, paman dan bibi ku mengirimku ke istana untuk menjadi pelayan."
"Apakah kau sudah tidak punya keluarga satupun lagi?" Tanya Zein.
Arsy mengangguk."Aku hanya punya Ezra sebagai sahabat ku, kapanpun aku bersedia menikah dan tidak perlu ada upacara pernikahan apapun."
Zein mengangguk mengerti." Baik, sesuai keinginan mu."
"Terimakasih, Yang Mulia," balas Arsy kembali mengangkat pandangan.
"Beristirahatlah dengan baik, aku akan datang lagi saat hari pernikahan," kata Zein.
Arsy mengangguk, setelah itu Zein membalikkan tubuh dan meninggalkan gadis itu.
Disisi lain, Afzam baru saja pulang dari perbatasan, ia langsung pergi ke tempat para pelayan dengan niat menemui Arsy namun di sana hanya ada Ezra sedang menyiapkan makanan.
"Ezra."
"Salam, Yang Mulia Pangeran Afzam," sambut Ezra sopan.
"Arsy dimana?" Tanya Afzam ketika tidak mendapati pelayan cantik tersebut.
"Apakah Yang Mulia tidak tahu kalau sekarang Arsy tinggal di kediaman Pangeran Mahkota?" Balas Ezra penasaran.
Afzam terkejut."Kenapa seperti itu?"
"Bukankah seminggu lagi mereka akan menikah?" Balas Ezra membuat Afzam semakin terkejut.
"Baik, terimakasih." Afzam langsung membalikkan tubuh dan berjalan cepat menuju kediaman Pangeran Mahkota.
Tanpa banyak bicara, pria itu menuju taman belakang tempat biasanya Zein menghabiskan waktu. Terlihat Zein sedang duduk bersandar sambil menikmati pemandangan kolam ikan, ia segera menghampiri Kakaknya.
"Kakak."
Zein mengalihkan perhatiannya pada sang Adik."Afzam, bagaimana situasi disana?"
"Bisa terkendali, ada yang ingin aku bicarakan dengan Kakak," kata Afzam.
"Hm, katakanlah," pinta Zein.
"Kenapa Kakak ingin menikah dengan Arsy? Bukankah Kakak harusnya menikah dengan Putri Nawang Wulan?" Tanya Afzam menahan emosi.
"Dia menyukaiku dan aku tidak tertarik dengan Nawang Wulan, memangnya kenapa?" Tanya Zein penasaran dengan sikap sang Adik.